Oleh: Endah Sulistiowati, Tri Widodo, dan AM. Pamboedi
“X**cenya mana?” Masih ingat dengan iklan permen Vitamin C pada tahun 1990-an yang sangat populer pada masa itu? Jika iya, berarti Anda sudah tidak muda lagi! Cerita untuk Anda yang masih muda, iklan tersebut menampilkan seorang petugas pintu tol yang dengan manis dan ramah menyapa pengendara yang melintas. Namun, momen-momen seperti itu kini tinggal kenangan. Saat ini, pengendara di jalan tol tidak lagi bertemu dengan petugas tol atau operator pintu tol seperti dulu. Pekerjaan sebagai petugas pintu tol, yang terpapar polusi dari asap knalpot kendaraan, serta profesi serupa seperti petugas parkir di tempat umum (seperti mal atau hotel) kini telah hilang.
Kemajuan teknologi terus membawa perubahan signifikan di berbagai sektor kehidupan, termasuk dunia kerja. Salah satu perkembangan teknologi yang paling menggebrak adalah kecerdasan buatan atau _Artificial Intelligence_ (AI). AI yang awalnya dianggap sebagai teknologi pendukung, kini semakin mendominasi dan mengubah berbagai sektor industri. Tidak hanya mempercepat proses dan meningkatkan efisiensi, AI juga berpotensi menggantikan banyak pekerjaan manusia, terutama pekerjaan yang bersifat repetitif atau mudah diotomatisasi. Kondisi ini semakin menjadi perhatian serius di tengah kondisi ekonomi yang sedang paceklik, di mana kesempatan kerja bagi manusia semakin terbatas dan tantangan ekonomi semakin besar.
Menurut unggahan Instagram @ditjen.dikti, yang dimuat detik.com, McKinsey Global Company memperkirakan bahwa sekitar 30% pekerjaan berpotensi terotomatisasi oleh kecerdasan buatan (AI) pada tahun 2030. Hal ini mengakibatkan sekitar 12 juta orang di Amerika diperkirakan akan bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan minat mereka. Selain itu, studi dari Goldman Sachs (2023) melaporkan bahwa AI bisa memengaruhi 300 juta pekerjaan penuh di seluruh dunia.
Dengan perkembangan AI yang pesat, banyak profesi tradisional yang selama ini dipegang oleh manusia mulai terancam. Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran, khususnya di kalangan pekerja yang berada di sektor-sektor tertentu. Meski ada beberapa profesi yang masih bergantung pada kemampuan manusia secara penuh dan tidak bisa digantikan oleh AI di masa depan seperti pekerjaan kreatif, profesional kesehatan, pendidik, dan pemimpin namum ketidakpastian ekonomi ditambah dengan ancaman kehilangan pekerjaan menciptakan tekanan besar, baik bagi individu maupun perekonomian secara keseluruhan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan bahwa Indonesia kembali mencatat deflasi pada bulan September 2024, sebagaimana dimuat Liputan6.com. Dengan demikian, Indonesia telah mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut hingga September 2024. Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyatakan bahwa deflasi yang terjadi dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi tahun 2024 yang diperkirakan sekitar 5 persen. Menurut Nailul, deflasi selama lima bulan berturut-turut menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia menurun akibat kebijakan pemerintah yang kurang tepat. "Daya beli kita tergerus akibat kebijakan pemerintah yang salah obat. Saat ini, masyarakat tengah didera penurunan daya beli dengan salah satu faktornya adalah penurunan _disposible income_," ujarnya.
Lalu bagaimana persiapan kita menghadapi situasi banyaknya profesi berpotensi digantikan AI di tengah kondisi ekonomi yang paceklik saat ini?
Untuk mengulik banyaknya profesi berpotensi digantikan AI di tengah kondisi ekonomi yang paceklik di atas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab banyaknya profesi berpotensi digantikan AI?
2. Apa dampak yang ditimbulkan dari banyaknya profesi berpotensi digantikan AI?
3. Bagaimana strategi dan solusi yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi banyaknya profesi berpotensi digantikan AI di tengah kondisi ekonomi yang paceklik?
Faktor-Faktor Yang Menjadi Penyebab Banyaknya Profesi Berpotensi Digantikan AI
Kita hidup di zaman peradaban Revind 4.0, dijital otomatis, di mana mesin bisa juga berpikir layaknya manusia. Tetapi di saat yang sama, kondisi perekonomian di Indonesia khususnya, tidak jua sedijital otomatis membaik. Ekonomi Pancasila semakin hanyut dan tenggelam dalam pusaran kapitalisme global. Terlebih di saat pandemi Covid 2019 pada awal tahun 2020 lalu mulai merebak menginfeksi tanah air Indonesia dan terlama penanganannya dibanding negara-negara lainnya, banyak orang harus rela kehilangan pekerjaan nya seiring pemberlakuan pembatasan tatap muka atau berinteraksi secara langsung ataupun _Work From Home_ (WFH). Teknologi informasi maupun termasuk Artificial Intelligence (AI), mulai masif dipergunakan. Masyarakat internasional diperkenalkan pada _New Normal - Life_.
Sejak zaman dahulu kala, manusia telah berimajinasi tentang mesin yang dapat berpikir dan berperilaku seperti mereka. Dari mitologi Yunani tentang Talos, patung perunggu yang hidup, hingga cerita golem dalam budaya Yahudi, konsep sejarah AI telah ada dalam benak manusia jauh sebelum teknologi memungkinkan hal itu terjadi.
Artificial Intelligence (AI), atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai _Kecerdasan Buatan_, adalah cabang ilmu komputer yang bertujuan untuk mengembangkan sistem dan mesin yang mampu melakukan tugas yang biasanya memerlukan kecerdasan manusia. Pada awal diciptakannya, komputer hanya difungsikan sebagai alat hitung saja.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, maka peranan komputer semakin mendominasi kehidupan umat manusia. Komputer tidak lagi hanya digunakan sebagai alat hitung, lebih dari itu komputer diharapkan dapat diberdayakan untuk mengerjakan segala sesuatu yang bisa dikerjakan manusia.
AI melibatkan penggunaan algoritma dan model matematika untuk memungkinkan komputer dan sistem lainnya untuk belajar dari data, mengenali pola, dan membuat keputusan yang cerdas. AI termasuk bidang ilmu yang relatif muda. Pada tahun 1950-an para ilmuwan dan peneliti mulai memikirkan bagaimana caranya agar mesin dapat melakukan pekerjaannya seperti yang bisa dikerjakan oleh manusia.
Alan Turing, seorang matematikawan dari Inggris pertama kali mengusulkan adanya pengujian untuk melihat bisa tidaknya sebuah mesin dikatakan cerdas. Hasil pengujian tersebut kemudian dikenal dengan Turing Test, di mana mesin tersebut menyamar seolah-olah sebagai seseorang di dalam suatu permainan yang mampu memberikan respon terhadap serangkaian pertanyaan yang diajukan. Turing beranggapan bahwa, jika mesin dapat membuat seseorang percaya bahwa dirinya mampu berkomunikasi dengan orang lain, maka dapat dikatakan bahwa mesin tersebut cerdas (seperti layaknya manusia).
AI itu sendiri dimunculkan oleh seorang professor dari Massachusetts Institute of Technology yang bernama John McCarthy pada tahun 1956 pada Dartmouth Conference yang dihadiri oleh para peneliti AI. Pada konferensi tersebut juga didefinisikan tujuan utama dari kecerdasan buatan, yaitu mengetahui dan memodelkan proses-proses berpikir manusia dan mendesain mesin agar dapat menirukan kelakuan manusia tersebut.
AI diciptakan dan hadir untuk meniru aktivitas normal yang dilakukan manusia, seperti mulai dari belajar (learning), bernalar (reasoning), pengambilan keputusan (decision making), dan bahkan pengoreksian diri (self-correction). Lebih jauh lagi, perangkat kecerdasan buatan tersebut diharapkan dapat bertindak layaknya manusia (Acting Humanly), berpikir layaknya manusia (Thinking Humanly), berpikir rasional (Thinking Rationally), dan bertindak rasional (Acting Rationally).
Pengertian kecerdasan buatan dapat
dipandang dari berbagai sudut pandang, antara lain :
1). Sudut pandang kecerdasan
Kecerdasan buatan akan membuat mesin menjadi ‘cerdas’, mampu berbuat seperti apa yang dilakukan oleh manusia.
2). Sudut pandang penelitian
Kecerdasan buatan adalah suatu studi
bagaimana membuat agar komputer dapat melakukan sesuatu sebaik yang dikerjakan oleh manusia.
3). Sudut pandang bisnis
Kecerdasan buatan adalah kumpulan
peralatan yang sangat powerful dan metodologis dalam menyelesaikan masalah-masalah bisnis.
4). Sudut pandang pemrograman
Kecerdasan buatan meliputi studi tentang pemrograman simbolik, penyelesaian masalah (problem solving) dan pencarian (searching).
Sedangkan dari jenis dan kemampuannya, AI diklasifikasikan menjadi beberapa poin, antara lain:
1). AI Lemah (Weak AI): AI yang hanya memiliki kemampuan terbatas untuk melakukan tugas tertentu, seperti asisten virtual seperti Siri atau Google Assistant.
2). AI Kuat (Strong AI): AI yang memiliki kemampuan yang mendekati atau setara dengan kecerdasan manusia. Saat ini, masih dalam tahap pengembangan.
3). AI Narrow (AI Sempit): AI yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas spesifik, seperti bermain catur atau mengenali wajah dalam foto.
4). AI Broad (AI Luas): AI yang dirancang untuk melakukan berbagai tugas dan belajar dari pengalaman, seperti mobil otonom.
Dari pengertian dan sejarah singkat AI di atas, memang kehadiran AI bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi AI bisa memberikan manfaat, namun di sisi lain dapat menimbulkan ancaman bagi manusia dan kemanusiaan.
Guru Besar UGM, Prof. Dr. Ir. Ridi Ferdiana, S.T., M.T., IPM., menyampaikan bahwa kehadiran AI memudahkan pekerjaan manusia, membantu lebih kreatif dan lebih produktif. Namun, AI bisa menimbulkan ancaman besar saat ada pihak-pihak yang mengembangkan varian baru AI yang menyalahi etika. Dan perlu digarisbawahi pula bahwa aturan dalam hukum positif mengenai AI sendiri belum secara spesifik ada di Indonesia.
Di tahun 2016 lalu, para ahli sudah memperingatkan bahwa pekerjaan terampil akan segera tergeser karena munculnya robot-robot yang diciptakan dengan kecerdasan buatan yang dapat menggeser posisi manusia dari pekerjaan atau keahliannya sendiri. Sejauh ini, robot sudah menggantikan beberapa tenaga kerja manual, melakukan tugas sehari-hari dan semakin intensif.
Namun, seiring kemajuan teknologi, mesin cerdas ini akan diciptakan agar mampu melakukan profesi yang lebih terampil. Robot cenderung akan menguasai sebesar 45% pekerjaan manufaktur pada tahun 2025 mendatang dibandingkan hanya 10% pada tahun 2016, menurut sebuah penelitian dari Bank of America. Dan munculnya robot-robot cerdas yang sudah ada hanya dapat mempercepat proses tersebut seperti jumlah perangkat yang akan terhubung dengan internet sebanyak 50 miliar pada tahun 2020 nanti.
Pada tahun yang sama, hampir setengah dari seluruh pekerjaan di Amerika Serikat sangat berisiko tinggi tergeser oleh robot-robot cerdas ini, menurut para ahli dari Oxford University. Pekerjaan yang sebelumnya dianggap aman, sekarang dianggap berisiko tergantikan oleh robot termasuk analisis data dan bankir.
Teknologi yang ada pada robot menawarkan berbagai kemampuan dan potensi yang menjadi pertimbangan dalam mengganti manusia dengan robot, antara lain:
a). Efisiensi waktu kerja
Robot dan sistem AI memiliki kemungkinan besar bekerja lebih cepat, lebih efisien dan tidak kenal waktu (24/7) serta kemungkinan kesalahannya juga kecil. Studi yang dilakukan oleh McKinsey Global Institute pada tahun 2017 menunjukkan bahwa sekitar 50% pekerjaan yang ada saat ini dapat diotomatisasi dengan bantuan teknologi yang ada. Dalam beberapa kasus, penggunaan robot dan otomatisasi dapat mengurangi waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas hingga 20%.
b). Biaya karyawan
Penggunaan robot dapat mengurangi pembagian gaji atau biaya untuk para tenaga kerja dalam jangka panjang, memungkinkan penggunaan biaya tersebut untuk biaya operasional dan perawatan mesin robot.
c). Tingkat risiko kerja
Pekerjaan yang memiliki tingkat risiko tinggi atau termasuk pekerjaan tidak aman dapat digantikan oleh teknologi robot, meningkatkan keselamatan tenaga kerja.
Revolusi yang akan datang secara dramatis bisa mengubah ekonomi global, dan meningkatkan ketidaksetaraan. Hal tersebut karena sebagian besar pekerjaan diatur dengan biaya yang lebih sedikit, dengan keterampilan menengah, ekonom telah memperingatkan.
Tentu saja, ini bukan pertama kalinya teknologi secara radikal telah mengubah tenaga kerja. Apakah akan menjadi semakin benar pernyataan seorang tokoh pergerakan dunia, Mahatma Gandhi yang dulu menyatakan bahwa mesin robot-robot telah mencuri roti-roti manusia itu?
Dampak-Dampak Yang Ditimbulkan Dari Banyaknya Profesi Berpotensi Digantikan AI
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan atau _Artificial Intelligence_ (AI) telah memberikan dampak besar dalam dunia pekerjaan. Menurut laporan dari _World Economic Forum_ (WEF), diperkirakan sekitar 83 juta pekerjaan akan hilang akibat peran mesin dan AI. Namun, di balik perubahan ini, penting untuk diingat bahwa sumber daya manusia yang berkualitas tetap memiliki peran yang tidak dapat digantikan.
Survei dari _World Economic Forum_ (WEF) mengonfirmasi bahwa kemajuan teknologi menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan. Pada tahun 2027, diperkirakan akan ada 69 juta pekerjaan baru yang tercipta, namun di sisi lain, sebanyak 83 juta pekerjaan akan hilang dalam kurun waktu yang sama. Hal ini berarti ada pengurangan sebanyak 14 juta pekerjaan, yang setara dengan peningkatan dua persen pada tingkat pengangguran saat ini.
WEF melaporkan bahwa penerapan teknologi _Artificial Intelligence_ (AI) membawa dampak positif dan negatif. Di sisi positif, munculnya profesi baru yang berbasis teknologi. Teknologi ini membuka peluang untuk profesi-profesi baru, terutama yang berbasis pada pengembangan dan pengelolaan teknologi AI itu sendiri. Perusahaan akan memerlukan tenaga kerja baru untuk mengoperasikan dan mengelola sistem AI, termasuk dalam bidang seperti pengembang algoritma, ahli data, _machine learning_, manajer teknologi dan keamanan siber, yang diperkirakan akan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 30 persen pada tahun 2027.
Namun, seiring dengan kemunculan berbagai profesi baru berbasis AI, dampak-dampak negatif juga ditimbulkan antara lain:
Pertama, terjadinya pengangguran masal. Dampak paling langsung dari banyaknya profesi yang digantikan oleh AI adalah meningkatnya angka pengangguran. Pekerjaan administratif tradisional akan mengalami penurunan yang signifikan. Lebih dari 26 juta pekerjaan administratif, seperti entri data dan sekretaris eksekutif, diperkirakan akan hilang. Saat ini, 34 persen pekerjaan yang berkaitan dengan bisnis sudah dijalankan oleh mesin.
Perkiraan terbaru terkait tingkat adopsi teknologi otomatisasi menunjukkan angka yang akan mencapai 43 persen pada tahun 2027. Sektor-sektor seperti manufaktur, ritel, transportasi, dan bahkan pelayanan kesehatan sudah mulai menerapkan AI untuk menggantikan pekerjaan manual yang dilakukan manusia. Jika tren ini terus berkembang tanpa adanya upaya peningkatan keterampilan atau penciptaan lapangan kerja baru, pengangguran akan semakin meningkat.
Kedua, timbulnya kesenjangan sosial dan ekonomi. Penggantian pekerjaan oleh AI juga berpotensi memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi. Mereka yang memiliki keterampilan tinggi dan mampu beradaptasi dengan teknologi baru akan mendapatkan keuntungan, sementara mereka yang memiliki keterampilan rendah atau kurang pendidikan akan semakin tertinggal. Hal ini bisa menciptakan ketidaksetaraan ekonomi yang lebih besar dalam masyarakat.
Ketiga, adanya perubahan struktur pasar kerja. AI tidak hanya mengubah siapa yang melakukan pekerjaan, tetapi juga mengubah bagaimana pekerjaan itu dilakukan. Banyak profesi yang sebelumnya bergantung pada interaksi manusia, seperti layanan pelanggan atau pekerjaan administratif, sekarang dapat dilakukan oleh AI. Akibatnya, struktur pasar kerja akan berubah, dengan permintaan terhadap keterampilan teknis yang lebih tinggi dan berkurangnya pekerjaan berbasis keterampilan manual.
Keempat, minimnya “human touch” dalam pekerjaan. Meskipun AI dapat membawa peningkatan efisiensi, salah satu kekurangannya adalah hilangnya sentuhan manusia dalam beberapa pekerjaan. Sebagai contoh, dalam layanan kesehatan atau layanan pelanggan, AI mungkin dapat memberikan solusi cepat dan efisien, tetapi aspek empati dan interaksi manusia tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh mesin. Kehilangan "human touch" ini dapat memengaruhi kualitas pengalaman pelanggan atau pasien.
Perkembangan AI yang pesat dan meningkatnya efisiensi di sektor industri telah menyebabkan banyak profesi berpotensi digantikan oleh teknologi ini. Meskipun AI menawarkan banyak keuntungan dari segi efisiensi dan produktivitas, dampaknya terhadap pasar kerja, pengangguran, dan kesenjangan sosial ekonomi tidak dapat diabaikan terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, industri, dan individu untuk beradaptasi dengan tren ini, baik melalui peningkatan keterampilan, penciptaan lapangan kerja baru, maupun kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.
Strategi dan Solusi Menghadapi AI di tengah Kondisi Ekonomi Paceklik
Islam sangat mendukung umatnya untuk menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Dalam hal pengembangan Iptek, umat Islam dapat mempelajarinya dari orang-orang non-Islam, disamping juga dapat mengembangkan Iptek dari spirit ajaran Islam sendiri. Oleh karena produk keilmuan yang datang dari orang-orang non-Islam –secara umum- bersifat sekuleristik, maka setelah dipelajari, sebelum diadopsi dan diterapkan di dunia Islam, penting untuk terlebih dahulu dikaji apakah mengandung ajaran/nilai dari peradaban atau ideologi lain ataukah tidak. Jika mengandung nilai dari peradaban lain maka kita tidak akan mengambilnya.
Jika berbicara tentang sejarah perkembangan teknologi sejak dulu hingga kini tidak terjadi secara kebetulan atau mendadak, melainkan terjadi secara bertahap, terstruktur dan evolutif. Artinya perkembangan teknologi terjadi dari masa ke masa. Dari masa nabi terdahulu, masa Rasulullah hingga di masa kejayaan Islam sebelum ke-Khilafahan Islam runtuh.
Sejarah perkembangan teknologi dalam dunia Islam pada tahun 700-an di masa Bani Umayyah, Ahli ilmu geografi Islam dan navigator-navigatornya mempelajari jarum magnet mungkin dari orang Cina, namun para navigator itulah yang pertama kali menggunakan jarum magnet dan menerapkannya di dalam pelayaran. Mereka menemukan kompas dan menguasai penggunaannya di dalam pelayaran menuju ke Barat. Navigator-navigator Eropa bergantung pada juru-juru mudi Muslim dan peralatannya ketika menjelajahi wilayah-wilayah yang tak dikenal. Gustav Le Bon mengakui bahwa jarum magnet dan kompas betul-betul ditemukan oleh Muslim dan orang Cina hanya berperan kecil.
Pada tahun 813, di masa Khalifah Maimun Ibnu Harun Al Rasyid, didirikanlah Daru Al-Hikmah atau Akademi Ilmu Pengetahuan pertama yang ada di dunia, yang mana terdiri dari perpustakaan, pusat pemerintahan, obsevatorium bintang dan Universitas.
Pada tahun 850, Ahli kimia Islam menghasilkan kerosin (minyak tanah murni) melalui penyulingan produk minyak dan gas bumi (Encyclopaedia Britannica, Petroleum) lebih dari 1.000 tahun sebelum Abraham Gesner, orang Inggris, mengaku sebagai yang pertama menghasilkan kerosin dari penyaringan aspal.
Perkembangan teknologi di dunia Islam memang tidak boleh dianggap sebelah mata. Inovasi-inovasi baru sangat didukung oleh Khalifah. Sehingga Islam sebelum keruntuhannya berkembang menjadi peradaban maju yang modern.
Namun ada yang harus diperhatikan dalam perkembangan teknologi ini. Peran Islam dalam perkembangan Iptek yang tidak boleh dilupakan setidaknya ada dua yaitu:
Pertama, menjadikan aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Sehingga perkembangan teknologi termasuk AI ini tetap menjadikan hukum syara' sebagai pedoman agar tidak mengganggu keseimbangan kehidupan.
Kedua, menjadikan syariah Islam (yang lahir dari aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga tidak semua hal bisa di-AI-kan. Karena AI untuk mempermudah pekerjaan manusia, bukan menggantikan manusia.
Termasuk perkembangan teknologi kecerdasan buatan atau AI ini maka Islam akan meninjau kembali. Apakah teknologi AI ini aman digunakan ataukah tidak. Namun jika memang AI mau tidak mau masuk ke dunia Islam karena perkembangan teknologi. Maka tugas negara yang akan menyiapkan masyarakat agar bijak menggunakan teknologi AI ini sesuai kebutuhan.
Dengan adanya perlindungan negara yang totalitas untuk rakyatnya, maka rakyat tidak perlu takut jika pekerjaan akan dikuasai AI. Karena negara yang akan mengatur mana yang akan di-AI-kan mana yang tetap menggunakan tenaga manusia. Karena bagaimana pun tugas negara adalah menyediakan lapangan pekerjaan.
AI itu buatan manusia, jangan mau kita dikuasai dan dikendalikan AI. AI harus tetap berada pada kendali manusia.
Sayangnya saat ini kita hidup di era kapitalis radikal yang bebas, asal menguntungkan bisa digunakan, termasuk AI. Siap tidak siap masyarakat akan digempur oleh AI ini. Sehingga pantas saja jika masyarakat resah dengan serbuan AI di dunia kerja tanpa tahu harus berbuat apa.
Untuk itulah sudah saatnya Islam kita kembalikan menjadi sistem kehidupan kita. Sehingga semua akan bisa didudukkan sesuai tempat dan fungsinya, agar masyarakat tidak resah dan kehidupan tetap berjalan pada relnya.
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst
===°°°===
*Ref:*
- beberapa media online