Oleh: Lelih (Pemerhati Sosial)
Di penghujung tahun 2024 rakyat Indonesia dibuat resah dengan kebijakan pemerintah yang akan menaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang sebelumnya 11% menjadi 12%,dan diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Tentu pemerintah punya dalih dibalik kebijakan tersebut, yaitu untuk meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi defisit anggaran, sehingga bisa mendukung program pemerintah salah satunya makan bergizi gratis. Kebijakan ini sudah dijamin dalam UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Sungguh ironis di negeri yang sumber daya alamnya melimpah tetapi justru pendapatan utamanya bersumber dari pungutan pajak yang dibebankan kepada rakyat. Berdasarkan data kementrian keuangan porsi penerimaan perpajakan terhadap total pendapatan negara diatas 75 persen. Inilah dampak dari penerapan ekonomi kapitalis, hampir di semua negeri yang menerapkan sistem ekonomi ini pendapatan negaranya didominasi dari pajak.
Bisa dikatakan PPN 12% merupakan jalan untuk menambah pendapatan negara dengan cara instan karena pajak diberlakukan pada barang yg kita konsumsi sehari-hari. Walaupun pemerintah berdalih hanya akan dikenakan pada barang mewah, namun realitanya tidak seperti itu. Mirisnya lagi kenaikan pajak tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan individu, sehingga kebijakan ini sangat mendzolimi rakyat, terutama kalangan menengah kebawah bisa dipastikan dampaknya seperti efek karambol. Daya beli konsumen makin menurun, sektor usaha melemah, kriminalitas meningkat, terjadi kemiskinan struktural yang tidak bisa dihindari lagi. Pada dasarnya kebijakan seperti ini tidak disenangi oleh masyarakat, terbukti banyaknya gelombang penolakan bahkan sampai membuat petisi agar kebijakan ini dibatalkan.
Tapi tentu saja pemerintah seperti biasa punya obat ampuh untuk meredam gejolak yg muncul dari kalangan bawah. Pemerintah sudah menyiapkan kompensasi kenaikan PPN dengan Bansos dan diskon biaya listrik sebesar 50% untuk daya 2200 VA ke bawah berlaku pada bulan Januari dan Februari, bagi pekerja yg terkena PHK diberikan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebesar 60 persen dari upah selama lima bulan, pelatihan senilai Rp.2,4 juta, serta kemudahan akses ke Program Prakerja. Semua kompensasi ini sejatinya tidak menyelesaikan masalah. Rakyat kecil hanya diberikan sedikit hiburan ditengah kecemasan akan nasibnya kedepan.
Beginilah nasib rakyat dalam sistem kapitalis, dimana rakyat diwajibkan menanggung beban negara yang sangat berat, dengan slogan “orang bijak taat bayar pajak”, “bangga bayar pajak”,”ayo peduli pajak”, menjadikan rakyat merasa kemajuan pembangunan negara itu bergantung pada ketaatan mereka membayar pajak. meski kehidupan mereka sudah sangat tercekik. Padahal Sebagian besar hasil pembangunan itu hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang saja yang dikatakan “berduit”. Maka tidak salah jika kita beri gelar negeri ini sebagai negara pemalak. Penguasa hadir hanya berfungsi sebagai regulator dan pengawas saja, tapi tidak mampu memenuhi hak-hak rakyatnya.
Semestinya penguasa di negeri ini bisa mengoptimalkan potensi Sumber Daya Alam dan mengelolanya dengan baik, menjadikannya sumber utama penerimaan negara. Sehingga tidak perlu adanya pungutan pajak dari rakyat. Bukan malah menyerahkan pengelolaannya kepada swasta bahkan pihak asing, sehingga kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh para pemilik modal saja. Walhasil negara hanya bertumpu pada pajak dan utang.
Dalam Islam pendapatan dan pengeluaran kas negara (Baitul mal) bersifat baku, tidak boleh ditambah dan dikurangi. Prinsip utama ini harus sesuai ketentuan syariat Islam, dan memberikan kemaslahatan bagi agama dan rakyat. Khalifah sebagai kepala negara berwenang untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran dengan berpegang teguh pada ketetapan Islam. Khalifah tidak boleh menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan belanja negara. Khalifah juga tidak boleh menempatkan semua bentuk kegiatan yang bertentangan dengan Islam pada pos pengeluaran.
Adapun sumber pendapatan APBN Khilafah, di antaranya ialah anfal, ganimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, harta milik umum dari sektor energi, tambang, hasil laut, dan hasil hutan, harta milik negara, kemudian bea cukai untuk barang dagang milik kafir dzimmi dan kafir harbi yang ditetapkan besarannya oleh khalifah, atau menyesuaikan dengan ketetapan negara kafir atas barang dagang kaum muslim, harta yang tidak ada ahli waris nya, harta orang yang murtad, dan zakat.
Sedangkan pajak atau dhoribah hanya diwajibkan saat kondisi baitul mal tidak ada uang atau harta, hanya ditetapkan bagi orang kaya saja dan bersifat sementara sampai baitul mal dalam kondisi stabil. Dengan banyaknya sumber pendapatan negara khilafah, dan khalifah harus memastikan pendistribusian harta yang adil dan merata, sehingga rakyat akan terpenuhi kebutuhan asasinya dan tidak akan terbebani dengan pungutan pajak yg mencekik seperti hari ini.
Dengan demikian, hanya Khilafah beserta syariat yang diterapkan secara kaafah yang dapat mewujudkan sejahtera bagi rakyatnya. Menjadi kewajiban seluruh kaum muslim untuk berjuang menegakkannya kembali. Kesejahteraan hidup di bawah naungan Khilafah pada akhir zaman telah diberitakan Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya.” (HR Muslim).