Oleh : Dian Safitri (Aktivis Dakwah)
Baru-baru ini sejumlah ulama muslim terkemuka mengeluarkan fatwa yang menyerukan jihad melawan Israel laknatullah'alaih. Fatwa ini adalah respons terhadap serangan udara yang terus menerus di jalur Gaza, yang telah menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa. Dikeluarkan oleh International Union of Muslim Scholars (IUMS), fatwa ini didukung oleh lebih dari selusin ulama yang memiliki reputasi tinggi di kalangan umat Islam.
Fatwa tersebut menyerukan kepada semua negara muslim untuk melakukan intervensi militer, ekonomi, dan politik guna menghentikan apa yang mereka sebut sebagai genosida dan penghancuran total di Gaza oleh Israel. Dalam pernyataan resmi, IUMS menekankan bahwa tindakan Israel terhadap warga Palestina telah melanggar hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kemanusiaan. (merdeka.com, 05/04/2025)
Kadang kita bertanya dimanakah posisi para penguasa muslim dalam menolong Gaza?Ribuan nyawa telah melayang tapi nurani itu tetap juga mati. Padahal serangan entitas Yahudi terhadap Palestina kian ganas dan membabi buta, menyebabkan jumlah korban jiwa kian bertambah.
Ironisnya, para pemimpin negeri muslim masih saja penuh basa-basi tanpa ada tindakan berarti yang nyata, hanya bisa mengecam seperti orang yang tidak memiliki power apa pun. Justru, aksi nyata malah berdatangan dari milisi-milisi pendukung Palestina di Timur Tengah untuk membantu Hamas menyerang entitas Yahudi. Milisi Hizbullah dari Lebanon, misalnya, yang menembakkan puluhan roket ke entitas Yahudi.
Begitu pula milisi Ansharallah dari Yaman yang lebih dikenal dengan sebutan milisi Houti, juga meluncurkan drone-nya untuk menyerbu entitas Yahudi pada 31/10/2023. Sebuah pesawat tidak berawak milik AS jatuh di lepas Pantai Yaman setelah ditembaki milisi Houti. Milisi asal Yaman ini pun melancarkan beberapa serangan drone ke entitas Yahudi untuk membantu operasi militer Hamas. Pangkalan AS dan koalisinya di Irak dan Suriah telah diserang setidaknya 40 kali sejak 7/10/2023.
Serangan-serangan dari sejumlah milisi di berbagai wilayah terjadi pasca juru bicara Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas Palestina, Abu Ubaidah menyampaikan konferensi pers terkait aksi bombardemen entitas Yahudi ke Gaza.
“Kami menyampaikan salam kepada orang-orang hebat kami di mana pun mereka tinggal, kepada para pejuang kami di semua arena, kepada para pejuang di semua lini, dan kepada pemberontak yang menolak agresi Zionis di seluruh penjuru dunia,” ujarnya.
Setelah itu, pangkalan militer AS di Al-Tanf (terletak di perbatasan Suriah, Yordania dan Irak), dihantam Rudal milisi Irak. Begitu pun pos militer entitas Yahudi di Lebanon yang juga diserang rudal dari milisi Hizbullah. Bahkan, Hizbullah telah mengumumkan akan menyerang wilayah perbatasan Lebanon yang diduduki entitas Yahudi, yaitu wilayah peternakan Shebaa dan perbukitan Kfar Shuba.
Pengkhianatan para Pemimpin
Serangan milisi dari berbagai wilayah merupakan aksi nyata yang terbentuk dari kesadaran umat sebagai seorang muslim bahwa sesama muslim adalah bersaudara dan pembelaan terhadap Palestina adalah wajib. Sudah seharusnya negara menjadi garda terdepan dalam mengirimkan tentaranya untuk membela Palestina. Sayangnya, alih-alih mengirimkan tentara, para penguasa muslim malah berkhianat dengan mengabaikan apa yang terjadi pada saudaranya sendiri.
Seperti Arab Saudi beserta produsen minyak bumi lainnya, mereka menolak usulan Iran untuk melancarkan embargo minyak ke “negara” entitas Yahudi itu. Walaupun pemerintahannya mengecam perbuatan entitas Yahudi atas Palestina, tetapi normalisasi hubungan Arab dengan mereka masih saja dipelihara. Bahkan, Riyadh Season pada 28/10/2023 digelar besar-besaran di tengah gempuran rudal kepada warga Palestina.
Turki tidak jauh berbeda. Saat Erdogan menggelar aksi besar-besaran untuk mengutuk serangan entitas Yahudi ke Palestina (28/10/2023), ia tidak mengatakan memutus hubungannya dengan entitas Yahudi, bahkan menyerukan “two-state solution” yang itu berasal dari AS. Bukankah itu artinya Erdogan sedang melegitimasi perampasan 80% wilayah Palestina oleh entitas Yahudi?
Bagaimana dengan negara kita, Indonesia? Tidak ada bedanya. Saat Jokowi mengecam serangan entitas Yahudi terhadap Palestina, pada saat yang sama, kerja sama dagang Indonesia dengan mereka terus saja berjalan. Menurut data BPS, nilai ekspor Indonesia ke entitas Yahudi jauh lebih besar dari nilai ekspor Indonesia ke Palestina. (Kompas, 15/11/2023).
Begitu pun saat rakyat di negeri-negeri muslim bahkan di negara-negara kafir masif memboikot produk entitas Yahudi, pemerintahannya malah “asyik” bekerja sama dengan entitas Yahudi. Akhirnya, mereka hanya bisa “mendukung dalam diam”, hanya bisa beretorika tanpa ada langkah nyata. Bukankah ini merupakan pengkhianatan yang nyata?
Kenapa negeri-negeri muslim masih saja tetap diam ?
Jika dilihat hari ini, Palestina seolah bukan menjadi bagian dari mereka. Hal ini muncul karena negeri-negeri muslim telah tersekat oleh nasionalisme. Nasionalisme ini sangat berbahaya karena menjadi penyebab para penguasa negeri muslim tidak bisa bertindak apa-apa. Paham inilah yang telah membatasi upaya pembelaan terhadap Palestina menjadi terbatas pada kecaman semata. Lihatlah yang terjadi di Mesir, atas nama nasionalisme, Presiden Mesir Abdul Fattah As-Sisi membatasi pintu Raffah yang menjadi pintu keluar masuk satu-satunya dari dan ke luar Gaza.
Hanya karena problem ekonomi, Mesir menolak pengungsi Palestina. Bahkan, dengan tegas mengatakan jika membuka pintu Raffah dengan bebas, berarti Mesir sedang mencederai perjanjian damainya dengan entitas Yahudi yang sudah terbangun sejak 1979. Bukankah itu artinya Mesir dengan tegas berdiri di pihak entitas Yahudi?
Nasionalisme juga telah menyandera para pemimpin negeri muslim dan menjadikannya antek yang siap mengikuti perintah tuannya, AS. Para pemimpin muslim mengabaikan fakta bahwa peperangan Zionis Yahudi dan Hamas bukanlah peperangan yang berimbang.
Milisi Hamas merupakan organisasi militer yang independen yang terbentuk dari masyarakat dan tidak didukung oleh negara mana pun. Sedangkan militer entitas Yahudi didukung oleh negara dan dibantu oleh negara adidaya. Tentu pertarungan yang sangat tidak berimbang.
Begitu pun milisi-milisi yang ada di Timur Tengah, pergerakan mereka terbatas pada sumber daya, baik persenjataan maupun tentara. Ini karena negara yang menaungi milisi tersebut justru bertindak sebaliknya.
Sungguh menyedihkan, entitas kecil Zionis Yahudi mampu menggenosida kaum muslim di Palestina, padahal wilayahnya dikelilingi oleh negeri-negeri muslim yang jumlahnya jauh lebih besar dari entitas Yahudi.
Sejatinya pembebasan Palestina membutuhkan tindakan nyata sebuah negara, bukan sebatas milisi semata. Para penguasa harusnya mengikuti langkah para milisi sebab negara memiliki kekuatan besar untuk bisa memberikan tindakan nyata. Hanya saja, tindakan nyata ini dengan mengirimkan tentara dan senjata kepada Palestina tidak akan mungkin bisa dilakukan tanpa adanya persatuan umat muslim.
Apabila kita menakar dari segi kekuatan, sesungguhnya potensi umat muslim sangat besar. Andai negeri-negeri muslim bersatu, niscaya entitas Yahudi mampu dikalahkan beserta dengan negara penyokongnya, yaitu AS.
Setidaknya ada tiga potensi yang sangat Barat takuti jika kaum muslim bersatu. Pertama, potensi demografi dan militernya. Peradaban Barat yang tidak sesuai fitrah manusia menjadikan banyak negara Barat mengalami depopulasi akibat masifnya LG8T dan fenomena “resesi seks”, misalnya. Sebaliknya, pertumbuhan populasi di negeri-negeri muslim naik pesat walau genosida terjadi di berbagai etnis muslim.
Menurut data World Population Review 2023, jumlah penganut Islam adalah yang terbesar kedua setelah umat Kristen, yaitu dua miliar lebih. Melihat data makin banyaknya muslim dan makin menurunnya populasi non muslim, banyak peneliti memprediksi pada 2050 jumlah muslim lebih banyak dari umat Kristen.
Andai saja satu persennya menjadi tentara, niscaya potensi militer kaum muslim akan sangat besar. Bayangkan, akan terdapat 20 juta tentara muslim yang siap melindungi seluruh bagian wilayah muslim. Persoalan Palestina pun bisa selesai sebab penduduk entitas Yahudi tidak sampai 10 juta orang per 2023.
Kedua, potensi geopolitiknya. Negeri-negeri muslim menempati Selat Giblatar, Terusan Suez, Selat Dardanella, dan Bosphorus. Semua itu menghubungkan jalur Laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk, dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Jika negeri-negeri muslim bersatu, niscaya akan tercipta kekuatan besar yang mampu menyetir perdagangan dunia. Inilah yang Barat takuti.
Ketiga, potensi SDA, misalnya minyak bumi yang telah Allah anugerahkan kepada negeri-negeri muslim. Terbukti, embargo minyak Arab pada 1973 mampu meluluhlantakkan perekonomian AS. Sayangnya, hari ini Arab Saudi dan negeri-negeri muslim lainnya malah menolak mengembargo minyak pada entitas Yahudi itu dengan alasan penyelesaian konflik dengan Palestina adalah melalui diskusi damai, bukan embargo. Sungguh pengkhianatan yang nyata.
Zionis yahudi adalah musuh yang nyata dan harus diperangi oleh negara.
“Bunuhlah mereka (yang memerangimu) di mana pun kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusirmu.”
(QS Al-Baqarah: 191).
Sesungguhnya, ayat di atas telah jelas memerintahkan kepada seluruh umat, termasuk penguasa, untuk mengusir entitas Yahudi dari tanah kaum muslim Palestina. Islam menjadikan pembelaan adalah satu kewajiban yang harus dipenuhi sesama muslim dan negeri muslim, apalagi ketika musuh bertindak di luar batas kemanusiaannya.
Pertolongan yang nyata bagi Palestina adalah jihad, yaitu mengirimkan bantuan militer, yakni tentara lengkap dengan persenjataannya. Bantuan ini hanya bisa dilakukan oleh sebuah negara, sedangkan negeri-negeri muslim hari ini tersandera oleh negara adidaya AS.
Oleh karenanya, agar kaum muslim bisa terbebas dari belenggu penjajahan AS, negeri muslim harus bersatu di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Dengan jihad dan Khilafah, biidznillah bumi Palestina akan terbebas dari penjajahan entitas Yahudi selama-lamanya. Maka dari itu umat Islam harus bersatu. Karena dengan persatuan, kita yang bagaikan buih di lautan ini akan bisa melawan Zionis Yahudi laknatullah'alaih.
Wallahu a'lam.