Ironi Kebijakan Pajak Rakyat vs Perusahaan

 



Oleh: Siti Hajar (Aktivis Dakwah Bima)


Setelah kasus mega korupsi tata niaga di PT Timah Tbk (TINS) yang diungkap Kejaksaan Agung dengan nilai kerugian negara yang sangat fantastis Rp217 triliun, kini muncul kasus pengemplangan pajak yang membuat negara kehilangan potensi penerimaan hingga mencapai Rp300 triliun. Terkuaknya kebocoran anggaran negara akibat pengemplang pajak dengan nilai melebihi Rp300 triliun merupakan akumulasi pajak pengusaha yang tidak dibayarkan selama bertahun-tahun dan baru menjadi perhatian saat ini. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, menyebut presiden terpilih Prabowo Subianto akan mengejar potensi penerimaan negara yang hilang tersebut dan sudah memegang daftar 300 nama pengusaha nakal yang diduga bergerak di sektor sawit (cnbcindonesia.com, 12/10/2024).


Gagasan bahwa pajak itu mengambil harta orang kaya untuk diberikan kepada kaum miskin ternyata hanyalah isapan jempol belaka. Realitanya di lapangan menunjukkan bahwa pihak yang paling dibebani pajak adalah rakyat kecil. Sementara orang kaya, pengusaha dan kaum oligarki memiliki kendali atas para pemungut pajak. Hari ini kita bisa melihat bahwa orang-orang kaya, para pengusaha dan perusahaan besar yang tidak membayar pajak bertahun-tahun bebas melakukan aktivitas tanpa rasa khawatir karena adanya kebijakan _amnesty_ pajak. Mereka bebas _flexing_ memamerkan kekayaan. Jika tidak pamer maka tidak kesohor. Lebih miris lagi, di negeri ini anak penguasa membawa barang-barang _branded_ dari manca negara tanpa melewati bea cukai melenggang bebas menaiki kendaraan jemputan di landasan pacu bandara.


Sungguh miris, ketika rakyat harus membayar berbagai macam pajak di tengah kehidupan yang semakin sulit, apa-apa semuanya dipajaki. Namun pada saat yang sama, pengusaha dan cukong berdasi serta orang-orang kaya menikmati harta kekayaannya tanpa khawatir membayar pajak. Kondisi ini menjadi bukti bahwa negara memberi keistimewaan kepada pengusaha dan bersikap tidak adil dan tegas terhadap mereka yang tidak membayar pajak terutama pada kaum oligarki. Ini semakin menambah daftar panjang kebijakan negara yang cenderung bersikap lunak terhadap orang-orang kaya dan para pengusaha dengan berbagai macam program keringanan pajak. 


Berbeda halnya dengan kebijakan pajak atas rakyat kecil. Rakyat dibebani dengan berbagai macam pajak yang terus mengalami kenaikan untuk meningkatkan pendapatan tetap kas negara. Pemerintah begitu gigih mendorong rakyat membayar pajak. Bahkan mempropagandakan bahwa warga negara yang baik adalah warga negara yang taat membayar pajak.


Penerapan kebijakan pajak yang berbeda antara perusahaan dan rakyat ini tidak lepas dari pandangan atas hukum pajak, yang dalam hal ini jelas sewenang-wenang menzalimi kehidupan rakyat kecil. Apalagi jika ini berdampak pada penundaan pembangunan berbagai fasilitas dan infrastruktur yang dibutuhkan rakyat, maka rakyatlah yang justru dikorbankan demi kepentingan perut dan syahwat para pengusaha yang bertengger di bawah kekuasaan penguasa kapitalis yang menyengsarakan rakyat.


Paradigma sistem kapitalisme yang mengatur sistem kehidupan di negeri ini meniscayakan kebijakan pemerintah segalanya hanya untuk kepentingan kaum pengusaha dan oligarki. Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan sumber pendapatan tetap bagi negara. Negara akan memastikan bahwa segala sesuatu yang memberikan manfaat maka diwajibkan pajak. Penarikan pajak dibebankan kepada seluruh rakyat, namun lebih menyasar rakyat kecil. Sementara orang-orang kaya kebal terhadap hal itu. Sehingga berpotensi terjadinya tindak kezaliman terhadap rakyat yang dilakukan oleh penguasa melalui pajak.


Padahal sesungguhnya negeri ini kaya akan sumber daya alam yang jika dikelola dengan baik maka akan dapat digunakan untuk kepentingan rakyat. Sebab sumber daya alam terkategori kepemilikan umum. Namun lagi-lagi negeri ini salah dalam mengelola sumber daya alamnya lewat kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang lebih diserahkan kepada asing dan aseng.


Alih-alih untung malah buntung. Niat hati ingin menyejahterakan rakyat lewat pembukaan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas yang didapat, namun yang ada negara bangkrut, kekayaan alam dikeruk dan dibawa kabur. Sementara rakyat gigit jari dapat limbahnya saja dan berbagai kerusakan lingkungan. Penguasa dan antek-anteknya menikmati kekayaan yang tak seberapa. Alhasil ini merupakan bentuk kezaliman yang nyata dari penguasa atas rakyatnya.


Kondisi ini berbeda dengan negara yang diatur dengan aturan Islam. Dalam Islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari rakyat sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalis, yang mana semua barang dikenakan pajak termasuk rumah, kendaraan bahkan makanan. Tidak ada satu riwayat pun yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. pernah memungut pajak kepada rakyat dalam daulah. Justru ketika beliau mengetahui bahwa orang-orang di perbatasan daulah mengambil pajak atas komoditas yang masuk di wilayah daulah, maka beliau langsung melarangnya. Rasulullah Saw. bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang memungut cukai/pajak." (HR. Ahmad).


Namun tidak dipungkiri bahwa dalam Islam juga dikenal adanya pajak. Akan tetapi penerapan dan pengaturannya sangat berbeda dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme. Pajak diberlakukan kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos tertentu ketika tidak ada harta dari Baitul Mal. Pajak diambil dalam Islam untuk memenuhi kebutuhan tanpa tambahan, yang diambil dari kelebihan harta orang-orang kaya, yaitu dari kelebihan untuk kebutuhan pangan, papan dan sandang orang kaya itu beserta keluarganya, pembantunya dan apa yang ia kendarai untuk menunaikan kebutuhannya dan sesuai kewajaran di masyarakat.


Pajak dalam Islam bukanlah sumber tetap pendapatan Baitul Mal. Pajak diberlakukan ketika kas negara benar benar kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya saja ketika terjadi kondisi tertentu. Misalnya terjadi bencana alam atau peperangan atau ketika negara harus membayar gaji pegawainya sedangkan harta dari Baitul Mal tidak ada. Setelah kebutuhan tercukupi maka penarikan pajak pun harus segera dihentikan. Dengan demikian, pajak dalam Islam tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya.


Dalam sejarahnya, Islam sangat jarang memungut pajak dari kaum muslim sebab sumber-sumber pemasukan tetap negara seperti fai, kharaj, jizyah, hasil eksplorasi SDA, termasuk bahan tambang dan sebagainya cukup untuk itu. Alhasil sudah sepatutnya para penentu kebijakan berhati-hati terhadap peringatan Rasulullah Saw. tentang pemimpin yang menyusahkan rakyatnya. Konsekuensi yang harus ditanggung tidaklah main-main karena menyangkut nasibnya kelak di akhirat yang abadi.


Rasul Saw. bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia; siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepada ia.” (HR. Muslim dan Ahmad).


Juga bagi pemimpin yang seharusnya memenuhi semua kebutuhan rakyat, tetapi ia menahannya. Peringatan Rasulullah Saw., “Siapa saja yang mengurusi urusan masyarakat, lalu ia menutup diri dari orang yang lemah dan membutuhkan, niscaya Allah menutup diri dari dirinya pada hari kiamat.” (HR. Muslim).


Wallahu'alam bishowwab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم