Sambut Pergantian Tahun Dengan Kenaikan Pajak: Pemerintahan Baru Minim Empati



Endah Sulistiowati (Dir. Muslimah Voice)

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% akan berlaku mulai 1 Januari 2025, sesuai amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sejumlah barang akan dikenakan tarif ini, sementara buku cetak dan digital tetap bebas PPN kecuali yang melanggar hukum, seperti berisi unsur diskriminasi atau pornografi.

Menurut Kementerian Keuangan, kenaikan ini bertujuan untuk memperkuat penerimaan negara, meskipun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi diprediksi tidak terlalu signifikan.

Adapun barang yang terkena PPN 12% mencakup berbagai kebutuhan, mulai dari perangkat elektronik seperti kulkas hingga pulsa. Pemerintah tetap optimis, meski kenaikan tarif ini berpotensi memengaruhi daya beli masyarakat.

Yang tidak habis pikir, sudah tahu akan mempengaruhi daya beli masyarakat, dan tentu saja akan semakin memperkeruh keadaan, ekonomi yang sudah sulit akan semakin sulit. Tapi pemerintah masih ngoyo untuk menaikkan PPN meskipun 1%, namanya tetap naik. Mau tidak mau masyarakat pun dipaksa untuk menerima kenaikan ini. 


Latar Belakang Pemerintah Menaikkan PPN 
Dalam rapat dengan komisi XI DPR, pertengahan November lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan dengan menaikkan PPN akan menjaga "kesehatan" Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) setelah pandemi COVID-19.

"Kita perlu untuk menyiapkan [kenaikan PPN] agar bisa dijalankan dengan penjelasan yang baik sehingga kita bisa, bukan membabi buta, APBN dijaga kesehatannya," ujarnya pada pertengahan bulan November.

"APBN harus berfungsi dan mampu merespon seperti global crisis, pandemic, itu kita gunakan APBN."

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2023 yang sudah diaudit, pendapatan negara lewat penerimaan pajak dalam negeri adalah sebesar Rp2.089,7 triliun, dari total realisasi penerimaan APBN Rp2.783,9 triliun.

Dari total penerimaan pajak dalam negeri, PPN menyumbang lebih dari Rp749 triliun di tahun 2023. Sebelum tarif PPN naik dari 10 ke 11 persen, penerimaan PPN di tahun 2021 adalah sebesar Rp548 triliun.

Menurut Dr. Prianto Budi Saptono, ketua pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), pendapatan tambahan dari PPN memberikan pemerintah keleluasaan fiskal, karena bisa melakukan belanja negara tanpa harus menutupi defisit anggaran dengan utang.

"Masyarakat memang yang jelas nanggung, tapi kemudian pemerintah bisa memberikan insentif ke masyarakat," ujarnya kepada Tri Ardhya dari ABC Indonesia.

Insentif yang dimaksud adalah pengeluaran negara secara langsung yang bisa dinikmati oleh rakyat atau dalam bentuk bantuan langsung tunai. Padahal kita tahu, insentif ke masyarakat hanya sebagian kecil saja. Lainnya untuk membiayai proyek-proyek yang tidak dirasakan sebagian besar masyarakat. 

Pengaruh Kenaikkan PPN bagi Masyarakat 
Jika dilihat secara global, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4 persen. Namun dari data Worldwide Tax Summaries yang dirilis konsultan keuangan dunia, Pricewaterhouse Coopers (PwC), Indonesia akan jadi negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN bersama Filipina (12 persen), sementara Brunei Darussalam berada di posisi terendah karena tidak punya tarif PPN.

Andry Satrio Nugroho, peneliti dari The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan kenaikan PPN saat pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19 akan semakin melemahkan daya beli masyarakat.

"Kami juga mengukur melalui pengukuran computable general equilibrium, di mana konsumsi rumah tangga ini pastinya akan tergerus ketika PPN 12 persen ini dinaikkan. Kurang lebih akan menurunkan 0,26% konsumsi rumah tangga," jelas Andry.

"Kita tahu sendiri 60 persen dari perekonomian Indonesia, di-generate dari konsumsi rumah tangga, sehingga efeknya akan ke pertumbuhan ekonomi."

Sehingga kenaikkan PPN dari 11% menjadi 12% ibarat pemerintah menjilat ludah sendiri. Pasca pandemi yang harusnya perekonomian digenjot, malah dipatahkan dengan kenaikkan PPN yang menyebabkan makin lemahnya daya beli masyarakat serta menambah lesunya perekonomian Indonesia. 

Strategi Menaikkan Pendapatan Negara Tanpa Menaikkan Pajak 

Selama ini rakyat berada dalam kondisi yang berat karena sulitnya lapangan pekerjaan, maraknya PHK, upah rendah, harga-harga yang membumbung tinggi, dan biaya layanan publik (pendidikan, kesehatan, dan transportasi) yang mahal. Dalam kondisi yang demikian, rakyat masih ditekan dengan banyaknya pungutan pajak dan tarif pajak yang makin tinggi. Tercatat ada pajak pusat (PPh, PPN, PPnBM, dan Bea Meterai) dan pajak daerah (Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Air, BPHTB, Pajak Hotel, Pajak Hiburan, dan lainnya). Akibatnya, beban hidup rakyat makin berat.

Rakyat dari kalangan pekerja terpaksa menerima gaji yang tidak utuh karena telah dipotong PPh 21 dan aneka pungutan lain seperti iuran BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (JKK & JKm), BPJS Jaminan Pensiun, dan iuran Tapera. Tidak lupa PPN setiap kali membeli barang, juga retribusi parkir, dan lainnya. Tampak bahwa pungutan terhadap rakyat amat banyak. Akibatnya, rakyat miskin  makin kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kehidupan mereka jauh dari gambaran sejahtera.

Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber pemasukan utama negara. Di Indonesia, kondisinya pun demikian. Realisasi penerimaan pajak 2023 mencapai 78% dari total penerimaan negara yang sebesar Rp2.774,3 triliun (Kemenkeu, 10-1-2024). Sedangkan penerimaan dari sumber daya alam (SDA) hanya sebesar Rp223 triliun atau 8% dari total penerimaan negara.

Negara dalam sistem kapitalisme menyerahkan kekayaan SDA pada swasta lokal maupun asing dan hanya mendapat dividen yang sangat kecil. Untuk membiayai kebutuhan negara, pemerintah menggenjot penerimaan pajak. Rakyat dikejar-kejar pajak, bahkan nyaris semua aspek dalam kehidupan dipajaki. Ini dilakukan demi mencapai target penerimaan pajak yang terus naik setiap tahunnya. Miris, kekayaan alam milik rakyat diberikan pada swasta kapitalis, tetapi rakyat justru dipaksa membayar pajak dalam jumlah besar.

Solusi untuk mengatasi kezaliman pajak adalah kembali kepada syariat Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islam) yang menerapkan syariat Islam secara kafah, perekonomian negara pun diatur dengan hukum-hukum Islam, termasuk dalam pengelolaan APBN, baik terkait pemasukan maupun pengeluarannya.

Menurut Syekh Abdul Zallum (2003), terkait pemasukan dalam APBN Khilafah Islam, ada 12 kategori. Di antaranya pemasukan dari harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumûs), pungutan dari tanah kharaj, pungutan dari nonmuslim (jizyah), harta milik umum, harta milik negara, harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyr), harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram, zakat, dst. (Syekh Abdul Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 30).

Dari penjelasan di atas, salah satu sumber terbesar dalam APBN Khilafah Islam adalah harta milik umum (milkiyyah ‘âmah). Terkait harta milik umum ini Rasulullah saw. bersabda, “Manusia berserikat dalam tiga perkara, yakni air, padang rumput, dan api (energi).” (HR Abu Dawud).

Dalam hadis lainnya, sebagaimana penuturan Abyadh bin Hammal ra., disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah menarik (mengambil) kembali tambang garam yang semula sempat beliau berikan kepada Abyadh ra.. Tindakan beliau ini dilakukan setelah beliau diberi tahu oleh para sahabat tentang betapa melimpahnya tambang garam tersebut (menyerupai “al-mâ‘u al-‘iddu”, air yang terus mengalir tanpa henti). (HR Ibnu Majah).

Dari kedua hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa semua sumber daya alam, di antaranya tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Harta milik umum ini wajib dikelola oleh negara. Semua hasilnya lalu diberikan kepada seluruh rakyat, langsung ataupun tidak langsung. Harta milik umum ini haram diserahkan kepada individu/swasta apalagi dikuasai oleh pihak asing sebagaimana yang terjadi selama ini. (Lihat: Syekh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 48–66).

Dalam konteks Indonesia, harta milik umum dapat memberikan penerimaan besar jika negara bisa meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut secara optimal. Sebagai contoh, minyak mentah dapat meningkat nilainya hingga lebih dari 10–25 kali lipat jika diolah menjadi produk-produk industri petrokimia, seperti polyethylene yang menjadi bahan baku kemasan, botol, pipa, dan kabel. Bijih nikel (0,9–1,8 persen) seharga USD30,5 per ton, jika diolah menjadi High-Purity Nickel (99,9) seharga USD24,293, dapat meningkatkan nilainya menjadi 796 kali lipat. (Shanghai Metal Market,16-7-2023).

Menurut ekonom muslim, Muhammad Ishak (2024), potensi pendapatan negara dari kekayaan sumber daya alam negeri ini adalah sebagai berikut.

Pertama, minyak mentah. Dengan produksi 223,5 juta barel, harga rata-rata USD97 per barel, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 54,1 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp183 triliun.

Kedua, gas alam. Dengan produksi 2,5 miliar MMBTU, harga rata-rata USD6,4 per MMBTU, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 54,1 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp136 triliun.

Ketiga, batu bara. Dengan produksi 687 juta ton, harga rata-rata 345 per ton, dan nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 57,4 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp2.002 triliun.

Keempat, emas. Dengan produksi 85 ton, harga rata-rata USD63,5 juta per ton, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 34,9 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp29 triliun.

Kelima, tembaga. Dengan produksi 3,3 juta ton, harga rata-rata USD8.822 per ton, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 34,9 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp159 triliun.

Keenam, nikel. Dengan produksi bijih nikel yang setara dengan 1,8 juta ton nikel, harga rata-rata USD2.583 per ton, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 26,6 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp189 triliun.

Ketujuh, hutan. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup (2022), luas hutan di Indonesia mencapai 120,26 juta hektar. Menurut perhitungan Prof. Dr. Ing. Amhar (2010), dengan asumsi luas hutan 100 juta hektar dan untuk menjaga kelestariannya dengan siklus 20 tahun, maka hanya 5 persen dari tanaman yang dipanen setiap tahunnya. Jika dalam 1 hektar hutan setidaknya terdapat 400 pohon, artinya hanya 20 pohon per hektar yang ditebang setiap tahunnya. Jika nilai pasar kayu dari pohon berusia 20 tahun adalah Rp2 juta dan keuntungan bersihnya Rp1 juta, nilai ekonomis dari hutan tersebut adalah 100 juta hektar x 20 pohon per hektar x Rp1 juta per pohon = Rp2.000 triliun. Namun, dengan mempertimbangkan deforestasi dan illegal logging, ia memperkirakan bahwa Rp1.000 triliun dapat diperoleh setiap tahunnya (fahmiamhar[dot]com, Mencoba Meramu APBN Syariah).

Kedelapan, kelautan. Dengan luas wilayah Indonesia yang 75 persen merupakan laut, potensi ekonomi berbasis sektor kelautan (blue economy) sangat besar. Beberapa sumber pendapatan kelautan dan perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi, seperti perikanan tangkap, budidaya, pengolahan hasil perikanan, bioteknologi kelautan, serta industri, dan jasa maritim. Potensi pendapatan juga diperoleh dari energi dan mineral, pariwisata bahari, transportasi laut, dan coastal forestry. Kepala Bappenas memperkirakan nilai tambah ekonomi berbasis perairan atau ekonomi biru akan mencapai US$30 triliun pada 2030. Menurut perhitungan Dahuri (2018) sumber-sumber tersebut dapat menghasilkan pendapatan per tahun sebesar USD1,33 triliun per tahun. Nilai itu setara dengan Rp20.795 triliun dengan kurs Rp15.600/USD. Jika 10 persen dari potensi itu dapat dikelola oleh perusahaan negara, potensi penerimaannya mencapai Rp2.079 triliun. Jika diasumsikan harga pokok produksi mencapai 50 persen, laba dari sektor kelautan yang masuk ke APBN mencapai sekitar Rp.1.040 triliun.

Berdasarkan perhitungan atas beberapa sumber penerimaan APBN di atas, maka potensi pendapatan dari delapan harta milik umum saja (batu bara, minyak mentah, gas, emas, tembaga, nikel, hutan, dan laut) dapat diperoleh laba sebesar Rp5.510 triliun (melebihi kebutuhan APBN yang hanya sekitar Rp3.000 triliun). Sesungguhnya masih ada 12 sumber pendapatan lain yang juga memiliki potensi penerimaan yang cukup besar. Dengan itu tentu negara tidak perlu memungut pajak dari rakyat ataupun berutang ke luar negeri. Syaratnya hanya satu, yakni semua itu harus dikelola berdasarkan ketentuan syariat Islam. (Lihat: Muis, Al-Waie, Edisi Maret 2024).

Sehingga untuk menaikkan pendapatan tanpa menaikkan pajak harus dilaksanakan dalam sistem Islam yang disebut dengan Khilafah. Karena hanya dalam sistem Islam lah posisi penguasa itu sebagai pengurus rakyat bukan pemalak rakyat.

Khotimah 

Indonesia sebagaimana negara kapitalis pada umumnya menjadikan pajak sebagai penopang pendapatan utama negara. Begitu negara kekurangan anggaran maka pajak yang akan digenjot. Akibatnya rakyat yang kembali menjadi korban, daya beli turun, perekonomian pun lesu. 

Harusnya negara bisa menggenjot pendapatan tanpa menaikkan pajak. Karena kita ketahui Indonesia kaya akan sumber daya alam (SDA). Harusnya SDA ini yang dikelola dengan optimal untuk menutup kurangnya pendapatan negara. Islam ketika diterapkan secara kaffah dalam sistem Khilafah mampu mendongkrak pendapatan dengan mengoptimalkan pengelolaan SDA dan sumber pendapatan lain tanpa harus menarik pajak. Saat ini umat Islam dan pemimpinnya harus sudah mulai kembali pada sistem Islam agar hidup berkah dan sejahtera. Wallahu'alam.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم