Sulvana Hayati
REVISI Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI telah disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada Kamis, 20 Maret 2025. Terdapat sejumlah perubahan dalam revisi UU TNI, di antaranya soal kedudukan koordinasi TNI, penambahan bidang operasi militer selain perang, penambahan jabatan sipil yang bisa diisi TNI aktif, serta perpanjangan batas usia pensiun.
Pengesahan revisi UU TNI dilakukan di tengah gelombang penolakan dari berbagai kalangan, dari masyarakat sipil hingga mahasiswa. Kelompok masyarakat sipil menganggap proses pembahasan RUU TNI terburu-buru dan minim keterlibatan partisipasi publik. Mereka juga khawatir tentara dapat menduduki jabatan sipil, sehingga meminta TNI tetap di barak.
Dirangkum detikcom, Selasa (25/3/2025), massa demo tolak UU TNI yang digelar sejak Kamis (20/3) hingga Senin (24/3) kemarin tersebar di berbagai wilayah, tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di Majalengka dan Bandung Jawa Barat, di Surabaya Jawa Timur, Makassar Sulawesi Selatan, Mataram NTT, Palangkaraya, Semarang, serta Lumajang Jatim. Ada beragam tuntutan massa demo, salah satunya menuntut agar pengesahan RUU TNI dibatalkan.
Bahkan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan akan mengajukan judicial review terhadap UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Alasan Masyarakat Sipil akan Ajukan Judicial Review UU TNI ke MK
Ada sejumlah alasan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan berencana menggugat UU TNI ke MK. Menurut peneliti Centra Initiative, Al Araf, pembahasan revisi UU TNI menunjukkan proses legislasi yang mengesampingkan prinsip-prinsip yang benar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Koalisi juga menilai ada berbagai persoalan yang secara substantif ada dalam revisi UU TNI.
Centra Initiative adalah lembaga yang berfokus pada isu keamanan. Lembaga ini termasuk dalam Koalisi Masyarakat Sipil. Al Araf menuturkan pihaknya menilai revisi UU TNI bermasalah secara formil.
Pertama, pembahasan revisi UU itu terlalu cepat dan terburu-buru tanpa memberikan kesempatan masyarakat untuk turut terlibat lebih luas dalam pembahasan atau meaningful participation.
“Berbagai dialog dengan elemen akademisi maupun civil society dalam rapat dengar pendapat umum semestinya memperlihatkan urgensi dan ruang dialog yang terbuka dan lebih luas,” kata Al Araf dalam keterangannya di Jakarta pada Kamis, 27 Maret 2025.
Namun, kata dia, pembahasan revisi UU TNI malah dilakukan secara tertutup di hotel dan pada hari libur. Menurut Al Araf, hal itu semakin menunjukkan tertutupnya partisipasi publik. Dia menilai tindakan itu mencerminkan rendahnya komitmen DPR untuk bersikap transparan dan membuka ruang partisipasi publik dalam penyusunan regulasi.
Kedua, koalisi berpendapat, alih-alih membahas masalah krusial untuk mendorong transformasi TNI ke arah yang profesional, revisi UU TNI justru terkesan politis dan tidak menjawab kebutuhan reformasi TNI.
Al Araf menilai revisi UU TNI yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR justru tidak menyentuh agenda krusial transformasi TNI, misalnya reformasi peradilan militer. Padahal, dalam rapat dengar pendapat umum, masyarakat sipil mendesak pencabutan Pasal 74 UU TNI. Pencabutan itu secara otomatis akan menghukum prajurit TNI yang terjerat pidana sipil diadili di peradilan umum.
Kemudian, kata dia, revisi tersebut tidak memuat pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tugas Perbantuan Militer, moderninsasi alutsista, kesejahteraan prajurit, problematika transparansi dan akuntabilitas, hingga kekerasan terhadap warga sipil. “Alih-alih membahas substantif, DPR justru mengesahkan pasal yang memperluas penempatan TNI di jabatan sipil, pengaturan operasi militer selain perang, serta penambahan kewenangan dan lain lain,” katanya.
Adapun Direktur Eksekutif Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan pengajuan uji materi itu sebagai koreksi terhadap pengesahan revisi UU TNI yang dinilai bermasalah secara formil dan materiel. “Ini kritik atas upaya legalisasi dwifungsi TNI melalui pengesahan revisi Undang-Undang TNI, koalisi akan mengajukan judicial review Undang-Undang TNI,” ujar dia dalam keterangannya pada Kamis.
Imparsial juga menjadi bagian dalam koalisi masyarakat sipil. Ini adalah lembaga nirlaba yang berfokus pada isu hak asasi manusia (HAM) dan juga sektor keamanan. Ardi menuturkan pengesahan revisi UU TNI menambah panjang daftar preseden buruknya proses legislasi di DPR.
Sebab, kata dia, proses legislasi regulasi tersebut, mulai dari pembahasan hingga pengesahan, memicu penolakan meluas dari berbagai rakyat sipil. Bahkan penolakan terus terjadi setelah pengesahan
Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan Di dalam UU TNI Yang Baru Disahkan
Mediaumat.info – Meski bertujuan untuk memperkuat kemampuan pertahanan negara, Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang baru saja disahkan menjadi UU berpotensi merugikan rakyat.
“Meskipun pengesahan RUU TNI bertujuan untuk memperkuat kemampuan pertahanan negara, ada potensi kerugian bagi rakyat, terutama terkait dengan hak-hak sipil, keseimbangan kekuasaan antara militer dan sipil, serta potensi penyalahgunaan kekuasaan yang bisa merugikan masyarakat,” ujar Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra kepada media-umat.info, Ahad (23/3/2025).
Pasalnya, UU tersebut memberikan kekuasaan yang terlalu besar dan mengurangi peran sipil dalam pemerintahan. Menurut Ahmad, ketika rakyat merasa bahwa militer memiliki kekuasaan yang terlalu besar dan mengurangi peran sipil dalam sistem pemerintahan, ini bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
“Ketidakpercayaan ini bisa mengganggu kestabilan politik, sosial, dan ekonomi, karena rakyat merasa lebih sulit untuk mengakses keadilan dan kebebasan yang mereka butuhkan,” sambungnya.
Selain itu, tidak ada batasan yang jelas dalam penggunaan wewenang di jabatan sipilnya. Ahmad menegaskan, jika tidak ada pembatasan yang jelas, ada kemungkinan militer bisa menyalahgunakan kewenangannya untuk melibatkan diri dalam urusan politik atau keamanan domestik yang tidak sesuai dengan tugas utama mereka.
“Tindakan ini bisa mengarah pada penindasan terhadap kelompok-kelompok yang berbeda pendapat atau oposisi politik, yang berpotensi menciptakan ketegangan sosial,” ungkapnya.
Tindakan militer yang tidak terkontrol, lanjutnya, seperti penggunaan kekuatan yang berlebihan atau pengabaian hak sipil, dapat merugikan rakyat, terutama dalam hal kebebasan individu dan keadilan.
“Jadi dengan adanya pengesahan RUU TNI ini, siapa untung dan siapa buntung ?” pungkasnya.
Tentara atau Militer dalam Islam
Rasulullah ﷺ membagi tentara dalam kelompok-kelompok dan menunjuk seorang pemimpin untuk setiap kelompok tersebut. Rasulullah ﷺ juga memberikan bendera (al liwa’) khusus bagi pasukan itu. Bendera (al liwa’) pertama yang pernah ada adalah al liwa’ Abdullah bin Jahsyi. Juga ada panji (ar rayah) Rasulullah ﷺ yang disebut sebagai al ‘uqab yang terbuat dari wol hitam yang bertuliskan Laa ilaaha illallaah Muhammadurrasuulullaah.
Pada masa Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar r.a., umat Islam yang memiliki kemampuan, semuanya adalah tentara yang selalu siap berperang setiap kali seruan jihad memanggil. Umar bin Khaththab r.a. pernah membuat tentara yang tetap (reguler) dan mereka diberi gaji tertentu. Adapun umat Islam yang lain hanya menjadi tentara cadangan yang akan dipanggil bila dibutuhkan. Pada masa Walid bin Abdul Malik dibuat undang-undang tentang wajib militer (at tajnid al ijbariy).
Tatkala tentara Islam makin membesar, maka sistemnya dan perlengkapannya pun ikut berkembang sesuai dengan perkembangan zaman (modern). Akhirnya, tentara Islam menjadi tentara yang ditakuti dan tidak terkalahkan.
Pada setiap wilayah terdapat tentara khusus. Ada pula tentara yang siap sedia untuk berperang dengan satu isyarat saja.
Selain itu, para khalifah selalu memperhatikan pembinaan tentara. Khalifah menugaskan para ulama dan penutur kisah-kisah yang dapat memompa semangat para tentara dan menumbuhkan ketakwaan kepada Allah. Mereka dihibur dengan kisah-kisah tersebut, pada saat-saat mereka sedang beristirahat.
Khalifah juga selalu membantu keluarga para tentara. Dalam hal ini Umar r.a. berkata, “Jika kalian kehilangan (wafatnya para tentara, penerj.) pada hari peperangan, kamilah yang akan menjadi abu al ‘iyal (orang tua bagi keluarga korban).”
Khalifah memberi nafkah kepada mereka dan mengurus segala urusan mereka, juga mengantarkan surat-surat dari dan untuk mereka yang menjadi penghubung antara mereka dengan para pejuang di medan jihad.[]