Carut Marut Politik dalam Demokrasi

 


Oleh : Ana Ummu Azka 

(Pegiat Literasi Kota Malang) 


Pengamat Politik Adi Prayitno mengunggah komentar, terkait panas-dingin hubungan PKS dan Anies yang tampak pecah kongsi di Pilgub Jakarta 2024. Hal itu terlihat dari foto headline sejumlah portal berita yang ditampilkan di Instagram pribadinya. “Kesimpulan politik kita itu sederhana. Jangan pernah baper. Jangan dibawa ke hati. Hari ini lawan besok bisa kawan,” kata Adi seperti dikutip Minggu (11/8/2024). Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) ini meyakini, prinsip utama politik adalah mendapat keuntungan pribadi dan kelompok. Tujuannya, mendapat kekuasaan dengan cara apapun. (www.liputan6.com, 11/08/2024)


Apa yang disampaikan oleh pengamat politik Adi Prayitno diatas menunjukkan wujud asli politik dalam demokrasi. Penerapan sistem demokrasi di negeri ini telah menjadikan dunia politik kosong dari nilai-nilai ketakwaan. Sehingga hal tersebut menyebabkan parpol dan para politisi kerap menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Hal ini dikarenakan adanya pemisahan agama dari kehidupan atau lebih dikenal dengan sekulerisme. Karena agama dipisahkan dari urusan kehidupan termasuk urusan politik, maka  praktek politik yang terjadi saat ini menghalalkan segala cara demi teraih tujuan maka hasilnya justru malapraktik dan rakyat menjadi korbannya.  Semua praktek politik yang berlaku saat ini seolah menjustifikasi satu kalimat yang pernah ditulis oleh Niccolo Machiavelli dalam bukunya Il Principe, The ends justify the means.Untuk mencapai tujuan, semua cara dihalalkan." 


Hal tersebut sangat wajar terjadi dalam sistem demokrasi karena sistem ini memberikan ruang kebebasan bagi individu. Sehingga tidak heran jika para politisi atau parpol bebas menyusun strategi agar bisa berkuasa. Cara-cara apapun akan dilakukan demi meraih simpati rakyat dan terperolehnya jabatan sebagai pemimpin.lawan bisa menjadi kawan, Dan kawan pun bisa suatu saat menjadi lawan. Alhasil menemukan pemimpin sejati dalam sistem demokrasi ibarat suatu mimpi, karena mereka hanya mengandalkan pencitraan dan popularitas belaka. Dalam demokrasi, kepemimpinan juga dimaknai sebagai kemampuan mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan dan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan. Dari sini jelas bahwa dalam demokrasi kepemimpinan adalah cara untuk berkuasa, memerintah orang lain demi mencapai sebuah tujuan. Maka tidak heran banyak orang dalam sistem demokrasi berlomba-lomba untuk memegang kepemimpinan. 


Berbicara mengenai kepemimpinan sejati maka alangkah baiknya kita sebagai seorang muslim mengembalikannya kepada Islam. Pada dasarnya kepemimpinan dalam Islam adalah sebuah amanah untuk menerapkan syariat Islam secara total. Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah suatu amanah, dan di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan kecuali mereka yang mengambilnya dengan cara yang baik serta dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemimpin dengan baik" (HR Muslim). 


Amanah kepemimpinan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Begitu beratnya tanggungjawab pemimpin, sampai-sampai Khalifah Umar Bin Khaththab pernah berkata :Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya Umar akan diminta pertanggungjawabannya (oleh Allah), seraya ditanya: Mengapa tidak meratakan jalan untuknya?


Terkait amanah tersebut maka harus diserahkan kepada ahlinya, atau kepada orang-orang yang layak untuk diangkat sebagai pemimpin. Kepemimpinan bukanlah barang dagangan yang dapat diperjualbelikan atau sesuatu yang bisa dicitrakan. Karena itu, pada prosesnya, seorang calon pemimpin tidak dibeli oleh mereka yang menghendakinya, ataupun membeli dukungan dengan mengharap kemenangan. Rasulullah SAW bersabda: "Tunggu saat kehancurannya, apabila amanat itu disia-siakan. Para sahabat serentak bertanya, 'Ya Rasulullah apa yang dimaksud menyia-nyiakan amanah itu?' Nabi Saw bersabda: Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah tanggal kehancurannya." (HR Bukhari). 


Karena Islam memandang kepemimpinan adalah sebuah amanah maka sistem Islam mencetak para pemimpin yang mengurusi urusan rakyat berdasarkan Syariah Islam dan tidak gila akan kekuasaan. Begitu pula karena amanah tersebut perlu dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Swt maka sejumlah praktik manufer untuk meraih kekuasaanpun sangat minim terjadi bagi orang yang paham Islam. Bahkan karena saking besarnya pertanggung jawaban amanah tersebut, maka tidak heran jika Kholifah Umar Bin Khattab dan Kholifah Umar Bin Abdul Aziz malah menangis ketika mendapatkan jabatan tersebut. Begitu Pula Ali bin Abi Tholib awalnya juga menolak ketika diminta untuk menjadi kholifah, tapi karena permintaan umat pada waktu itu maka Ali pun bersedia di baiat. 


Itulah makna kepemimpinan dalam Islam, sehingga orang Islam yang paham hal tersebut  tidak menyia-nyiakan amamah kepemimpinan.  Untuk itu Islam menetapkan 7 syarat menjadi seorang pemimpin, dan syarat tersebut adalah Islam, laki-laki, baligh, merdeka, adil, mampu, berakal. Sesungguhnya pemimpin sejati hanya ada dalam sistem Islam yang dibangun diatas asas aqidah Islam dan menjadikan halal haram sebagai standart perbuatan. Islam memandang politik (as-siyasah) adalah kepengurusan urusan ummat dengan syariat Islam, baik dalam dan luar negeri. Sehingga fokus pembahasannya adalah bagaimana mengurusi rakyat dengan baik sesuai syariat. Dengan demikian pemimpin yang akan dihasilkan adalah pemimpin yang takut pada Tuhannya sehingga benar-benar berjuang untuk kemaslahatan rakyat,  bukan demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.


 Untuk itu marilah kita bersama-sama di tahun politik ini menyatukan langkah untuk memahamkan masyarakat terkait pemimpin sejati sesuai Al-Quran dan As-Sunah yang akan menerapkan Syariah Islam secara kaffah sehingga rahmatan lil alamiin bisa terwujud. Wallahua'lam bishshawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم