Waspada Seruan Toleransi Kebablasan Yang Terus Berulang



Oleh : Farzana (Aktivis dakwah) 

Pada perayaan Natal bagi umat Kristiani di akhir tahun 2024, Presiden Prabowo dan Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar memberi sambutan dalam perayaan natal nasional di Arena Gelora Bung Karno Jakarta Pusat, pada hari sabtu (28/12/2024). 

Menag Nasarudin Umar menyampaikan sambutan di depan Bapak Presiden dan Wakil Presiden dengan menekankan bahwa Natal saat ini bukan sekedar perayaan spiritual tetapi juga sebagai momentum mengukuhkan nilai-nilai persatuan dan toleransi di dalam keberagaman bangsa. (kompas.com, 03/01/2025). 

Seperti biasa setiap akhir tahun selalu berulang seruan toleransi yang berlebihan dan bertentangan dengan ajaran Islam.  Bahkan seruan ini diserukan oleh para pejabat. Seruan toleransi seperti, menghimbau agar mengucapkan selamat natal atau ikut terlibat merayakan perayaan natal, dengan dalih yang sama setiap tahunnya yaitu mengukuhkan persatuan dan toleransi keberagaman. 

Padahal toleransi harusnya bukan dengan mengorbankan akidah salah satu pihak dalam hal ini Islam untuk menghargai akidah pihak yang lain, menyeru umat Islam mengikis ajaran agama mereka demi menghormati perayaan agama lain yang jelas bertentangan dengan akidah umat Islam. Hal tersebut menunjukkan ketidakberpihakan penguasa kepada Islam dalam artian penguasa tidak toleran terhadap Islam. Hal tersebut terjadi karena salah kaprah dalam memahami makna toleransi yang sebenarnya. Padahal toleransi seharusnya bukan dengan ikut andil merayakan perayaan agama lain tetapi cukup dengan saling membiarkan dan tidak mengganggu satu sama lain dalam beragama. 

Toleransi Versi Sekuler 

Saat ini umat Islam sejatinya sedang diarahkan pada paradigma berpikir sekuler. Sekularisme ini telah menyerang tiap sendi kehidupan. Sekularisme ini pula yang memicu munculnya toleransi versi sekuler sehingga terjadi salah kaprah dan pembenaran, termasuk saat masyarakat menyikapi momen perayaan natal. Lucunya ketika mengkritisi hal tersebut, mereka berdalih bahwa aktivitas-aktivitas itu mereka sebut sebagai hak asasi manusia (HAM), yaitu melindungi hak-hak umat beragama lain, dan tentunya mengabaikan hak-hak umat Islam terutama dalam menjaga akidah mereka. Jelas terlihat sangat sekuler sehingga dampak aktivitas itu sangat masif dan luas di tengah-tengah masyarakat. 

Hal tersebut diperburuk oleh arus moderasi beragama yang sangat digencarkan pemerintah di berbagai aspek kehidupan sehingga semua agama dianggap benar. Paradigma mengenai konsep toleransi pun menjadi kebablasan atau munculnya paham sinkretisme agama yang jelas bertentangan dengan akidah Islam.

Keadaan ini didukung oleh penyelenggaraan sistem pendidikan dengan konsep liberal (kebebasan) yang juga kental dengan arus moderasi, seperti kurikulum merdeka, pendidikan vokasi, dan Kampus Merdeka. Konsep moderasi beragama itu telah menjadikan orientasi hidup peserta didik menjadi berbelok ke arah yang jauh dari motivasi akidah Islam. Mereka juga tidak segan mencampuradukkan Islam dengan ajaran agama lain atau ide lain dari luar Islam. Ini tentu bencana besar bagi peradaban dan generasi masa depan. Ini sekaligus menjadi bukti nyata bahwa negara sekuler benar-benar abai menjaga akidah umat dan menjauhkan umat dari pemahaman yang benar terhadap agamanya, padahal jelas-jelas mayoritas penduduknya adalah muslim. 

Jaga Akidah Umat! 

Dengan gencarnya seruan toleransi yang salah kaprah ini, besar kemungkinan kedepannya akan terus diaruskan ide-ide sekuler dan toleransi yang salah. Umat perlu waspada dan menjaga diri agar tetap dalam ketaatan pada Allah. Umat membutuhkan adanya reminder. Hal ini terjadi karena negara tidak memfungsikan diri sebagai penjaga akidah justru sebaliknya menjadi perpanjangan tangan bagi penjajah untuk memasukkan ide-ide sekuler melalui berbagai program. Salah satunya seperti moderasi beragama termasuk dengan seruan toleransinya. 

Toleransi Versi Islam

Islam tidak membenarkan muslim ikut terlibat dalam perayaan agama lain, karena dalam pandangan Islam satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah SWT hanya Islam, sebagaimana dalam firman Allah:  "Sesungguhnya agama yang diridhoi di sisi Allah hanyalah Islam" (QS. Ali Imran [3]: 19) 

Sehingga ikut andil merayakan perayaan agama lain yang akidahnya meyakini Tuhan selain Allah merupakan hal yang bertentangan dengan Islam. Allah Swt. telah menentukan batasan toleransi sebagaimana yang pernah ditawarkan oleh orang-orang musyrik kepada Rasulullah Saw untuk saling bergantian terlibat dalam ritual ibadah mereka, namun dengan tegas ditolak oleh Rasulullah Saw, sehingga turun firman Allah "Untukmu agamamu dan untukku agamaku" (QS. Al-Kafirun ayat 6) 

Bukan berarti Islam tidak mengakui adanya keberagaman (pluralitas), karena itu merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindari manusia sebagaimana dalam QS. Al-Hujurat ayat 13. 

Islam juga memiliki konsep yang jelas dalam interaksi dengan agama lain. Misalnya diperbolehkan untuk berinteraksi dengan non muslim yang hidup dalam negara Islam (kafir dzimmi) dalam perkara-perkara muamalah, seperti perniagaan, tolong-menolong, berlaku baik sebagai tetangga, saling melindungi kehormatan dan juga jiwa. 

Akan tetapi dalam perkara munakahat (pernikahan), wanita muslim tidak diperbolehkan untuk menikahi laki-laki non muslim. Di dalam Islam juga tidak ada toleransi dalam perkara-perkara yang sudah jelas dalilnya (qath'i) seperti dalam perkara akidah (keyakinan) dan perkara syari'at. 

Pada perkara akidah misalnya Islam tidak mentolerir adanya anggapan atau keyakinan yang tidak mengakui ke-Tuhanan Allah Swt., baik itu atheisme, politeisme, atau keyakinan yang tidak lengkap terhadap rukun Iman dalam Islam seperti mengingkari Al-Qur'an, sunnah atau kerasulan Muhammad Saw. Kemudian dalam perkara syar'iat, Islam juga tidak mentolerir terhadap muslim yang melanggar syariat atau orang-orang yang menghina syari'at Islam baik berupa kewajiban-kewajiban dari Allah atau pun larangan-larangan-Nya. 

Prinsip toleransi dalam Islam telah menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat ketika Islam diterapkan secara kaffah, bahkan di dalam negara Islam dalam waktu yang lama hampir 14 abad. Antar umat beragama hidup berdampingan, tanpa adanya sejarah keterlibatan masing-masing agama kepada agama selain mereka. Hal tersebut menjadi bukti, umat Islam dan agama selainnya bisa hidup berdampingan dengan tentram ketika hidup dalam sistem peraturan Islam. 

Gambaran toleransinya kaum muslim dalam negara Islam pernah disampaikan oleh salah seorang orientalis sekaligus sejarahwan Kristen Thomas Walker Arnold, ia memuji kerukunan beragama dalam negara Khilafah, di dalam bukunya "The Preching of Islam, A History of propagation of the muslim Faith."

Will Durant seorang sejarahwan Barat bersama istrinya Ariel Durant, menulis buku Story Of Civilization, beliau menulis bahwa "Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan, para Khalifah juga telah menyiapkan berbagai peluang untuk siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas, fenomena seperti itu belum pernah tercatat dalam sejarah setelah zaman mereka."

Demikianlah gambaran kekaguman orang-orang non muslim yang jujur dalam melihat fakta sejarah Islam, bahwa di dalam negara Islam, penguasa benar-benar berperan penting dalam menjaga akidah umat. Islam menjadikan para pemimpin dan pejabat negara memberikan nasihat takwa agar umat tetap terikat dengan aturan Islam. 

Negara juga menyiapkan Departemen Penerangan yang memberikan penerangan/penjelasan bagaimana tuntunan Islam dalam menyikapi hari besar agama lain. Dalam sistem Islam, negara juga memiliki qadhi' hisbah yang akan menjelaskan di tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya interaksi umat Islam dengan agama lain, khususnya bagaimana aturan Islam terkait perayaan agama lain. 

Wallahu a'lam.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم