Oleh: Aqila Farisha (Aktivis Muslimah Kal-Sel)
Produk pakaian Cina terus membanjiri pasar domestik di Indonesia. Sebagian besar produk tersebut lebih dipilih karena harganya lebih murah, dan produk tersebut dapat ditemukan dengan mudah. Sehingga, banyak yang memilih untuk membeli produk tersebut. Seperti yang tampak di Pusat Grosir Tanah Abang.
Pakaian impor Cina terpampang di sepanjang kios-kios para pedagang lantai 1 Jembatan Blok A. Baju bayi hingga anak terpajang di sana. Mirisnya baju-baju ini tidak berlabel SNI (standar nasional Indonesia). Padahal pakaian bayi dan anak termasuk produk yang harus memenuhi SNI (cnbcindonesia.com, 10/8/2024).
Zulkifli Hasan selaku Menteri Perdagangan (Mendag) membentuk satuan tugas (satgas) pemberantas impor ilegal. Dalam pekan ini tim tersebut akan diresmikan dan beroperasi. Tujuh komoditas yang difokuskan oleh Satgas ialah tekstil dan produk tekstil (TPT), pakaian jadi, keramik, elektronik, kosmetik, barang tekstil jadi, dan alas kaki. Zulkifli Hasan juga mengatakan bahwa bakal menggandeng Kejaksaan Agung (Kejagung), Polri, kementerian/lembaga terkait, dan Kadin Indonesia (cnnindonesia.com,19/7/2024).
Ironisnya, di samping produk Cina yang semakin banyak, produk dalam negeri justru makin terpuruk. Puluhan industri terpaksa gulung tikar akibat tidak bisa bersaing dengan produk Cina yang dianggap lebih murah. Disusul dengan pemutusan hubungan kerja terhadap 13.800 buruh per Januari hingga Juni 2024.
Kondisi ini merupakan buah dari kerjasama dagang yang disepakati Indonesia dengan China yang dikenal dengan China Asean Free Trade Area (CAFTA) pada tahun 2012. Perjanjian ini sedari awal sudah dicurigai hanya akan menguntungkan satu pihak saja, yaitu Cina. Hal ini terbukti ketika membanjirnya produk Cina di Indonesia. Namun impor China yang di terima negara-negara ASEAN termasuk Indonesia justru menurun.
Perjanjian ini sebenarnya merupakan produk liberalisasi perdagangan sistem ekonomi Kapitalisme. Liberalisasi perdagangan hanya akan berdampak pada matinya industri dalam negeri, ketika kondisi negara yang bersangkutan tidak siap menghadapi tantangan pasar bebas. Sementara itu, produk Cina mendapatkan dukungan yang sangat besar besar dari negaranya dalam perindustrian manufaktur, sehingga biaya produksi bisa di minimalisir.
Kondisi ini sejatinya menggambarkan bahwa negeri ini tidak memiliki kemandirian manufaktur, sehingga harus bergantung pada negara lain. Padahal ketergantungan terhadap negara lain, hanya akan membuka peluang penjajahan ekonomi dalam negeri ini. Alhasil negara Indonesia hanya menjadi pengekor.
Negara dengan sistem kapitalisme hanya bertindak sebagai regulator, yang mengakibatkan tidak mengembangkan industri mandiri. Padahal kemandirian bisa menyelamatkan industri dalam negeri, mencegah PHK, dan dapat menyejahterakan kehidupan rakyatnya. Sebaliknya negara ini justru condong terhadap kepentingan para kapital dengan membuka kerjasama perdagangan bebas.
Berbeda dengan peraturan Islam, dalam Islam pemimpin akan menjamin hubungan dalam negeri dengan cermat dan mengutamakan kepentingan rakyat dan negara. Sebab negara adalah ra’iin atau pengurus umat, yang memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebutuhan pokok setiap rakyatnya. Jadi, negara diwajibkan untuk membangun industri manufaktur secara mandiri, tanpa bergantung kepada negara lain, untuk memudahkan rakyat memenuhi kebutuhan pokoknya.
Dalam Islam aktivitas perdagangan adalah jual beli, hukum terkait jual beli adalah hukum terkait pemilik harta, bukan hukum tentang harta. Status hukum komoditas bergantung pada pedagangnya entah ia adalah warga Islam atau negara kufur. Setiap orang yang memiliki kewarganegaraan Islam adalah warga negara, baik muslim atau kafir dzimmi. Pasalnya pemimpin dalam Islam akan memberikan pelayanan dan pengurusan rakyat, dengan syarat individu tersebut berstatus sebagai warga negara.
Islam menetapkan bahwa pedagang yang berstatus warga negara boleh melakukan perdagangan di dalam negeri. Namun dalam berdagang tetap wajib terikat syariat Islam, seperti larangan menjual barang haram, melakukan penimbunan, kecurangan, pematokan harga dan lain sebagainya. Adapun pedagang yang merupakan warga negara juga boleh melakukan perdagangan luar negeri atau melakukan ekspor impor. Namun jika ada komoditas ekspor impor yang berdampak buruk bagi negara, maka akan dilarang.
Untuk memberikan perlindungan produk dalam negeri maka pemimpin dalam Islam akan memberlakukan cukai sepadan pada negara kafir. Jika negara kafir tersebut menarik cukai atas barang dagang yang berasal dari negara Islam. Negara Islam melarang komoditas impor yang termasuk barang haram dan membawa mudharat bagi masyarakat. Negara akan melakukan pengawasan ketat di perbatasan.
Pejabat dalam Islam adalah pejabat yang amanah, sehingga menutup celah masuknya barang impor yang tidak sesuai dengan ketentuan. Jika hal tersebut terjadi, negara akan memberikan sanksi ta’zir bagi pedagang luar negeri dan pejabat yang meloloskan barang tersebut. Sanksi tersebut bersifat tegas dan menjerakan pelaku.
Untuk memenuhi kebutuhan sandang, pemimpin dalam Islam, akan memberikan dukungan dengan menyediakan infrastruktur, kemudahan memperoleh bahan baku dan sebagainya. Sehingga kebutuhan dalam negeri tercukupi, dan harganya terjangkau. Negara tidak akan bergantung kepada negara lain untuk memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan setiap rakyatnya.
Negara wajib menerapkan hukum perdagangan luar negeri menurut aturan Islam. Jika negara harus melakukan hubungan luar negeri, maka negara akan tetap mengutamakan perlindungan industri atau dunia usaha rakyat. Hal ini akan meningkatkan daya beli masyarakat di tambah ada edukasi dalam negara, terkait pola konsumsi menurut Islam, sehingga warga negara akan bijak dalam konsumsi. Demikianlah politik industri dalam Islam akan mewujudkan negara mandiri dan kesejahteraan rakyat.
Wallahu’alam bishshawab.[]