Listrik Belum Merata Kemaslahatan Rakyat Diabaikan




Oleh : Sri Ummu Sakha

Sebanyak 22.000 kepala keluarga (KK) di Jawa Barat (Jabar) belum teraliri listrik. Jika memenangi Pilkada Jabar 2024, calon gubernur (cagub) Jawa Barat (Jabar) nomor urut 4 Dedi Mulyadi menargetkan dalam dua tahun pemerintahannya seluruh warga Jawa Barat akan mendapat aliran listrik. Dedi menyampaikan hal itu saat menanggapi pertanyaan panelis dalam debat Pilkada Jabar 2024, Sabtu (23/11/2024). Pertanyaan panelis merujuk pada program Jabar Caang (terang), yang meski sudah gencar disosialisasikan, tetapi hingga kini masih ada 22.000 KK belum teraliri listrik.

Komunitas Pemilik Nama Asep Dukung Dedi Mulyadi pada Pilgub Jabar Panelis pun menantang Dedi Mulyadi program dan strategi apa yang disiapkan untuk mengatasi hal tersebut jika terpilih menjadi gubernur pada Pilkada Jabar 2024. "Begini, saya punya pengalaman membuat seluruh warga bisa teraliri listrik. Caranya manfaatkan kebijakan fiskal," ungkap Dedi Mulyadi jika memenangi Pilkada Jabar 2024.

Dia menyatakan, pihaknya akan memanfaatkan dana pemerintah untuk membantu warga yang belum teraliri listrik. Selain itu, banyak sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan untuk membangun listrik mandiri. Dedi menyebutkan, sumber daya alam, seperti air, maupun angin bisa dikelola untuk menghasilkan listrik sehingga bisa menerangi kawasan terpencil. "Ini tinggal dimaksimalkan oleh desa, atau badan usaha milik desa untuk membuat listrik sendiri," ujarnya. (Bogor, Beritasatu.com) 

Listrik merupakan kebutuhan penting yang seharusnya dipenuhi oleh negara. Namun hal ini tidak terwujud karena liberalisasi tata kelola listrik pada sumber energi primer dan layanan listrik, yang berorientasi mendapatkan keuntungan. Akibatnya penyediaan listrik di pedesaan tidak terlalu diperhatikan karena mahalnya biaya. Miris diera digital dan teknologi yang semakin canggih namun masih ada wilayah yang belum mendapat layanan listrik, patutlah dipertanyakan. Mengapa negeri ini masih berkutat dengan persoalan klasik, yaitu pemerataan fasillitas dan layanan publik wilayah pelosok atau terpencil. Ini karena hajat hidup publik seperti energi listrik diliberalisasi sedemikian rupa menjadi layanan berbayar atau tidak gratis.

Liberalisasi listrik yaitu dominasi swasta dalam mengelola hajat hidup masyarakat. Liberalisasi bidang energi listrik sudah dimulai sejak tahun 2000-an. Pada tahun 1990-an, telah banyak berdiri independent power producer (IPP) melalui perjanjian jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA). IPP tersebut mengelola pembangkit listrik dengan menjual sebagian atau seluruh produksi listriknya ke PLN. Pada akhirnya, skema kerja sama ini memaksa PLN selaku BUMN membeli listrik kepada IPP sebagai perusahaan pembangkit listrik swasta dengan harga berlipat.

Peran IPP untuk mendukung ketersediaan listrik kian meningkat. Nilai tenaga listrik yang dibeli PLN dari IPP makin meningkat tiap tahunnya. Pada 2016 nilai tenaga listrik yang dibeli PLN sebanyak Rp60 triliun hingga pada 2021 mencapai Rp104 triliun. Negara merasa terbantu dengan kehadiran IPP karena membangun sebuah pembangkit listrik memerlukan biaya yang sangat besar dan waktu pembangunan yang lama sehingga menggandeng pihak luar dijadikan alasan sebagai pembenaran. 

Kebijakan ini makin dilegitimasi dengan terbitnya UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan yang menyebut bahwa penyediaan listrik dilakukan oleh negara, tetapi badan swasta atau asing tetap bisa berperan sebagai pihak penyedia energi listrik. Dengan UU ini, pemerintah menggandeng swasta sebagai pembangkit listrik dengan alasan percepatan pemerataan listrik di seluruh wilayah Indonesia.

Sebagai pihak swasta, IPP pasti menginginkan keuntungan mengingat biaya untuk membangun pembangkit listrik sangat besar. Layaknya perusahaan swasta pada umumnya, berbisnis di bidang energi yang dibutuhkan masyarakat harus mendatangkan keuntungan besar bagi mereka. Hingga saat ini, IPP hanya mau berinvestasi membangun pembangkit listrik di wilayah-wilayah pusat beban listrik, seperti Sumatra dan Jawa. Sangat wajar jika wilayah pelosok terpencil dianggap tidak menguntungkan bagi perusahaan pembangkit listrik. Dari aspek infrastruktur dan perekonomian, investor belum tertarik membangun pembangkit listrik di wilayah pelosok atau terpencil.

Lumrah penyediaan hajat hidup ini dilakukan oleh korporasi sehingga harga listrik niscaya mahal. Negara lepas tangan menjamin pemenuhan kebutuhan naluri rakyatnya. Mereka percayakan urusan rakyatnya sepenuhnya pada pemilik modal, Bahkan Negara justru memalak rakyat melalui tata kelola listrik yang kapitalistik ini.

Sudah saatnya kita mengenang kembali dan mengulang kembali kejayaan umat islam dengan Sistem pemerintahan Dalam Islam, listrik adalah milik umum, harus dikelola negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk listrik gratis atau murah (mudah dijangkau). Sehingga rakyat bisa memenuhi kebutuhan hidup lainnya. 
Islam melarang penyerahkan pengelolaannya kepada swasta. 

Negara yang bertanggung jawab memastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya, dengan harga listrik murah bahkan gratis, layanan merata sampai ke pelosok terpencil sekalipun harus merasakan penerangan listrik. Dalam mengelola layanan listrik ini, Negara menyediakan sarana prasarana terbaik sehingga memudahkan rakyat dalam mengaksesnya. Pelayanan terbaik tidak pandang buluh semua rakyat terjamin seluruh kebutuhannya oleh negara. 

Wallahu 'alam bisshawab

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم