Dian Ummu Faaza
(Human Treatment Center)
Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan media sosial telah memicu fenomena Fear of Missing Out (FOMO) yaitu perasaan takut tertinggal atau tidak terlibat dalam suatu kegiatan atau pengalaman yang dialami orang lain. FOMO sering muncul akibat keterpaparan berlebihan pada kehidupan orang lain melalui media sosial, di mana individu merasa bahwa orang lain menjalani kehidupan yang lebih menarik atau memuaskan. Kondisi ini memberikan tekanan emosional yang cukup besar, seperti kecemasan, rasa rendah diri, dan ketidakpuasan terhadap kehidupan sendiri.
Berdasarkan survei dari American Psychological Association (APA), hampir 56% orang dewasa muda melaporkan merasakan FOMO akibat media sosial. Fenomena ini berdampak negatif pada kesehatan mental, termasuk peningkatan kecemasan dan depresi, terutama pada generasi muda yang lebih rentan terhadap pengaruh eksternal.
Dampak Emosional FOMO pada Individu
FOMO dapat memicu berbagai dampak emosional negatif, seperti: 1. Kecemasan dan Ketidakpuasan. Individu yang merasa tertinggal dari apa yang dianggap sebagai “standar sosial” mengalami kecemasan berlebih. Mereka merasa tidak cukup baik, selalu membandingkan diri dengan orang lain.2. Ketidakbahagiaan, Menurut penelitian dari Dr. Andrew Przybylski di University of Essex, FOMO erat kaitannya dengan ketidakpuasan hidup. Orang yang terpapar FOMO sering kali merasa bahwa hidup mereka kurang memuaskan dibandingkan dengan orang lain, meskipun dalam kenyataannya perbandingan tersebut tidak realistis. 3. Gangguan Tidur dan Stres : Banyak orang menghabiskan waktu yang lama untuk mengecek media sosial, bahkan hingga larut malam, yang akhirnya berdampak buruk pada kualitas tidur dan menyebabkan peningkatan stres.
FOMO menciptakan tekanan emosional yang signifikan, di mana individu merasa terpaksa untuk terus-menerus mengikuti perkembangan orang lain demi validasi sosial. Hal ini memperparah ketidakpuasan diri dan menambah beban mental.
Pandangan Islam
Dalam Islam, perasaan takut tertinggal atau iri terhadap kehidupan orang lain dianggap sebagai penyakit hati yang perlu dihindari. Syariat Islam memberikan solusi untuk mengatasi FOMO melalui pendekatan spiritual maupun sosial. Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari hal-hal duniawi yang fana, melainkan dari ketaatan kepada Allah SWT. FOMO yang muncul dari obsesi terhadap kehidupan orang lain hanya akan menambah kesengsaraan. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
> "وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِۦٓ أَزْوَٰجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ"
> _
"Dan janganlah engkau (Muhammad) tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekal."_ (QS. Taha: 131)
Sebagai agamanya yang sempurna Islam juga memberikan solusi yang lahir dari konsep bahwa manusia telah diberi oleh Allah SWT suatu potensi hidup berupa Gharizah tadayyun ( naluri mengagungkan Allah SWT). Maka dalam rangka memenuhi gharizah ini, salah satu solusi untuk mengatasi FOMO adalah dengan menguatkan konsep tawakkul (berserah diri kepada Allah) dan qana’ah (rasa cukup dengan apa yang dimiliki). Syariat Islam mendorong umatnya untuk fokus pada apa yang mereka miliki dan bukan apa yang dimiliki orang lain. Rasulullah SAW bersabda:
> "لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ"
“Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang sebenarnya) adalah kaya hati.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan menginternalisasi rasa qana'ah, seseorang dapat menghindari perasaan iri dan ketidakpuasan yang berasal dari perbandingan dengan orang lain.
Solusi lainnya adalah syukur, yang merupakan inti dari ajaran Islam dalam menjaga kesehatan emosional. FOMO sering kali membuat seseorang lupa untuk bersyukur atas nikmat yang sudah mereka miliki, karena terfokus pada apa yang belum dicapai. Allah berfirman:
> "لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ"
“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)
Islam mengajarkan bahwa hidup ini hanya sementara dan bahwa kehidupan di akhirat adalah yang utama. Mengingat kematian dan akhirat dapat membantu individu untuk melepaskan diri dari obsesi terhadap duniawi yang sering kali memicu FOMO.
Dr. Andrew Przybylski seorang peneliti psikologi di University of Oxford, menjelaskan bahwa FOMO adalah hasil dari kebutuhan dasar manusia untuk terhubung dan diterima. Namun, ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi secara sehat, FOMO dapat menyebabkan stres dan kecemasan.
Dalam kajian Islam, Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah menyebutkan dalam bukunya _Al-Fawaid_, bahwa sifat iri dan merasa kurang dari apa yang dimiliki orang lain adalah salah satu penyebab utama kegelisahan jiwa. Ia menegaskan pentingnya memperbaiki hubungan dengan Allah untuk mengatasi penyakit hati ini.
Fenomena FOMO di era globalisasi sangat mempengaruhi kesehatan mental dan emosional individu, terutama di kalangan generasi muda. Obsesi terhadap pencapaian orang lain di media sosial membuat individu merasa tidak puas dengan kehidupannya sendiri, yang akhirnya memicu kecemasan dan stres. Kita pahami bersama saat dunia dalam genggaman ideologi Kapitalisme justru memberi ruang sebebas-bebasnya pada setiap individu individu yang di jamin oleh Hak Azasi Manusia. Sehingga manusia yang oleh Allah SWT diberi potensi kehidupan (at taqatul hayawiyah) berupa gharizah (naluri) yang salah satunya adalah Gharizatul baqa’ (naluri mempertahankan diri) sangat ingin mengeksistensikan nalurinya itu saat mengakses di berbagai platform sosial media. Tanpa pemahaman Islam yang benar, bahwa potensi yang dimiliki manusia itu harus dipenuhi dengan cara-cara yang sesuai Syariat Islam, maka hanya eksistensi liar yang dimiliki oleh individu-individu didalamnya. Mereka tidak bisa membedakan mana yang boleh dan mana yang harus ditinggalkan. Manusia mengekspresikan kebebasannya sebebas bebasnya tanpa ada aturan. Akhirnya berbagai goncangan emosi terjadi.
Dalam kitabnya Nidzamul Ijtima’i, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menuliskan Penyebab kegoncangan pemikiran dan penyimpangan pemahaman ini adalah serangan dahsyat atas kita yang dilancarkan oleh peradaban Barat.
Peradaban Barat benar-benar telah mengendalikan cara berpikir dan selera kita sedemikian rupa, sehingga mengubah pemahaman (mafahim) kita tentang kehidupan, tolok-ukur (maqayis) kita terhadap segala sesuatu, dan keyakinan (qana’at) kita yang telah tertancap di dalam jiwa kita, seperti ghîrah (semangat) kita terhadap Islam atau penghormatan kita terhadap tempat-tempat suci kita. Kemenangan peradaban Barat atas kita telah merambah ke seluruh aspek kehidupan, termasuk aspek pergaulan pria wanita.
Semua ini terjadi karena pada saat peradaban Barat muncul di negeri-negeri kaum Muslim dan tampak pula produk-produk fisiknya (madaniyah) serta keunggulan materialnya, banyak mata kaum Muslim yang silau. Mereka pun bertaklid pada produk-produk fisiknya dan berusaha mengadopsi peradaban ini karena produk-produk fisik yang menunjukkan kemajuan ini telah dihasilkan oleh pemilik peradaban Barat yang memang selalu mempropaganda peradabannya itu. Karena itulah, kaum Muslim kemudian bertaklid pada peradaban Barat tanpa membedakan peradaban (hadhârah) Barat dan produk-produk fisiknya (madaniyah).
Kaum Muslim melakukan itu tanpa menyadari bahwa peradaban (hadhârah) hakikatnya adalah kumpulan pemahaman tentang kehidupan dan metode kehidupan yang khas. Sedangkan produk-produk fisik (madaniyah) adalah bentuk-bentuk fisik yang terindera yang dipergunakan sebagai sarana atau alat dalam hidup manusia, yang tidak ada hubungannya dengan pandangan hidup dan metode kehidupan tertentu. Lebih dari itu mereka tidak memahami bahwa peradaban Barat (al-hadhârah al-gharbiyyah) berdiri di atas suatu asas yang bertentangan dengan asas peradaban Islam (al-hadhârah al- Islâmiyyah). Mereka pun tidak mengerti bahwa peradaban Barat berbeda dengan peradaban Islam dalam hal pandangan tentang kehidupan dan persepsi tentang kebahagiaan yang selalu diupayakan oleh setiap orang agar terwujud. Mereka juga tidak memahami bahwa umat Islam sesungguhnya tidak boleh mengambil peradaban Barat dan tidaklah mungkin satu komunitas dari umat Islam di negeri mana pun akan tetap menjadi bagian umat Islam –atau tetap bersifat sebagai komunitas Islam— jika mereka mengambil peradaban Barat tersebut.
Kesimpulan
Syariat Islam menawarkan solusi yang mendalam melalui konsep tawakkul, qana’ah, syukur, dan kesadaran akan akhirat. Dengan mempraktikkan ajaran Islam, individu dapat mencapai ketenangan hati dan terbebas dari tekanan emosional yang disebabkan oleh FOMO. Islam memberikan jalan keluar yang tidak hanya berfokus pada pencegahan dampak negatif FOMO dengan memperbaiki hubungan individu dengan dirinya sendiri dan adanya kontrol yang kuat di tengah masyarakat dan adanya aturan yang jelas yang diterapkan oleh negara.