Pemangkasan Anggaran Bukti Buruknya Pengelolaan



Oleh :  Ummu Nizwa

Presiden Prabowo Subianto menunjukkan keseriusan dalam pengelolaan anggaran. Dirinya bahkan akan mengecek pelaksanaan anggaran sampai dengan satuan ke-9 atau terkecil. Hal ini disampaikan Prabowo saat Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Rabu (22/1/2025). 

Menurut Prabowo langkah tersebut baru pertama kali dilakukan Presiden dalam sejarah. "Mungkin pertama kali dalam sejarah ya Presiden Republik Indonesia mengecek sampai satuan ke-9," tegas Prabowo.

Prabowo menebak, bahkan sederet menteri pada kabinet Merah Putih juga tidak mengetahui secara jelas anggaran tersebut. Maka ke depan ini harus mulai diperhatikan dengan seksama agar pelaksanaan anggaran lebih efektif dan efisien. "Jadi saudara-saudara pun mungkin tidak tahu anggaran-anggaran tersebut ya. Karena kita sudah lama jadi orang Indonesia," terangnya.

Belanja negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 dialokasikan sebesar Rp3.621,3 triliun yang terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp2.701,4 triliun dan sisanya adalah transfer ke daerah.

Prabowo menghitung setidaknya pemangkasan pada perjalanan dinas bisa menghemat anggaraan hingga Rp 20 triliun. Ini bisa dialokasikan untuk perbaikan gedung-gedung sekolah. Dalam kesempatan itu Prabowo juga memerintahkan kepada jajaranya untuk berhemat anggaran seremoni. Seperti ulang tahun.

"Jadi saudara-saudara, saya tegaskan kembali bahwa hal-hal di luar itu yang bersifat seremoni, upacara, merayakan ulang tahun ini ulang tahun itu hari ini hari itu kita tidak anggarkan. Perayaan sejarah perayaan ulang tahun, laksanakan secara sederhana di kantor di ruangan kalau perlu yang hadir hanya 15 orang sisanya di vcon-kan (Video Conference)," katanyaJakarta, ( CNBC Indonesia ) 

Kebijakan pemangkasan anggaran yang dilakukan Prabowo membuktikan bahwa selama ini telah terjadi pemborosan anggaran, belanja yang tidak penting, dan belanja yang tidak prioritas. Model pengelolaan anggaran yang diterapkan selama ini terbukti tidak amanah terhadap uang rakyat dan mendorong terjadinya penyalahgunaan anggaran. Selama persoalan korupsi tidak diselesaikan dengan tuntas, kebijakan pemangkasan anggaran tidak akan bisa menyejahterakan rakyat. Anggaran akan terus saja bocor dan masuk ke saku para pejabat dan orang-orang di lingkaran kekuasaannya.

Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa penyalahgunaan anggaran menjadi modus korupsi yang paling banyak digunakan di Indonesia. Pada 2022 ada 303 kasus korupsi dengan modus penyalahgunaan anggaran sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp17,8 triliun.

Salah satu contoh realitas penggunaan anggaran yang tidak efektif, efisien, dan salah alokasi adalah dana penanggulangan stunting yang mayoritas habis untuk rapat dan perjalanan dinas. Jokowi saat menjadi presiden pernah membeberkan nasib anggaran stunting di sebuah daerah yang jumlahnya mencapai Rp10 miliar, tetapi hanya Rp2 miliar yang benar-benar dibelikan makanan. Sedangkan yang Rp3 miliar habis untuk rapat, Rp3 miliar untuk perjalanan dinas, dan Rp2 miliar untuk biaya pengembangan.

Praktik penyalahgunaan anggaran selalu marak di negeri ini karena penerapan sistem sekuler kapitalisme yang menghasilkan para pejabat dan pegawai yang lemah iman, tidak amanah terhadap jabatan yang diemban, gemar “memakan” uang rakyat, dan aji mumpung memanfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi.

Walhasil, pemangkasan anggaran tidak akan mengubah apa pun, selama sistem ekonomi yang diterapkan tetap kapitalisme yang mengandalkan pajak dan utang dalam pemasukan, dan pengeluaran negara tidak disandarkan pada kemaslahatan rakyat.
Dengan mengandalkan pajak sebagai pemasukan utama negara, rakyat akan tetap “dicekik” dengan pajak yang tinggi. Segala aspek kehidupan rakyat tetap dipajaki, mulai dari penghasilan, bumi dan bangunan, kendaraan, pembelian barang, dan lainnya.

Sementara itu, berdasarkan konsep kebebasan kepemilikan ala kapitalisme, negara memberikan hak pengelolaan sumber daya alam seperti tambang, hutan, gunung, laut, dan lainnya, pada swasta. Akibatnya, hasil pengelolaannya tidak masuk ke APBN dan rakyat tidak ikut menikmati kekayaan alam yang sejatinya milik mereka.

Pembayaran utang dan bunganya juga akan terus menggerogoti APBN. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan pada 2023 pemerintah membayar Rp1.064,19 triliun untuk cicilan pokok utang dan bunganya. Jumlah ini mencapai 34,1% dari APBN. Sedangkan untuk belanja negara hanya mengandalkan sisanya.

Belanja negara ala kapitalisme juga tidak akan menyejahterakan rakyat. Dana APBN tidak dibelanjakan untuk kemaslahatan rakyat, tetapi untuk kepentingan para pejabat dan pemilik modal yang menjadi kroninya. Sebagai contoh, dana proyek strategis nasional (PSN) yang menjadi bancakan para oligarki. Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyampaikan bahwa dalam PSN ada kepentingan bisnis luar biasa antara pebisnis dan yang berkuasa. Pakar hukum Bivitri Susanti juga menyebut bahwa yang lebih diuntungkan dalam PSN adalah pemilik modal alias oligarki.

Sepanjang 2016—2022, PSN telah menghabiskan anggaran negara sebesar Rp1.040 triliun. Namun, pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan tidak teraih. Justru rakyat mendapatkan mudarat.
Data YLBHI menunjukkan bahwa PSN telah menyebabkan 106 kasus konflik agraria dengan lebih dari satu juta jiwa rakyat menjadi korbannya. Ini menunjukkan bahwa pemangkasan anggaran tanpa perubahan mendasar terhadap tata kelola anggaran hanya akan menjadi kebijakan populis sarat pencitraan yang tidak akan mewujudkan kemaslahatan rakyat.

Sebaliknya, tata kelola anggaran tetap bersifat sewenang-wenang (otoriter) demi merealisasikan kepentingan pejabat dan kapitalis yang menjadi kroninya.
Sesungguhnya akar masalah sebenarnya adalah penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan penguasa tidak bekerja untuk kesejahteraan rakyat, tetapi untuk kepentingan pribadi dan para kroninya. Ini sungguh berbeda dengan profil penguasa dalam Islam.

Dalam Sistem islam Penguasa adalah pelayan (raa’in) bagi rakyat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Imam (pemimpin) adalah raa’in (pelayan) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.”(HR Bukhari dan Muslim). Muhammad Abd al-Aziz bin Ali asy-Syadzili dalam Al-Adab an-Nabawi menjelaskan makna ar-raa’in adalah al-hâfidz al-mu’taman (penjaga, pemelihara, wali, pelindung, pengawal, pengurus, pengasuh yang diberi amanah). termasuk aspek keuangan, hingga terwujud kesejahteraan di tengah masyarakat.

Mengenai belanja negara pengeluaran baitulmal dibagi menjadi enam bagian:
1. Delapan golongan yang berhak menerima zakat. Mereka berhak mendapatkan harta dari pos pemasukan zakat.
2. Jika dari kas zakat tidak ada dana maka untuk orang fakir, miskin, ibnu sabil, kebutuhan jihad dan gharimin (orang yang dililit utang) diberi harta dari sumber pemasukan baitulmal lainnya.
3. Orang-orang yang menjalankan pelayanan bagi negara seperti para pegawai, penguasa, dan tentara.
4. Untuk pembangunan sarana pelayanan masyarakat yang vital seperti jalan raya, masjid, rumah sakit, dan sekolah.
5. Pembangunan sarana pelayanan pelengkap.
6. Bencana alam mendadak.

Jika dana baitulmal tidak mencukupi, sedangkan ada kebutuhan yang bersifat darurat, negara mengusahakan pinjaman nonribawi secepatnya dari warga yang kaya, kemudian pinjaman tersebut dibayar dari hasil pemungutan dharibah (pajak). Pajak hanya dipungut sementara, ketika kas baitulmal kosong dan ada kebutuhan darurat. Jika kebutuhan dana sudah terpenuhi, pemungutan pajak dihentikan. Pajak hanya dipungut dari laki-laki muslim yang kaya sehingga tidak membebani rakyat.

Selain itu, Khilafah tidak akan membebani APBN dengan utang luar negeri karena pada umumnya utang luar negeri ribawi, padahal Allah Taala telah mengharamkan riba dalam QS Al-Baqarah ayat 275,“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Utang luar negeri juga berbahaya bagi kedaulatan negara karena akan memberi jalan bagi negara lain untuk menguasai kaum muslim, padahal Allah Taala telah melarangnya dalam QS An-Nisa’ ayat 141, “Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” Dengan demikian, anggaran tidak tersedot untuk membayar utang dan bunganya. Rakyat juga tidak terbebani pajak yang “mencekik."

Penguasa, pejabat, dan pegawai dalam Khilafah dipilih dari orang-orang yang bertakwa, amanah, takut “menyentuh” harta milik rakyat, dan bekerja secara profesional. Allah Taala berfirman di dalam QS An-Nisa’ ayat 58, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”

Juga di dalam QS Al-Maidah ayat 8, “Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Dengan demikian, para pejabat akan bersikap amanah dalam mengelola anggaran untuk kemaslahatan rakyat dan tidak akan menggunakan anggaran untuk memperkaya diri sendiri maupun kroninya.
Profil penguasa, pejabat, dan pegawai yang demikian merupakan buah dari penerapan  sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam. Keimanan kuat yang terbentuk melalui pendidikan didukung pula oleh kontrol amar makruf nahi mungkar dari masyarakat yang bertakwa sehingga pengelolaan anggaran terjaga agar sesuai syariat.

Selain itu, adanya sistem sanksi yang tegas juga menjadi pencegah pelanggaraan atas harta negara. Sanksi dalam Islam memiliki dua fungsi, yaitu jawabir (penebus dosa pelaku) dan zawajir (pencegah orang lain berbuat serupa). Dengan demikian, akan terwujud efek jera dan para pejabat serta pegawai akan bersikap amanah terhadap harta milik umum.

Demikianlah penerapan Islam kafah dalam institusi Khilafah, yang berperan strategis menjaga anggaran negara agar dikelola sesuai syariat sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat.

 Wallahualam bissawab.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم