Kenaikan UMK bukanlah Solusi



Oleh: Susi Ummu Humay

Para pekerja di Kabupaten Bandung menyambut positif kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK)  yang  mulai diberlakukan pada Januari 2025. Kenaikan UMK tersebut telah resmi ditetapkan sebesar 6,5 persen oleh Pejabat Gubernur Jawa Barat,  Bey Machmudin. 

Sebelum terjadinya kenaikan, besar UMK Kabupaten Bandung Rp3.527.967,  dengan bertambahnya Rp229.000, maka UMK Kabupaten Bandung menjadi Rp3.757.284 . Para pekerja buruh membandingkan kenaikan tahun ini lebih adil daripada tahun sebelumnya yang hanya naik sebesar Rp35.000.

Ketua Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) Kabupaten Bandung, Adang, mengatakan  kenaikan ini  lebih masuk akal dan manusiawi. Beliau berharap hal tersebut  bisa membantu meningkatkan daya beli para pekerja buruh. Dan sebagai langkah yang lebih baik untuk kesejahteraan pekerja. (20/12/2024) Dilansir dari HASANAH.ID

Kenaikan UMK 6,5 persen dianggap sebagai angin segar bagi para pekerja sebagaimana kebijakan bansos dan makan gratis, Padahal itu merupakan kebijakan yang hanya dijadikan senjata untuk meredam amarah rakyat di tengah kebijakan dzolim lainnya, Diantaranya kenaikan PPN 12 persen dan kenaikan Tarif Dasar Listrik Nonsubsidi. Jadi kenaikan UMK bukanlah sebuah solusi. 

Dalam sistem kapitalis, persoalan buruh tidak pernah tuntas. Karena Negara tidak menyelesaikan masalah hingga ke akarnya, yaitu karena di terapkannya sistem ekonomi kapitalisme. Makan negara tidak berperan dalam memenuhi urusan rakyat. 

Penentuan upah merupakan hal yang mesti dilakukan agar pekerja terlindungi dari perbudakan modern. Namun di sisi lain, hal itu menambah beban bagi pengusaha karena pengusaha mesti menjamin kesejahteraan pekerja. Apalagi UMK diukur dari upah minimum layak padahal kenyataannya tidak layak. Penetapan upah dalam sistem kapitalisme akan  menjadi simalakama. Ketika negara berpihak pada buruh, maka pengusaha akan merasa di rugikan, Begitu pula jika aturan berpihak pada pengusaha, buruh juga akan banyak dirugikan.

Penetapan upah dalam sistem Islam bukan ditentukan oleh negara, tetapi ditinjau dari  manfaat dan kesepakatan antara pekerja (ajir) dan mustajir (pengusaha). Sedangkan negara berperan dalam menstabilkan ekonomi agar rakyat mudah memenuhi kebutuhannya. Jadi pengusaha tidak akan terbebani. Pengupahan dalam Islam sesuai dengan prinsip dasar kegiatan ekonomi (muamalah), yaitu asas keadilan dan kesejahteraan. Upah pekerja diukur dari kompetensi suatu jasa bukan dari tenaga. 

Pengusaha harus membayarkan upah tepat waktu serta tidak boleh menundanya. Karena menunda-nunda pembayaran upah termasuk perbuatan dzalim. Dari Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).

Apabila ada perselisihan masalah upah antara pekerja dan majikan, maka kedua belah pihak wajib memilih pakar (khubara’) yang akan menentukan upah sepadan. Namun jika masih bersengketa, maka negaralah yang akan memilih pakar tersebut dan memaksa kedua belah pihak untuk menerima keputusan pakar tersebut.

Negara bertanggung jawab untuk memastikan ijarah (pengupahan) berjalan sesuai dengan akad yang telah disepakati antara majikan dan pekerja. Hak pekerja adalah mendapatkan upah yang adil dan layak. Apabila upah pekerja tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, berarti jenis pekerja seperti ini terkategori fakir. Sehingga Ia termasuk kedalam golongan orang yang berhak mendapatkan zakat yang dikumpulkan dari para muzaki.

Apabila zakat itu belum juga mencukupi kebutuhannya, maka negara akan memberikan santunan. Dan Negara juga akan memfasilitasi para pekerja dengan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaannya, berupa pelatihan agar setiap orang dapat bekerja sesuai kapasitasnya. Begitulah prinsip pengupahan dalam sistem Islam. Kesejahteraan pekerja hanya dapat terwujud dengan penerapan islam secara kaffah.

Wallahu a'lam bish-shawab.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم