Oleh: Dian Safitri (Aktivis Dakwah)
Merubah aturan adalah sesuatu yang lumrah dalam demokrasi. Kali ini DPR resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang (UU) tentang perubahan atas UU nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi UU. Dengan syarat kabinet gemuk itu harus diisi oleh orang-orang yang punya kemampuan dan latar belakang pengalaman yang sama dengan kementerian yang akan dipilih. Wacana yang beredar, jajaran yang akan mendampingi pemerintah yang baru ini sebanyak 44 kementerian yang sebelumnya hanya sebanyak 34 kementerian (antaranews.com, 18/09/2024).
Kebijakan ini diduga kuat untuk memberi jalan bagi presiden terpilih untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Sebab kebijakan diketahui tidak masuk program legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2025 atau pun daftar 43 rancangan UU yang pembahasannya diprioritaskan selesai sebelum Oktober ini. Oleh karena itu, pembahasan UU ini menunjukkan kesan pemaksaan dan sarat dengan kepentingan pihak tertentu, bukan kepentingan rakyat.
Kebijakan bagi-bagi kue kekuasaan sangat lumrah dalam demokrasi. Pasalnya kemenangan dalam sistem ini ditopang oleh saham-saham yang telah ditanamkan partai maupun non partai. Tidak dipungkiri bahwa biaya pemilu dalam demokrasi sangat mahal, khususnya biaya kampanye yang digunakan untuk meyakinkan rakyat agar memilih mereka menduduki jabatan pemerintahan.
Dana yang dibutuhkan sangat besar, sehingga partai yang mengusung calon presiden membuka ruang saham modal kampanye bagi siapa saja. Termasuk para korporat. Ketika kekuasaan sudah diperoleh, maka hal pertama yang mereka pikirkan adalah mengembalikan modal. Karena waktu berkuasa terbatas hanya 5 tahun. Maka mau tidak mau, penguasa terpilih harus mengembalikan modal sekaligus mendapatkan keuntungan dari kekuasaannya untuk digunakan pada pemilu berikutnya dalam waktu singkat.
Bagi kue-kue kekuasaan tidak terelakkan. Inilah wajah politik pragmatisme. Kebijakan ini tidak akan mengubah apa pun atas kondisi negeri ini. Sebab undang-undang negeri ini masih didasarkan pada sistem politik demokrasi, sedangkan pemilu dalam demokrasi hanya dijadikan sebagai alat bagi elit politik melalui legitimasi masyarakat untuk duduk di kursi kekuasaan. Maka sangat mustahil penguasa memikirkan apalagi menjalankan peran utamanya sebagai penanggung jawab urusan rakyat. Sebaliknya, penguasa hanya memikirkan pendukungnya di masa-masa kampanye.
Banyaknya praktik korupsi dalam tubuh pemerintah diduga kuat bagian dari upaya mendapatkan keuntungan melalui kekuasaan dan ini adalah sesuatu yang niscaya dalam demokrasi.
Berbeda jauh dengan sistem Islam. Kekuasaan digunakan untuk melayani rakyat. Islam menetapkan pemimpin berkewajiban melakukan ri'ayah atau pengaturan terhadap urusan rakyat. Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam bersabda yang artinya :
"Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengatur urusan mereka dan dia dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia pimpin." (HR. al-Bukhari).
Makna asal ar-ri'ayah adalah menjaga dan memelihara sesuatu. Artinya pemimpin memiliki tugas dan tanggungjawab untuk menjaga dan memelihara agama, jiwa, kehormatan, harta, keturunan, eksistensi manusia, dan negara. Oleh karena itu, Islam mengecam keras pemimpin yang tidak menjalankan tugas tersebut.
Rasulullah Saw. sampai mendo'akan keburukan bagi pemimpin yang memberatkan rakyat yang dia urus, beliau bersabda:
"Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkan dia. Siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia menyayangi umatku, maka sayangilah ia." (HR. Muslim).
Dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat sehingga manusia yang berhak membuat aturan melalui wakil yang dipilih di DPR. Sedangkan dalam khilafah, kekuasaan ada di tangan umat, kedaulatan ada di tangan syariat sehingga yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT. Metode baku menurut syariat dalam memilih khilafah adalah dengan bai'at.
Umat boleh mewakilkan bai'at mereka kepada ahlul halli wal 'aqdi yang dipercaya dan memiliki kekuatan, kekuasaan, pandangan, dan pengaturan di dalam sebuah negeri.
Untuk menjadi ahlul wal aqdi ini juga harus memenuhi kriteria yaitu : pertama: adil, ke dua: memiliki ilmu, ketiga memiliki pendapat dan kearifan.
Mereka ini mewakili umat untuk menentukan siapa penguasa yang akan memimpin umat. Melalui ketentuan ini, wakil umat atau penguasa yang terpilih adalah orang yang layak. Apalagi khalifah yang dipilih dalam negara khilafah bukan untuk menjalankan keinginan dan hukum manusia, tetapi untuk menjalankan hukum Allah Ta'aala. Sehingga hal ini akan menjauhkan dari kebijakan dzalim dan menguntungkan segelintir orang saja. Seperti itulah kekuasaan dalam khilafah jalan di atas koridor syariat yang membawa kemaslahatan bagi manusia. Sudah saatnya umat mengambil tindakan dan berjuang bersama untuk tegaknya khilafah 'ala minhaj nubuwwah.