Oleh: Septa Yunis (Analis Muslimah Voice)
Gas LPG 3 kg tengah menjadi sorotan di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, sampai tulisan ini diterbitkan, di sejumlah daerah masih langka keberadaanya. Hal itu terjadi karena ada perubahan sistem distribusi yang telah ditetapkan pemerintah. Dilansir dari Tribunnews.com (02/02/2025), Diketahui, per 1 Februari 2025, pengecer tidak lagi diperbolehkan menjual gas elpiji 3 kg. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan, pengecer yang ingin tetap menjual elpiji bersubsidi harus terdaftar sebagai pangkalan atau subpenyalur resmi Pertamina. Pengecer yang ingin menjadi pangkalan dapat mendaftar melalui sistem Online Single Submission (OSS) untuk mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB).
Dengan adanya perubahan sistem distribusi tersebut tentu menyulitkan bahkan dapat mematikan bisnis pengecer bermodal kecil dan memperbesar bisnis pemilik pangkalan. Salah satu dampak buruk yang paling langsung terasa akibat perubahan sistem distribusi adalah peningkatan harga gas LPG 3 kg. Seiring dengan pengalihan distribusi yang lebih ketat dan perubahan mekanisme penyaluran, harga gas di pasaran menjadi tidak stabil dan cenderung lebih tinggi. Ini dapat memberatkan masyarakat yang selama ini bergantung pada LPG 3 kg sebagai sumber energi utama mereka, terutama kelompok berpenghasilan rendah yang memiliki anggaran terbatas.
Perubahan sistem distribusi, seperti pengenalan sistem subsidi yang lebih terbatas atau pembatasan titik penjualan, dapat menyulitkan masyarakat, terutama yang tinggal di daerah terpencil atau pinggiran kota, untuk mendapatkan pasokan gas LPG 3 kg. Terlebih lagi, jika gas LPG hanya tersedia di pangkalan. Masyarakat akan kesulitan mengakses bahan bakar yang sangat dibutuhkan ini. Hal ini berisiko menambah kesenjangan sosial antara wilayah perkotaan dan daerah pedesaan.
Perubahan distribusi tersebut adalah keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalisme, karena salah satu sifat sistem ini adalah memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi. Sistem ini juga meniscayakan adanya liberalisasi (migas) dengan memberi jalan bagi korporasi mengelola SDA yang sejatinya milik rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas ini pada perorangan/perusahaan.
Dalam aturan Islam, bahan tambang yang jumlahnya melimpah seperti minyak dan gas termasuk harta kepemilikan umum. Status sah kepemilikannya adalah milik rakyat, tidak boleh diserahkan kepada individu, swasta, terlebih kepada asing. Pengelolaannya dilakukan oleh negara, sedangkan pemanfaatannya digunakan untuk kemakmuran rakyat seluruhnya.
Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan Abu Khurasyi dari sebagian sahabat Nabi saw., berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Daud).
pemanfaatan minyak dan gas, di mana jenis harta ini adalah milik umum dan pendapatannya menjadi milik seluruh umat, dan mereka berserikat di dalamnya maka setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum dan sekaligus pendapatannya.
Adapun pengelolaannya, karena minyak dan gas tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan harus melalui tahapan proses pengeboran, penyulingan, dan sebagainya yang membutuhkan perangkat maka negara lah yang mengambil alih pengelolaannya mewakili kaum muslim.
Negara kemudian menyimpan pendapatannya di baitulmal. Setelah itu, dilakukan pendistribusian hasil dan pendapatan negara sesuai dengan ijtihad Khalifah yang dijamin oleh hukum-hukum syarak dalam rangka mewujudkan kemaslahatan rakyat secara keseluruhan.
Islam menetapkan migas termasuk dalam kepemilikan umum, dan mewajibkan negara untuk mengelola sumber daya tersebut untuk kepentingan rakyat, sesuai dengan fungsi negara sebagai pengurus umat.
Negara memudahkan rakyat mengakses berbagai kebutuhannya akan layanan publik, fasilitas umum dan sumber daya alam yang merupakan hajat publik, termasuk migas.
Sungguh perbedaan itu nyata. Dan sudah dapat dijadikan bukti ketika aturan Islam diabaiakan, banyak kerusakan yang terjadi. Rakyat kecil yang selalu menjadi korban atas kerusakan sistem ini. Saatnya seorang muslim memperjuangkan Islamnya, agar Islam dapat diterapkan di seluruh jantung kehidupan. Dengan demikian, baldatun wa rabbun ghofur akan terwujud.