Oleh : Septa Yunis (Analis Muslimah Voice)
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Penggalan lirik lagu Koes Plus sudah tidak berlaku saat ini. Indonesia memang kaya sumber daya. Ribuan hektar sawah, hutan, dan dikenal juga sebagai negara maritim, yang artinya wilayah perairan lebih luas daripada wilayah daratan. Namun, semua seakan tidak ada artinya, kebutuhan hidup semakin hari semakin mahal, BBM naik, kebutuhan pokok juga ikut naik.
Sepanjang tahun 2024 harga kebutuhan pokok terus melonjak, terutama beras yang menjadi makanan pokok masyarakat. Harga beras kian meroket. Hal ini dikarenakan biaya produksi yang mahal. Dilansir dari Liputan6.com (20/9/2024), Harga beras di Indonesia dinilai melonjak dibandingkan negara lain. Salah satunya dipengaruhi biaya produksi beras yang meningkat di Indonesia. Hal itu disampaikan Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Pangan Nasional, Rachmi Widiriani. Rachmi menuturkan, biaya produksi beras di dalam negeri memang telah meningkat.
Harga beras yang meroket, tidak sebanding dengan pendapatan petani yang dinilai masih rendah. Hal ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, petani dituntut mandiri untuk mengelola lahan pertaniannya. Menanggung biaya bibit, pestisida, pupuk dan masih banyak lagi. Ditambah subsidi pupuk dari pemerintah tidak cukup meringankan beban mereka. Pengeluaran biaya produksi lebih besar daripada pemasukan. Hal ini menunjukkan pemerintah tidak serius menyejahterakan para petani.
Kedua, proses distribusi yang panjang menjadikan harga beras tidak menggambarkan kesejahteraan para petani. Rantai distribusi yang terlalu panjang tidak menguntungkan para petani.
Ketiga, para petani dengan alat seadanya akan tergeser dengan oligarki yang menggunakan teknologi pertanian yang canggih. Lahan pertaniannya pun berhektar-hektar. Karena saat ini sektor pertanian dikuasai oligarki dari hulu ke hilir. Dengan demikian, petani akan kalah saing dengan mereka para oligarki. Di samping itu, lahan pertanian semakin sempit karena alih fungsi lahan yang dijadikan bangunan.
Keempat, pemerintah sedang membatasi kebijakan impor beras sehingga ketersediaan beras juga lebih sedikit mengakibatkan harga beras semakin mahal. Situasi ini berpeluang untuk mendorong dibukanya kran impor beras yang akan menguntungkan oligarki dan menyengsarakan petani. Kebijakan impor beras menjadi gambaran bahwa Indonesia belum mandiri dari sektor pangan. Masih bergantung kepada negara lain. Padahal yang kita tahu Indonesia adalah negara yang melimpah sumber daya alam. Sungguh miris.
Dari semua permasalahan di atas tidak terlepas dari penerapan sistem kapitalisme. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator dan berpihak kepada oligarki. Negara seharusnya menyediakan lahan untuk ketahanan pangan (beras), pupuk yang terjangkau, pengadaan alat-alat pendukung untuk pertanian yang canggih, serta pengembangan bibit unggul dan meningkatkan kemampuan petani sehingga makin ahli. Negara dapat mengambil kebijakan demikian ketika negara menerapkan Islam. Negara Islam menempatkan ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai salah satu basis pertahanan negara dan basis menyejahterakan rakyatnya.
Dalam aturan Islam, negara adalah pemelihara urusan rakyat, artinya setiap kebijakan penguasa haruslah berpihak pada kepentingan rakyat, termasuk konsumen dan produsen (petani).
Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW. “Imam adalah Rahin (pengurus umat) dan bertanggung jawab kepada umat” (HR. Ahmad dan Bukhari).
Sebagai pemelihara urusan umat, negara mempunyai kewajiban untuk menerapkan kebijakan yang menguntungkan petani sekaligus memastikan bahwa konsumen memiliki akses terhadap pangan dengan harga terjangkau. Berfungsinya kebijakan pangan nasional diawali dengan perhitungan kebutuhan pangan dalam negeri. Negara kemudian menghitung total area yang dikhususkan untuk produksi pangan.
Jika produksi pangan mampu memenuhi pasokan pangan dalam negeri, maka negara tidak akan mengambil kebijakan impor.
Sebaliknya, jika produksi pangan tidak dapat memenuhi pasokan pangan dalam negeri, maka negara dapat mengambil kebijakan impor. Impor ini dilakukan langsung oleh produsen dalam negeri, tanpa melalui kartel pangan. Mekanisme kebijakan pangan tersebut diawali dengan perhitungan kebutuhan pangan dalam negeri.
Negara kemudian menghitung total luas produksi pangan. Jika produksi pangan mampu memenuhi pasokan pangan dalam negeri, maka negara tidak akan mengambil kebijakan impor. Sebaliknya, jika produksi pangan tidak dapat memenuhi pasokan pangan dalam negeri, negara dapat mengambil kebijakan impor.
Impor ini dilakukan langsung oleh produsen dalam negeri, tanpa melalui kartel pangan. Untuk meningkatkan produktivitas pertanian, negara telah menerapkan kebijakan untuk memperkuat dan memperluas sektor pertanian. Kebijakan intensifikasi dilakukan dengan memberikan modal atau subsidi untuk pembelian alat produksi pertanian seperti mesin pertanian, benih, pupuk, dan obat-obatan herbal. Selain itu, negara juga mendukung penelitian para ilmuwan dan peneliti. Agar teknologi pertanian terkini mampu menunjang kualitas dan kuantitas pangan.
Di bidang distribusi, negara membangun infrastruktur pertanian seperti jalan dan sistem informasi yang memudahkan masyarakat dalam mendistribusikan produk pertanian. Anggaran intensifikasi pertanian bersumber dari Dana Baitulmal yang diatur oleh Departemen Subsidi.
Beginilah cara Islam menyikapi masalah harga pangan. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan kebijakan lain seperti perdagangan dan industri, sehingga penerapannya harus luas dan komprehensif secara hukum. Kita tidak menghadapi situasi seperti itu kecuali dalam aturan Islam, satu-satunya sistem yang terbukti menjamin keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh umat.