Oleh: Tri Setiawati, S.Si
Generasi muda saat ini tumbuh di tengah arus teknologi yang begitu deras, dari ponsel pintar hingga media sosial, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Teknologi membawa banyak kemudahan, memperluas akses informasi, dan membuka peluang baru dalam berbagai bidang. Namun, di balik segala manfaatnya, muncul pertanyaan yang semakin penting: apa dampak penggunaan teknologi ini terhadap kesehatan mental generasi muda? Banyak penelitian menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan teknologi berlebih dengan peningkatan stres, kecemasan, hingga depresi. Dalam artikel ini, kita akan mengupas lebih dalam bagaimana dampak teknologi terhadap kesehatan generasi muda, serta peran penting yang harus dimainkan oleh berbagai pihak untuk memastikan generasi muda tumbuh dengan sehat secara mental di era digital.
1.Tekanan Sosial dan Media Digital
Media sosial, sebagai salah satu produk teknologi digital, menjadi arena bagi generasi muda untuk mengekspresikan diri. Sayangnya, di balik itu, ada dampak psikologis yang serius. Banyak remaja merasa tertekan karena perbandingan sosial yang tak sehat. Fenomena fear of missing out (FOMO), di mana seseorang merasa tertinggal dari aktivitas sosial orang lain yang dipamerkan di media sosial, sering kali memicu kecemasan dan ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Di Indonesia, laporan dari Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa 6,1% penduduk berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan dan depresi. Fakta lain menunjukkan bahwa lebih dari 15,5 juta remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, khususnya terkait kecemasan dan depresi.
2.Kecanduan Teknologi dan Dampaknya terhadap Tidur
Selain itu, kecanduan teknologi menjadi masalah yang kian serius di kalangan generasi muda Indonesia. Remaja sering menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar untuk bermain game, berselancar di media sosial, atau menonton video online, yang berpotensi mengganggu kualitas tidur mereka. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan gadget secara berlebihan, terutama di malam hari, menyebabkan gangguan tidur yang berpengaruh pada kesehatan mental, seperti meningkatkan risiko depresi dan kecemasan. Di Indonesia, masalah ini terlihat semakin nyata, di mana lebih dari 21,8% remaja mengalami gangguan tidur yang dipicu oleh penggunaan perangkat digital.
3.Stigma dan Akses Terbatas ke Fasilitas Kesehatan Mental
Meskipun masalah kesehatan mental semakin banyak dibahas, stigma sosial di Indonesia masih menjadi penghalang bagi generasi muda untuk mencari bantuan. Banyak remaja yang merasa malu atau takut dianggap lemah jika mengakui bahwa mereka sedang mengalami masalah mental. Padahal, berdasarkan data dari WHO, tingkat bunuh diri di Indonesia adalah 3,4 kasus per 100.000 penduduk, dan banyak di antaranya melibatkan remaja yang mengalami gangguan mental yang tidak tertangani.
Stigma sosial terkait kesehatan mental masih menjadi kendala besar bagi generasi muda Indonesia untuk mencari bantuan profesional. Walaupun semakin banyak yang membicarakan pentingnya kesehatan mental, banyak remaja yang enggan mengakui bahwa mereka membutuhkan bantuan karena takut dianggap lemah atau “tidak normal”. Ini diperparah dengan kurangnya layanan kesehatan mental yang mudah diakses oleh masyarakat luas. Selain stigma, akses ke layanan kesehatan mental di Indonesia masih sangat terbatas, terutama di daerah pedesaan. Teknologi digital seharusnya menjadi alat yang mendukung perkembangan positif, bukan sumber gangguan psikologis. Namun, minimnya pendidikan literasi digital dan kesehatan mental membuat banyak remaja tidak mampu mengelola dampak negatif dari paparan teknologi ini. Misalnya, kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain di media sosial sering kali mengarah pada depresi dan kecemasan yang lebih tinggi, terutama ketika standar yang ditampilkan di sana tidak realistis atau manipulatif.
Teknologi memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental generasi muda di Indonesia. Meskipun teknologi digital menawarkan akses luas ke informasi dan hiburan, tanpa pengelolaan yang bijak, hal itu dapat mengakibatkan gangguan mental seperti kecemasan, depresi, dan gangguan tidur. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk meningkatkan literasi digital, menyediakan dukungan kesehatan mental, dan menghilangkan stigma terkait masalah ini, sehingga teknologi dapat dimanfaatkan tanpa mengorbankan kesejahteraan psikologis generasi muda (kumparan.com, 21/10/2024).
Pemuda melambangkan kekuatan. Semakin banyak pemuda di suatu negeri maka seharusnya semakin kuat negeri tersebut. Namun tidak demikian pada faktanya. Saat ini banyak pemuda memiliki gangguan kesehatan mental dengan sebab yang bermacam-macam.
Masalah ekonomi, bully, FOMO, innerchild, dan lain sebagainya. Munculnya masalah-masalah tersebut karena kondisi sistemik yang telah menyerang seluruh lini kehidupan, sehingga menjadikan kehidupan ini terasa begitu sempit dan berat.
Pola pikir yang salah dalam menyikapi masalah justru semakin menambah daftar permasalahan. Diantaranya ada yang memilih bunuh diri, ada yang menjadi gila hilang akal sehat, dan penyakit mental lainnya. Amat disayangkan karena hal ini banyak menyerang kawula muda yang notabene mereka adalah generasi penerus bangsa.
Pemuda perlu mereset cara berpikir mereka tentang kehidupan, bahwa hidup ini tidak melulu tentang mengejar materi. Hidup ini adalah kesempatan mengumpulkan bekal untuk kehidupan yang abadi di akhirat.
Ubah mindset dengan menguraikan 3 pertanyaan mendasar, darimana manusia berasal, untuk apa manusia hidup, dan akan kemana manusia setelah mati. Jawaban yang benar dari ketiga pertanyaan mendasar itulah yang akan mendasari setiap langkah manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia dengan benar.
Sesungguhnya manusia itu berasal dari Allah, hidup di dunia tugasnya beribadah kepada Allah sesuai dengan perintah dan larangan-Nya, karena setelah mati manusia akan kembali kepada Allah disertai pertanggungjawaban atas apa-apa yang telah dilakukannya di dunia.
Untuk menjalani kehidupan agar sesuai dengan perintah dan larangan Allah tentu membutuhkan ilmu untuk mempraktekkannya. Para pemuda usia remaja dan dewasa muda baik yang sudah menikah atau belum, semua wajib untuk menuntut ilmu agama.
Bekal ilmu agama yang membentuk kepribadian Islam pada seseorang akan membuatnya menjadi sosok yang lebih kuat. Menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah.
Kendati buruknya penerapan sistem kehidupan saat ini yaitu sistem demokrasi kapitalisme yang telah menyengsarakan rakyat, para pemuda harus memiliki visi dan misi untuk mengubah kondisi buruk ini menjadi kondisi yang baik dengan penerapan sistem Islam kaffah dalam kehidupan.
Hal ini perlu diperjuangkan bersama agar terwujud kehidupan yang diberkahi Allah, sehingga tidak ada lagi pemuda dengan kesehatan mental yang buruk namun berganti dengan pemuda bermental syuhada.
Allah Swt. melarang kaum Muslim mengikuti hukum jahiliyah, dan sebaliknya memerintahkan untuk menerapkan Islam secara sempurna. Allah Swt. berfirman dalam Qur'an Surat Al-Maidah ayat 50, "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" Oleh sebab itu, kurikulum dan kebijakan pendidikan haruslah berpijak pada pengokohan akidah, penguatan kepribadian Islam, dan fakih dalam agama serta tinggi dalam sains dan teknologi. Sosok yang dihasilkan adalah pribadi yang berkarakter ulama sekaligus ilmuwan. Kebijakan negara didukung oleh kurikulum integral yang berbasis akidah Islam, kegiatan sekolah, dan lingkungan yang kondusif.
Sudah saatnya, umat Islam secara keseluruhan harus mencurahkan segenap tenaganya untuk mewujudkan tatanan kehidupan Islam. Semua itu dilakukan demi menyambut seruan Allah Swt. dalam Qur'an Surat Al-Anfal ayat 24, "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu...". Maka, lahirnya generasi unggul hanya dapat terwujud dengan menerapkan sistem pendidikan Islam dalam wadah Khilafah Rasyidah.
Wallaahu A'lam Bisshawab.