Bahaya Moderasi Dini Pada Generasi

 


Oleh: Adzkia Firdaus


Sebanyak 500 pelajar di Balikpapan berkontribusi dalam kegiatan bertajuk 'Sosialisasi Moderat Sejak Dini' yang mengangkat tema "Cinta Tuhan dengan Mencintai Indonesia" pada Rabu (11/9/2024). Kegiatan ini turut dihadiri para istri menteri yang tergabung dalam Organisasi Aksi Solidaritas Era (OASE) KIM. Dalam kesempatan ini, Eny Retno Yaqut, istri Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan bahwa kegiatan ini sengaja menyasar kalangan pelajar sebagai upaya menanamkan nilai-nilai moderasi beragama sejak dini. Dengan menanamkan nilai-nilai moderasi sejak dini, diharapkan dapat membentuk para pelajar yang cinta damai dan toleran.


Pada sumber yang sama lebih lanjut, Eny menjelaskan, kegiatan semacam ini merupakan yang ketiga kali diadakan setelah sebelumnya digelar di Bali dan Yogyakarta.

 

"Kami (Kemenag) berkomitmen untuk terus mendorong dan memfasilitasi nilai-nilai Moderasi Beragama. Tidak hanya dalam teori tetapi juga praktik. Acara hari ini adalah sebagai bukti," ujarnya. Eny mengatakan, terdapat 4 sikap moderasi beragama yang perlu disosialisasikan kepada para pelajar, yakni komitmen kebangsaan, anti kekerasan, sikap toleransi, dan penerimaan terhadap tradisi lokal. (detik.com/11/9/24).


Apa yang dilakukan pemerintah terhadap pemuda generasi bangsa saat ini seperti peribahasa ” jauh panggang daripada api” betapa tidak ? Kita bisa melihat fakta apa yang terjadi pada generasi muda saat ini bukan lah persoalan mereka tidak toleran sehingga mereka membakar gereja, memusuhi teman yang beda agama, atau membully teman non muslim. Sama sekali tidak, mereka tidak melakukan hal itu sehingga harus disikapi dengan upaya moderasi beragama.


Fakta yang terjadi saat ini adalah pemuda generasi bangsa mengalami dekadensi moral alias hilangnya moral generasi masa kini karena kurangnya iman dan bekal agama. Banyaknya kasus perundungan, seks bebas, aborsi, narkoba kriminalitas tengah mewabah dikalangan pemuda saat ini. Tindakan amoral mereka bahkan melebihi apa yang dilakukan orang dewasa sekalipun. Membunuh, memperkosa, merampok, tawuran, bullying seperti sudah menjadi keseharian mereka. 


Namun mengapa pemerintah justru massif menyerukan moderasi beragama yang sarat menjauhkan generasi dari nilai-nilai hakiki agama islam. Moderasi beragama di institusi pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk menangkal radikalisme di kalangan pelajar yg dipandang sebagai musuh ideologi Kapitalisme, agar generasi memiliki profil moderat dalam beragama, yang justru menjauhkan profil kepribadian Islam.


Nampak bahwa yang menjadi kekhawatiran negara itu bukan kerusakan moral remaja, tapi ancaman kebangkitan Islam.  Penguasa sedang menjalankan peran sebagai penjaga sistem sesuai arahan Barat. Moderasi beragama adalah proyek Barat yang dimaknai menerima pemikiran liberal seperti HAM, pluralisme, dan lain-lain.


Pemikiran liberal yang ditanamkan dalam upaya moderasi beragama ini justru membuat generasi kita semakin brutal, pertama kurang iman karena kurangnya pendidikan agama di sekolah, kedua pemahaman kebebasan berperilaku semakin membuat mereka lupa diri untuk bermaksiat.


Oleh karenanya, tidak heran jika moderasi beragama memberikan cara pandang Barat, bukan cara pandang yang seharusnya bagi seorang muslim. Hal ini terlihat dari empat indikatornya, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi (yang tidak selaras dengan cara pandang Islam).


Seperti yang disampaikan diatas tadi dimana 4 sikap moderasi beragama yang perlu disosialisasikan kepada pelajar yakni komitmen kebangsaan, anti kekerasan, sikap toleransi, dan penerimaan terhadap tradisi lokal.


Komitmen kebangsaan, misalnya, ternyata hanya diterapkan pada rakyat dan tidak bagi negara atau pemerintah sendiri. Fakta menunjukkan bahwa Pancasila yang kita kenal adalah yang tersebut dalam Pembukaan UUD 1945 yang dirumuskan pada 18 Agustus 1945. Sementara itu, pemerintah justru menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dan rumusan Pancasila 1 Juni 1945 itu berbeda dan tidak digunakan. Bukankah ini salah satu bukti bahwa negara sendiri yang patut dipertanyakan akan komitmen kebangsaannya?


Terkait toleransi, moderasi beragama memiliki pandangan yang berbeda dengan perspektif Islam. Dalam Islam, toleransi berarti ‘membiarkan dan menghormati umat agama lain memeluk agamanya dan beribadah’, sedangkan toleransi menurut moderasi beragama tidak sebatas demikian karena bersandar pada paham liberal yang relatif dan berbasis sekularisme dan pluralisme.


Contohnya, soal L9-67 yang menurut paham liberal merupakan hal yang mesti ditoleransi, diberi ruang, dan diterima di tengah masyarakat. Demikian pula pernikahan beda agama, harus diakui sebagai wujud toleransi. Sedangkan dalam Islam, hal-hal tersebut termasuk pelanggaran dan tidak bisa ditoleransi.


Indikator berikutnya, yakni anti kekerasan, juga tidak sesuai karena sikap anti kekerasan yang dimaksud dalam moderasi beragama digeneralisasi untuk semua kekerasan secara absolut tanpa ada perkecualian. Dalam Islam, pada dasarnya kekerasan—misalnya pembunuhan—adalah haram. Namun, dalam beberapa keadaan, pembunuhan dapat dibenarkan berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunah, seperti dalam hukuman kisas dan membunuh musuh di medan perang. Dengan pandangan moderasi beragama, jihad fi sabilillah yang merupakan ajaran Islam juga jadi dianggap sebagai tindak kekerasan.


Adapun indikator terakhir, yakni penerimaan terhadap tradisi, perlu dikritisi juga karena sebenarnya tradisi itu tidak bisa dianggap benar secara mutlak, lalu memaksakan agar diterima bulat-bulat. Tradisi atau budaya adalah hasil akal budi manusia sehingga bersifat dinamis dan tidak statis. Contohnya, pada 1970-an, masyarakat Indonesia secara umum memiliki tradisi menikahkan anak gadis pada usia yang sangat muda, yakni 9—13 tahun. Dengan perkembangan yang ada, tradisi atau budaya tersebut berubah hingga saat ini masyarakat menganggap budaya tersebut tidak layak lagi.


Dalam pandangan Islam, tradisi atau budaya apa pun yang berkembang di masyarakat harus dikembalikan kepada standar Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunah. Jika ada tradisi yang tidak bertentangan dengan Islam, misalnya belangkon (penutup kepala khas Jawa), umat Islam boleh mengambil atau memakainya. Namun, jika tradisi itu bertentangan dengan Islam, misalnya tradisi minum arak (khamar), umat Islam haram mengikutinya.


Pengarusan moderasi beragama berdampak negatif, terutama bagi umat Islam karena menjadikan umat Islam tercegah dari paham terhadap agamanya. Moderasi beragama menyebabkan kesalahpahaman, bahkan melahirkan ketakutan belajar agama dengan dalih tidak mau menjadi ekstremis, radikal, ataupun teroris.

 

Umat Islam perlu mewaspadai program moderasi beragama pada usia dini ini. Usia dini adalah usia kritis, usia pembentukan dasar-dasar pemikiran dan perilaku yang merupakan komponen kepribadian. Apabila anak usia dini dikenalkan kepada Penciptanya, ditanamkan tentang ketaatan dan ketundukan kepada Sang Pencipta, diajarkan untuk teguh berpegang kepada agama, berarti kita telah meletakkan fondasi yang kuat bagi agamanya.


Sebaliknya, apabila kita menanamkan pemahaman bahwa semua agama sama, atau tidak kita menanamkan untuk terikat dengan hukum syara', anak tidak memiliki fondasi yang cukup kuat untuk berpegang teguh pada ajaran agamanya. Mereka akan mudah diperdaya berbagai produk perang pemikiran dan budaya, termasuk liberalisme, hedonisme, dan materialisme. 


Jadilah mereka generasi yang tidak segan berpindah agama ataupun menganggap menikah dengan non muslim tidak jadi masalah. Mereka menjadi generasi yang tidak berwawasan luas, pemikirannya picik dengan prasangka baik terhadap musuh-musuh Islam, lalu dengan sukarela mereka menyerahkan kekayaan dan kedaulatan negaranya pada asing.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم