Oleh : Septa Yunis (Analis Muslimah Voice)
Dugaan korupsi kembali terjadi di tubuh Kementerian Agama (Kemenag). Kali ini, menyasar Menteri Agama dan wakilnya. Dilansir dari detik.com (1/8/2024), Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dan wakilnya, Saiful Rahmat Dasuki dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji. Laporan disampaikan Front Pemuda Anti Korupsi (FPAK) yang menilai terdapat kejanggalan dalam pembagian kuota haji tambahan. Selain FPAK, Gerakan Aktivis Mahasiswa UBK Bersatu (GAMBU) juga melaporkan sehari sebelumnya, dengan tuduhan korupsi dalam pengalihan kuota haji reguler ke haji khusus.
Dikutip dari Kontan.com (22/6/2024), Pada tahun ini, kuota haji Indonesia mencapai 221.000 jemaah, yang terbagi atas 203.320 jemaah haji reguler dan 17.680 jemaah haji khusus. Selain itu, Indonesia juga menerima tambahan kuota sebanyak 20.000, yang masing-masing dibagi menjadi 10.000 untuk jemaah haji reguler dan 10.000 untuk jemaah haji khusus.
Dalam UU Penyelenggaraan Haji dan Umrah pasal 64 menerangkan bahwa jumlah kuota jemaah haji khusus maksimal 8% dari total kuota haji per tahun. Yaitu, jika memakai kuota haji dan tambahannya pun seharusnya jumlah kuota jemaah haji khusus maksimal 19.280 orang, namun fakta di lapangan melebihi apa yang sudah ditetapkan dalam UU tersebut.
Miris, di alam kapitalis ibadah pun dapat di korupsi. Ibadah haji dijadikan sebagai ladang bisnis. Padahal semestinya, negara dapat menjamin kesejahteraan umat untuk beribadah. Namun semua itu hanya semu, ketika negara masih menerapkan sistem kapitalisme. Tabiat kapitalisme mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, namun tidak pernah memikirkan dampak yang akan terjadi.
Di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, umat Islam sangat antusias untuk menjalankan rukun Islam yang kelima ini. Umat rela menyisihkan hartanya dan menunggu antrean puluhan tahun. Hal tersebut justru dimanfaatkan pihak penyelenggara haji untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Penyelenggaraan ibadah seharusnya diatur dengan baik dan membuat nyaman umat. Namun dalam sistem kapitalisme, penyelenggaraan ibadah pun rawan dengan penyalahgunaan, ladang untuk mengambil manfaat juga korupsi.
Jamaah Haji adalah tamu Allah. Dalam sistem Islam, Khilafah akan mengelola penyelenggaraan ibadah haji dengan penuh tanggung jawab dan memudahkan jamaah dalam semua tahapan termasuk saat di tanah suci, dalam segala sarana dan prasarana juga memanfaatkan kemajuan teknologi.
Negara memfasilitasi kemudahan transportasi darat, biaya yang harus ditanggung calon jamaah haji. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II, Daulah Islam pada masa itu membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Pada masa Daulah Abbasiyah, Khalifah Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di setiap titik tersebut dibangun posko layanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi mereka yang kehabisan bekal.
Selanjutnya, negara juga mengatur kuota haji. Dalam pengaturan saat ini, siapa saja yang mempunyai dana yang besar berpotensi melakukan haji berulang melalui jalur khusus. Maka, negara mestinya memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Negara harus memprioritaskan calon jemaah haji yang belum pernah melakukan haji dan umrah yang juga memenuhi syarat dan berkemampuan.
Demikian, negara seharusnya meriayah para jamaah haji. Namun, hal itu mustahil terjadi di era kapitalisme saat ini. Untuk itu, menegakkan Islam secara menyeluruh menjadi kewajiban kita sebagai umat Islam, agar tatanan dan aturan Islam dapat diterapkan di seluruh kehidupan manusia.[]