Oleh: Nahra Anhar, Pelajar Kota Bogor
Kasus kekerasan seksual di Indonesia makin marak terjadi. Tidak hanya di kalangan masyarakat biasa, kekerasan seksual juga terjadi di instansi-instansi pendidikan, tidak terkecuali perguruan tinggi. Merespons fakta ini, Mendikbudristek mengeluarkan Peraturan Menteri 30/2021 sebagai turunan dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU-TPKS). Salah satu isinya adalah mengamanatkan pada setiap kampus agar membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus (Satgas PPKS) dengan tujuan untuk meminimalisir persoalan ini.
Melihat maraknya kasus kekerasan seksual, UU TPKS tidak mampu menyelesaikan maraknya kasus kekerasan seksual karena landasannya sekularisme. Sekularisme yang lahir dari peradaban Barat memiliki konsep dasar memisahkan agama dari kehidupan dan dengan sendirinya memisahkan agama dari mengatur kehidupan bernegara dan berpolitik. Sekularisme jelas tidak akan pernah berhasil dalam menemukan solusi dari maraknya kekerasan seksual di negara ini. Pasalnya, sekularisme demokrasi yang diterapkan di Barat bahkan juga tidak pernah bisa menyelesaikan kekerasan seksual yang terjadi di sana.
Ini tentu berbeda dengan pandangan Islam yang menerapkan aturan-aturan yang dikhususkan untuk menjaga kehormatan dan martabat perempuan agar tidak memicu terjadinya kekerasan seksual. Selain itu, Islam juga mengatur terkait batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan sehingga tidak menimbulkan fitnah dan pelecehan. Aturan ini akan menghilangkan celah yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual.
Kemudian penerapan sanksi dalam Islam berfungsi sebagai jawâzir dan jawâbir. Jawâzir (pencegah) yaitu dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan yang sama. Sebagai jawâbir (penebus) dikarenakan ’uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Jadi khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan Islam mampu menyelesaikan problem kekerasaan seksual dengan menerapkan syariat Islam kaffah termasuk memberlakukan hukuman yang tegas bagi pelakunya. Bukan kapitalis sekuler yang memberi wewenang kepada manusia untuk membuat regulasi dalam menyelesaikan problem manusia, termasuk kekerasan seksual.[]