Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.
Akhir Agustus 2024 lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan, bahwa berdasarkan jumlah Zona Musim (ZOM), sebanyak 64% wilayah Indonesia telah masuk musim kemarau.
Wilayah yang sedang mengalami musim kemarau itu meliputi Aceh, sebagian Sumatra Utara, Riau, sebagian Bengkulu, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, Lampung, Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagian Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, sebagian Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Barat, sebagian Sulawesi Tenggara, Sebagian Sulawesi Tenggara, sebagian Maluku, dan sebagian Papua Selatan.
Sementara itu, hasil monitoring BMKG atas kondisi Hari Tanpa Hujan (HTH), sebagian besar wilayah Indonesia termonitor masih mengalami hujan dan HTH kategori sangat pendek hingga panjang. Meski begitu, sejak Mei lalu, BMKG sendiri telah memperkirakan curah hujan yang sangat rendah, bahkan bencana kekeringan berpotensi terjadi hingga Oktober nanti.
Tidak hanya itu, beberapa titik panas awal pada daerah-daerah rawan karhutla juga mulai muncul, untuk itu perlu diwaspadai risiko menengah dan tinggi yang akan terjadi di daerah tersebut. BMKG pun meminta pemerintah bergerak cepat melakukan mitigasi mengatasi dampak kekeringan.
Penyebab Kekeringan
Sebagai gambaran, Januari-Juni 2024 sudah ada sebanyak 860 peristiwa kebencanaan yang membutuhkan perhatian dan penanganan berkelanjutan. Juga adanya analisis tim ahli iklim dan cuaca bahwa dalam beberapa bulan ke depan atau setidaknya hingga awal 2025, Indonesia masih berpotensi dilanda bencana alam, bahkan dua bencana sekaligus yakni berupa hidrometeorologi dan kekeringan.
Kekeringan akibat bencana hidrometeorologi memang bagian dari fenomena alam. Namun, minimnya langkah antisipasi dan mitigasi menyebabkan makin parahnya akibat yang dirasakan masyarakat. Kekeringan juga terjadi tidak lagi karena datangnya musim kemarau saja, melainkan merupakan permasalahan tahunan yang berulang.
Saat ini sejumlah kepala daerah beserta BPBD setempat telah menetapkan status siaga darurat bencana kekeringan bagi wilayahnya masing-masing. Namun, berhubung bencana tersebut terjadi di banyak wilayah di Indonesia, semestinya pemerintah pusat turun tangan untuk melakukan antisipasi maupun mitigasi hingga ke daerah.
Miris, dalam hal ini buruknya pengurusan negara justru tampak jelas. Ini karena di sisi lain terlihat ketaktegasan bahkan pembiaran pemerintah terhadap tindakan perusakan lingkungan yang terus terjadi. Perusakan pada sumber air baku permukaan (seperti sungai, danau, waduk) akibat pembuangan limbah industri yang masif, perusakan alam berupa deforestasi, dan alih fungsi lahan telah memicu peningkatan intensitas kekeringan, sebagai wujud ketakseimbangan dan perubahan iklim yang pada akhirnya merusak keseimbangan siklus hidrologi.
Terganjal Anggaran
Sayang, muncul narasi bahwa upaya Indonesia menghadapi risiko bencana masih terganjal isu pendanaan yang kompleks, padahal ancaman krisis iklim semakin nyata. Namun, pembiayaan lewat APBN tidak bisa diandalkan karena kapasitasnya terbatas dan efektivitasnya belum pernah teruji. Sementara, sampai detik ini, komitmen pendanaan yang dinantikan dari negara maju masih jauh dari ekspektasi.
Untuk kita ketahui, dana yang dibutuhkan untuk memitigasi perubahan iklim di Indonesia memang tidak main-main. Sepanjang 2018-2030 saja dibutuhkan Rp4.002,44 triliun, dengan rata-rata Rp307,88 triliun per tahun untuk persiapan menghadapi ancaman krisis iklim. Nominal tersebut setara dengan 10-11% dari total nilai APBN setiap tahunnya.
Sepanjang 2016-2022, total kumulatif realisasi belanja aksi perubahan iklim pemerintah pusat baru mencapai Rp569 triliun atau rata-rata Rp81,3 triliun per tahun, setara 3,5% dari APBN. Artinya, sejauh ini, APBN baru mampu memenuhi sekitar 14% dari kebutuhan pendanaan aksi mitigasi iklim setiap tahunnya.
Sementara itu pada Juni 2024 lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengusulkan anggaran senilai Rp1,887 triliun dalam pagu anggaran tahun 2025, yang salah satunya difokuskan untuk penguatan mitigasi kebencanaan. Secara umum pagu indikatif BNPB untuk rencana kerja tahun anggaran 2025 senilai Rp927,574 miliar. Jumlah ini mengalami penurunan sangat drastis sekitar 67,3% dari alokasi anggaran 2024. Bahkan diketahui dari jumlah anggaran kegiatan mitigasi hanya mendapatkan alokasi dengan nilai total Rp57,511 miliar yang lebih kecil dibandingkan dengan 2024 dengan total Rp175,676 miliar.
Sungguh miris, ternyata anggaran mitigasi bencana begitu rendah di dalam APBN. Semestinya mitigasi bencana diposisikan sebagai hal yang sangat penting. Ini karena selain sebagai penanggulangan dampak bencana, mitigasi juga berperan untuk menekan dampak kerusakan dan terkhusus jatuhnya korban jiwa akibat bencana alam. Dengan ini jelas bahwa persoalan bencana kekeringan tidak hanya sekadar soal penanggulangan secara teknis dan biaya.
Optimalisasi Mitigasi
Kekeringan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan maupun deforestasi, tidak terlepas dari akar masalah sejati dalam hal ini, yang tidak lain adalah penerapan sistem kapitalisme. Masifnya pembangunan yang meniscayakan alih fungsi lahan jelas berkonsekuensi pada deforestasi, bahkan bisa mengurangi produktivitas lahan. Lebih buruk lagi, hal itu menyebabkan krisis air sehingga berdampak pada pengurangan kawasan resapan air.
Selain itu, rendahnya anggaran negara untuk mitigasi bencana kekeringan juga menegaskan bahwa pemerintah telah abai untuk penanggulangannya. Alih-alih memutus rantai dampak bencana, upaya pemerintah yang tidak optimal justru membuat penanggulangan bencana kekeringan makin jauh dari harapan.
Parahnya lagi, pemerintah pun enggan menggunakan hasil riset para ahli. Sebagai contohnya dari BMKG, yang telah merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk mengisi waduk-waduk di daerah yang berpotensi mengalami kondisi kering saat musim kemarau. Lalu, membasahi dan menaikkan muka air tanah pada daerah yang rawan mengalami karhutla ataupun pada lahan gambut.
Selain itu, perlu selalu memastikan koneksitas jaringan irigasi dari waduk ke kawasan yang terdampak kekeringan benar-benar memadai. Dengan begitu, upaya modifikasi cuaca dapat terlaksana dengan efektif dan efisien dalam memitigasi potensi bencana kekeringan.
Sedangkan untuk daerah yang masih mengalami hujan atau transisi dari musim hujan ke musim kemarau, perlu segera mengoptimalkan secara lebih masif upaya untuk memanen air hujan. Melalui tandon-tandon/ tampungan-tampungan air, embung-embung, kolam-kolam retensi, sumur-sumur resapan, dan sebagainya, seiring dengan upaya mitigasi dampak kejadian ekstrem hidrometeorologi basah yang sedang dilakukan.
Apalagi jika di tingkat pusat, anggaran mitigasi bencana mengalami pengurangan, hal ini akan berdampak pada realisasi mitigasi bencana di lapangan. Sedangkan upaya dana mitigasi tidak sekadar diberikan untuk korban, tetapi petugas dan lembaga terkait juga membutuhkan pengadaan sarana dan prasarana saat melakukan penyelamatan. Belum lagi ancaman fisik di antara para korban pascabencana, seperti penyakit diare, kekurangan air bersih, hingga kelaparan.
Namun bencana kekeringan yang berulang tiap tahun menegaskan bahwa upaya pemerintah belum optimal dalam melakukan penanggulangan, alih-alih melakukan mitigasi secara masif dan komprehensif. Jelas, semua ini tidak sekadar memerlukan tindakan teknis, tetapi juga kebijakan politik yang mampu menyolusi bencana kekeringan ini secara tuntas.
Mitigasi Bencana Kekeringan dalam Khilafah
Harapan bagi penanggulangan tuntas atas bencana kekeringan sungguh mustahil terjadi selama negara masih menggunakan konsep kapitalistik neoliberal. Solusi hakiki yang bisa rakyat harapkan hanyalah solusi yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah saw., yakni syariat Islam.
Sebagai agama dan ideologi, Islam memiliki konsep unggul dan paripurna dalam seluruh aspek kehidupan. Apalagi sejumlah kebijakan pemerintah sistem sekuler kapitalisme selama ini hanyalah tindakan jangka pendek yang tidak benar-benar menyelesaikan masalah.
Optimalisasi mitigasi bencana kekeringan akan tertunaikan melalui konsep Islam yang tampak dalam kebijakan politik dan ekonominya. Secara politik, Islam menegaskan bahwa negara harus hadir sebagai pengurus/penanggung jawab dan pelindung umat. Rasulullah saw. bersabda,
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Untuk itu, pemerintah sistem Islam (Khilafah) bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan menyelesaikan seluruh kesulitan mereka. Tanggung jawab ini mengharuskan negara melakukan berbagai kebijakan untuk mitigasi ataupun mengatasi kesulitan air, mulai dari membiayai risetnya, pengembangan teknologi, implementasi riset tersebut, juga biaya mitigasi kebencanaan untuk mengatasi masalah di lapangan. Hal ini harus dijalankan langsung oleh pemerintah, tidak boleh dialihkan kepada pihak lain, apalagi korporasi/swasta.
Khilafah tidak akan membiarkan tindakan perusakan lingkungan atas alasan apa pun, termasuk untuk pembangunan yang berdampak pada alih fungsi lahan hingga berkurangnya produktivitas lahan. Dalam Islam, pembangunan harus berpijak pada landasan berikut,
“Janganlah memberikan kemudaratan pada diri sendiri, dan jangan pula memudarati orang lain.” (HR Ibnu Majah dan Daruquthni).
Khilafah juga akan menggunakan prinsip-prinsip sahih dalam pembangunan, yakni hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta kewajiban dakwah dan jihad, di samping tetap memperhatikan karakter alamiah alam dan konservasi lingkungan sehingga kelestariannya tetap terjaga dan bencana kekeringan tidak sampai terjadi.
Namun jika kekeringan tetap terjadi, Khilafah akan melakukan mitigasi terhadap sektor-sektor strategis seperti pertanian, perkebunan, dan kehutanan, sehingga para petani dan rakyat yang bermata pencarian di sektor tersebut tidak terdampak terlalu buruk. Khilafah bisa memberikan bantuan seperti cadangan makanan saat musim paceklik karena saat itu rakyat tidak bisa bekerja. Khilafah akan melakukan modifikasi cuaca di daerah-daerah yang berpotensi mengalami kekeringan, seperti membuat hujan buatan, sehingga rendahnya curah hujan dapat diatasi dan potensi karhutla dapat dicegah.
Pada saat yang sama, Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam secara kafah dalam pengelolaan harta, termasuk kepemilikan umum. Islam menetapkan bahwa air termasuk harta milik publik sebagaimana halnya energi, hutan, laut, sungai, dan sebagainya. Dalam hal ini, negara wajib bertindak sebagai pengelolanya supaya harta tersebut bisa dinikmati oleh rakyat. Prinsip pengelolaan ini semata-mata sebagai wujud pelayanan dari penguasa kepada rakyat, bukan dalam skema bisnis sehingga negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan apalagi kepemilikan harta publik itu kepada swasta, alih-alih demi kepentingan kapitalisasi.
Khatimah
Dengan menggunakan paradigma dan prinsip mitigasi menurut Islam, ditambah peran politik negara yang sahih sebagaimana dalam Khilafah, bencana kekeringan dapat ditanggulangi secara optimal dan dampaknya tidak akan memberatkan ataupun memperburuk kondisi rakyat.
Allah Taala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan. Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS Al-Anfal [8]: 24-25). Wallahu'alam bishshawab. []