Oleh: Ita Ummu Salma
Desa Batu Beriga adalah suatu Desa yang berada di Kecamatan Lubuk Besar dibagian Utara Kota Koba Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan BangkaBelitung yang berpotensi besar didalam sektor pariwisata. Masyarakat Batu Beriga merupakan masyarakat yang tinggal didaerah pesisir yang didominasi bermatapencaharian sebagai nelayan.
Terdapat banyak pro dan kontra dalam pembukaan penambangan timah yang akan dibuka oleh PT Timah di desa Batu Beriga. Masyarakat Beriga merupakan masyarakat yang menentang dan menolak adanya penambangan ini terutama didaerah mereka. Mereka menganggap bahwa penambangan ini dapat merusak ekosistem laut, dan mengganggu aktivitas mereka sebagai nelayan. Bagi mereka, laut adalah warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan agar nanti para keturunananya bisa merasakan laut di Batu Beriga.
Kondisi ekologis di Kepulauan Bangka Belitung terus mengalami degradasi yang kronis setiap tahunnya. Kita bisa mempertimbangkan berbagai hal terkait penyebab situasi demikian, namun sulit untuk tidak menunjuk industri penambangan timah sebagai kontributor utama kerusakan lingkungan, karena ekses negatifnya mengemuka jelas di depan mata kita. Tentu perusahaan-perusahaan tambang berplat merah maupun swasta yang berizin mengekstraksi timah, baik di darat dan laut, berkewajiban memulihkan lahan bekas tambang. Hal ini berfungsi untuk merehabilitasi lahan agar kondisinya kembali optimal.
Namun janji pemulihan ini selalu “jauh api dari panggang”, karena temuan-temuan terkait kondisi ekologis di Bangka Belitung tidak menunjukkan pemulihan yang signifikan
Gambaran di muka menjelaskan bahwa bisnis pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung mengabaikan aspek ekologis. Problem mendasarnya ialah, Negara membiarkan para pemilik modal tambang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari kekayaan timah, terutama melalui praktik pertambangan ilegal, yang tentunya terbebas dari kewajiban melakukan reklamasi lubang bekas tambang.
Desa Batu Beriga sendiri merupakan desa yang terletak di semenanjung timur Pulau Bangka dan dihuni oleh kelompok masyarakat etnis melayu yang telah mendiami kawasan tersebut secara turun temurun. Dan mayoritas penduduk di situ semuanya nelayan, dan disitulah mata pencarian mereka yang mendapatkan penghasilan,dan jelas mereka merasa terganggu dan akan mengurangi hasil pendapatan mereka jikalau penambang timah masuk dan akan merusak lingkungan seperti merusak karang serta mendorong peningkatan kerusakan lingkungan. Ini karena perusahaan-perusahaan swasta/asing hanya mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka sering tidak peduli atas pencemaran air, udara, dan tanah yang memberikan dampak negatif bagi masyarakat.
Perusahaan-perusahaan tambang batu bara dan timah di Indonesia, misalnya, membiarkan lubang-lubang tambang mereka terbengkalai tanpa melakukan reklamasi. Eksploitasi yang dilakukan perusahaan tambang telah mengakibatkan kerusakan lingkungan di sekitar tambang. Banjir menjadi sering terjadi. Air sungai dan laut menjadi keruh sehingga penduduk kesulitan mendapatkan air bersih dan kesulitan menangkap ikan yang menjadi mata pencaharian mereka. Inilah bencana ekologis yang jika dinilai dengan uang merugikan masyarakat hingga ratusan triliun rupiah.
kekayaan yang bersifat umum dan hasilnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat umum menurut Islam harus dikelola oleh Negara Islam mengatur secara jelas mengenai penambangan. Artinya, penambangan tersebut tidak boleh dikelola baik oleh individu maupun swasta.
Saat itu kekayaan yang bersifat umum dan hasilnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat umum.
Jika kita mau kembali kepada perspektif Islam dan menyerahkan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan suatu kepemilikan umum kepada Negara, maka InsyaAllah hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Dengan syarat, Negara mengelola SDA tersebut dengan baik, profesional dan amanah.
Namun sayang, yang terjadi saat ini justru SDA yang kita miliki bukan dikelola secara baik oleh Negara melainkan dikelola oleh pihak swasta dan bahkan diserahkan kepada luar negeri. Salah satu contohnya adalah tambang Freport di Papua. Karena tidak dikelola dengan baik oleh Negara dan diambil alih oleh pihak asing maka harapan dapat mensejahterakan masyarakat justru malah menimbulkan masalah baru. Bukannya kesejahteraan yang diperoleh, justru kerusakan alam yang diwariskan kepada masyarakat. Sementara itu, pundi-pundi hasil jarahan dari SDA yang kita miliki hanya untuk memperkaya dan mensejahterakan individu atau pihak-pihak tertentu.
Padahal menurut Islam, Negara berkewajiban mengelola kekayaan sumber daya alam yang dimiliki dan mengembalikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Hasil tersebut dapat berupa subsidi untuk kesehatan, pendidikan, listrik dan lain-lain. Jika perlu Negara memberikan semuanya itu secara cuma-cuma kepada rakyatnya. Namun kondisi yang terjadi saat ini kekayaan alam kita dikuras habis tetapi hutang di luar negeri bukannya berkurang malah semakin bertambah.
Agar semua itu bisa terwujud, jelas negara ini harus diatur oleh syariat Islam. Bukan oleh aturan-aturan dari ideologi kapitalisme sebagaimana saat ini yang memberikan keleluasaan sedemikian rupa kepada pihak swasta/asing dalam menguasai sebagian besar harta kekayaan milik umum, di antaranya aneka tambang yang sangat berlimpah di negeri ini. Selain itu, hukuman yang tegas ketentuan syariat Islam terhadap para koruptor, khususnya yang melakukan korupsi atas harta kekayaan milik umum (rakyat) wajib ditegakkan.
Berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadits bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak (komunitas) dan jika tidak ada maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya. Artinya berserikatnya manusia itu karena posisi air, padang rumput, dan api sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh suatu komunitas atau masyarakat. Contoh barang fasilitas umum sifatnya sama seperti ketiga hal tersebut termasuk sarana transportasi umum, fasilitas kesehatan, dan sebagainya.
Barang yang termasuk kepemilikan umum dikelola oleh negara untuk kepentingan publik. Negara boleh memberikan kepada rakyat secara gratis atau menetapkan harga tertentu yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat, karena negara hanya mewakili umat untuk mengelola barang tersebut. Hal ini berbeda dengan kepemilikan negara, dimana khalifah memiliki kewenangan berdasarkan ijtihadnya dalam pengelolaan dan pendistribuasian barang milik negara.
Dalam hal ini, posisi penguasa/negara adalah sebagai pengelola, bukan sebagai pemilik. Maka pos pemasukan dan pengeluaran dari sumber kepemilikan umum ini menempati pos tersendiri di Baitul Mal. Semuanya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan umat/rakyat. Islam melarang tegas negara, ataupun individu untuk menswastanisasi harta milik umum (rakyat) tersebut, apalagi hingga dikelola oleh swasta/individu.
Namun hari ini dalam sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, sumber daya alam termasuk migas telah diswastanisasi . Tambang milik umum seperti minyak, gas, emas, dan tambang lainnya telah banyak di privatisasi oleh individu maupun perusahaan. Hal ini akhirnya berdampak pada sulitnya rakyat mendapatkan haknya kecuali harus berbayar mahal. Apalagi harga BBM terus naik sehingga berdampak pada kenaikan harga kebutuhan lainnya.
Dalam Islam, negara berkewajiban mengelola harta milik umum seperti air, tambang, dan lain sebagainya. Hasilnya dikembalikan demi kesejahteraan rakyatnya.
Oleh karena itu, penerapan syariat Islam dalam pengaturan negara ini di segala bidang kehidupan, khususnya di bidang ekonomi, khususnya lagi dalam pengelolaan sumber daya alam milik umum, harus segera diwujudkan. Sebabnya jelas, Allah Swt. telah memerintahkan semua muslim—tanpa kecuali—untuk mengamalkan syariat Islam secara menyeluruh (kafah) sebagaimana firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS Al-Baqarah [2]: 208). WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []