Bahaya Liberalisasi Program BERANI (Better Sexual and Reproductive Health and Rights for All Indonesia), Kaum Muslim Waspadalah!

 


Oleh Ayu Fitria Hasanah S.Pd

(Pemerhati pendidikan & sosial politik)


Program Berani adalah program peningkatan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan dan orang muda di Indonesia. Program ini diluncurkan oleh UNFPA dan UNICEF bekerjasama dengan pemerintah Kanada dan Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia) pada 10 desember 2018. 


Latar Belakang Program Berani


Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam menyediakan layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang merata, mempercepat penurunan angka kematian ibu, menjamin program keluarga berencana yang berbasis hak, mencegah dan merespon kekerasan berbasis gender, serta memenuhi kebutuhan kaum muda akan layanan dan informasi kesehatan seksual dan reproduksi, baik di dalam maupun di luar sekolah. Pemerintah Indonesia, bersama dengan UNFPA, UNICEF, dan Pemerintah Kanada, menyelenggarakan Program (BERANI) untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut.


a. Kematian ibu dan kualitas pelayanan yang tidak optimal


Pada tahun 2017, proporsi persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia bisa dikatakan sangat tinggi (sekitar 91% pada tahun 2017), namun demikian pula angka kematian ibu yang dilaporkan, yaitu 305 kematian per 100.000 kelahiran hidup (SUPAS, 2015). Kualitas layanan yang belum optimal diduga menjadi salah satu penyebabnya. Tenaga kebidanan merupakan penyedia utama layanan kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan di Indonesia, dan berpotensi memainkan peran penting dalam pencegahan kematian ibu. Namun, kompetensinya masih perlu menjadi perhatian. Hanya 50% lulusan kebidanan dari 700 sekolah kebidanan di Indonesia yang lulus uji kompetensi nasional.


b. Kebutuhan keluarga berencana yang tidak terpenuhi


Pada tahun 2017, sekitar 10,6% wanita menikah usia subur tidak menggunakan metode kontrasepsi apapun meskipun tidak ingin hamil. Angka tersebut bahkan meningkat menjadi 12,4% pada tahun 2018. Selain itu, angka putus pakai juga tinggi, yaitu sebesar 28,9%. Kekhawatiran lain yang mendasar sehubungan dengan keluarga berencana dan hak-hak reproduksi adalah rendahnya proporsi perempuan yang secara konsisten membuat keputusan yang tepat mengenai hubungan seksual, penggunaan kontrasepsi dan kesehatan reproduksi mereka. Meskipun terdapat peningkatan sejak 2002, pada 2017, hanya 62% perempuan yang mendapat informasi mengenai metode alternatif, 44% mengenai potensi efek samping, 34% mengenai apa yang harus dilakukan jika terjadi efek samping, dan hanya 29% yang menerima ketiga informasi tersebut untuk mengambil keputusan atau pilihan.


c. Kehamilan remaja serta kurangnya akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi


Orang muda berusia 10-24 tahun mewakili 28% penduduk Indonesia pada tahun 2015. Dalam 20-30 tahun mendatang, mereka akan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial di Indonesia. Namun demikian, masalah kesehatan seksual dan reproduksi di kalangan remaja menjadi ancaman besar bagi negara dalam mewujudkan potensi bonus demografinya. Pada tahun 2017, sekitar 1,7 juta perempuan muda di bawah usia 24 sudah pernah melahirkan, termasuk di antaranya, hampir setengah juta remaja. Satu dari setiap 100 perempuan berusia 15 tahun sudah memiliki anak, sehingga menghambat pendidikan, pekerjaan, dan pemberdayaan mereka.


Orang muda di Indonesia mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Hukum yang berlaku membatasi akses layanan kontrasepsi di sektor publik hanya untuk mereka yang sudah menikah. Layanan yang ada belum secara komprehensif menjawab kebutuhan kaum muda. Penyedia layanan kesehatan seringkali tidak peka terhadap tanggung jawab hukum maupun moral dalam memberikan pendidikan dan layanan kepada remaja dan pemuda. Selain itu, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif belum menjadi muatan wajib dalam kurikulum sekolah nasional. Kebijakan, pedoman, dan sumber daya yang ada belum memadai bagi guru untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan siswa mereka.


d. Kekerasan berbasis gender dan praktik berbahaya terhadap perempuan dan anak perempuan


Baik di perkotaan maupun pedesaan, perempuan dan anak perempuan di Indonesia mengalami berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan. Dalam Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional tahun 2016, satu dari tiga perempuan berusia 15-64 tahun dilaporkan mengalami kekerasan fisik dan atau seksual, dan anak perempuan berusia 15-19 tahun termasuk dalam kelompok yang melaporkan tingkat kekerasan tertinggi. Prevalensi perkawinan anak juga masih sangat tinggi. Pada tahun 2018, satu dari sembilan anak perempuan berusia 20-24 tahun menikah sebelum mencapai usia 18 tahun. Anak perempuan di pedesaan dan anak perempuan dari keluarga dengan pendapatan ekonomi rendah tiga kali lebih mungkin dinikahkan sebelum berusia 18 tahun. Riset Kesehatan Dasar 2013 mengungkapkan bahwa pemotongan/perlukaan genitalia perempuan masih banyak dilakukan di Indonesia, dialami oleh 51,2% anak perempuan berusia di bawah 11 tahun.


Kampanye Liberalisasi melalui Program Berani & Dampak Bahaya bagi Umat Islam Program Berani adalah program peningkatan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan dan anak perempuan, memang ini penting, akan tetapi hak apa yang dimaksud? Problem seperti apa yang dianggap sebagai masalah kesehatan seksual dan reproduksi? Benarkah pandangan akar masalah mereka terhadap penyebab banyaknya angka kematian ibu, banyaknya kekerasan seksual, meningkatnya perkawinan anak? Ada tujuan apa dibalik program Berani?


Berdasarkan latar belakang poin C salah satu problem yang dimaksud adalah banyaknya perempuan usia dibawah 18 tahun yang memiliki anak sehingga dinilai menghambat pendidikan, pekerjaan dan pemberdayaan mereka, padahal mereka adalah penggerak pertumbuhan ekonomi. Penyebab problem yang dimaksud terhadap masalah ini adalah karena sulitnya layanan kesehatan seksual dan reproduksi, serta hukum yang berlaku membatasi akses layanan kontrasepsi di sektor publik hanya untuk mereka yang sudah menikah. Upaya program Berani adalah bagaimana mencegah perkawinan anak sehingga dapat produktif dan berdaya untuk pertumbuhan ekonomi serta membuka batasan akses layanan kontrasepsi di sektor publik tidak hanya untuk mereka yang sudah menikah. Menyediakan banyak klinik layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang ramah remaja. Narasi ini tanpa berpikir kritis tampak logis, padahal bila dipahami lebih kritis, tujuan dibalik program dan narasi ini adalah memperdaya perempuan agar menjadi penggerak ekonomi, tidak menjadi beban negara atau menambah angka kemiskinan, serta menormalisasikan kebebasan seksual, melakukan seksual dengan edukasi sesat (mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, menggunakan alat kontrasepsi) sehingga tidak harus menyebabkan ada perkawinan. Dari sini, dapat dipahami bahwa hak yang dimaksud ternyata hak untuk bebas mengakses alat kontrasepsi, hak seksual yang edukatif menurut mereka (yang tidak menyebabkan hamil). Narasi ini sungguh memuat ide sekuler liberalisme, jika upaya program ini berhasil, umat Islam tanpa pemikiran aqidah akan terjerumus dalam zina. Tanpa pemikiran ideologis, umat Islam akan menjadi tulang punggung ekonomi kapitalis.


Selain itu, dari latar belakang poin D, problem yang dimaksud adalah banyaknya kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak perempuan, dan penyebabnya dinilai karena gender (konstruksi sosial ang dipengaruhi agama, budaya, etnis, serta politik tentang perbedaan peran, kedudukan, serta kesempatan antara perempuan dan pria, dalam kehidupan keluarga atau masyarakat) yang belum setara. Oleh karena itu, upaya program Berani adalah meningkatkan pemahaman kesetaraan gender dengan melibatkan influencer, peningkatan layanan penanganan KBG, melatih anggota masyarakat, tokoh agama, penyedia layanan kesehatan, dan remaja dengan pendekatan transformatif gender. Padahal faktanya kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan dan anak perempuan, tetapi juga banyak terjadi pada laki-laki dan anak laki-laki. Seperti kasus viral yang terjadi pada bulan lalu, seorang ibu yang melecehkan anak laki-lakinya yang berusia 4 tahun. Berdasarkan data korban kekerasan seksual 2021 terdapat 12.389 laki-laki Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual, baik secara verbal, fisik, pemaksaan melihat konten porno, intimidasi/ancaman melakukan aktivitas seksual dan/atau perkosaan. 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Karena itu, tidak tepat jika penyebab kekerasan seksual dianggap karena gender yang belum setara. Banyak faktor yang menjadi penyebab banyaknya kasus kekerasan seksual, seperti pendidikan yang tidak berorientasi membentuk akhlak, media liberal yang memuat banyak konten yang merangsang syahwat,kebebasan pergaulan pria wanita atau tidak adanya batasan interaksi pria wanita dalam ranah lingkungan pendidikan, lingkungan kerja, lingkungan keluarga yang menyebabkan peluang terjadinya kekerasan atau pelecehan seksual, sanksi yang tumpul ke atas tajam ke bawah dan tidak menimbulkan jera. Dari sini hak yang dimaksud ternyata adalah hak bagi perempuan untuk mendapat kesetaraan, kesempatan, peluang, peran yang sama dengan laki-laki, dengan kata lain hendak menghapus segala perbedaan peran, kedudukan, kesempatan yang terdapat pada laki-laki dan perempuan. terdapat anggapan bahwa ada diskriminasi terhadap perempuan, atau ada ketidakadilan Gender. 


Sekilas narasi ini tampak logis, padahal jika berpikir lebih kritis, narasi ini bertujuan agar perempuan tidak menerima peran, kedudukan (sebagai pengaruh dari masyarakat dan agama) yang melekat pada dirinya dan agar menuntut kebebasan. Pesrsoalannya dalam perjalanan perjuangan kesetaraan gender, hal-hal yang dipermasalahkan adalah peran perempuan yang dalam agama menjadi seorang ibu dan pengatur rumah tangga serta tidak wajib bekerja, perempuan dalam agama yang harus menutup aurat, safar lebih dari satu hari satu malam yang harus ditemani mahrom, citra buruk masyarakat bagi perempuan yang pulang malam, merokok, berbicara keras, bertato. Dengan kata lain tujuan dibalik pengarusan ide sekuler liberal kesetaraan gender adalah untuk merusak para Muslimah, dan menjadikan perempuan semakin bebas dalam mengekspresikan dirinya, semakin jauh dari pemahaman kemuliaan sebagai Muslimah dan ibu. Jika program ini berhasil, tatanan kehidupan umat Islam akan semakin rusak, banyak perempuan yang terdorong bekerja keluar rumah, anak menjadi korban dari pengasuhan yang tidak optimal.


Mengenai AKI (angka kematian ibu) memang berkaitan dengan layanan kesehatan yang tersedia, upaya program Berani adalah meningkatkan jumlah pelatihan bidan sesuai standar, tanpa membahas fakta sulit dan mahalnya akses kesehatan serta rumitnya mekanisme kesehatan. Masalah AKI tentu tidak cukup selesai hanya dengan meningkatkan jumlah dan kualitas bidan, tetapi juga perlu kebijakan yang memudahkan para ibu mendapatkan pelayanan kesehatan, persoalannya penyebab layanan kesehatan sulit diakses karena biaya yang mahal, mekanisme yang rumit. Seperti yang terjadi pada kasus ibu hamil di Subang meninggal beserta bayinya karena di tolak oleh RS disebabkan tidak membawa surat rujukan dari puskesmas, hingga dalam perjalanan ke RS yang lain, kondisinya drop dan meninggal.


Solusi Islam


Mengenai perempuan yang tidak bekerja dianggap masalah, Islam dengan pengaturan yang sempurna, meniscayakan kestabilan ekonomi dalam negara, bahkan dapat mewujudkan negara menjadi independen, maju, terdepan di dunia. Sistem ekonomi Islam, dengan konsep kepemilikan hartanya memastikan negara memiliki pemasukan sangat besar, sehingga sangat tidak butuh menjadikan perempuan harus bekerja, atau menjadi penggerak ekonomi. Bekerja bagi perempuan dalam Islam menjadi hal mubah sebagai bentuk mendatangkan kemashlahatan dan aktualisasi diri. Sedangkan perkawinan anak yang dinilai sebagai masalah, dalam Islam melalui pendidikannya yang bertujuan membentuk syahsiyah Islam, ahli dalam sains dan teknologi, serta kurikulum yang memuat tentang fikih keperempuanan, sistem pergaulan pria-wanita termasuk didalamnya tentang pernikahan serta berbagai peran yang melingkupinya mampu melahirkan perempuan-perempuan yang matang atau siap menanggung taklif hukum pernikahan. Sehingga meskipun usia belasan tahun, perempuan dengan bekal pendidikan dan pergaulan dalam Islam mampu menjalani tugas sebagai istri dan ibu dengan baik, bahkan melahirkan generasi unggul.


Solusi Islam bagi maraknya kekerasan seksual adalah dengan penerapan pergaulan pria-wanita dalam Islam diantaranya, menundukkan pandangan, mewajibkan menutup aurat, melarang khalwat, ikhtilat, melarang menyerupai lawan jenis. Selain itu, media diatur dengan standar halal haram, sehingga konten yang dimuat hanyalah konten yang baik, mendidik dan jauh dari hal-hal yang mengundang kejahatan dan dosa. Di sisi lain, juga ada penerapan sistem sanksi yang mampu membuat jera maka akan mampu menghilangkan kasus-kasus kekerasan seksual.


Mengenai masalah angka kematian ibu, Islam memandang bahwa layanan kesehatan—termasuk pada ibu hamil—merupakan kewajiban negara. Negara Islam akan memberikan pelayanan dengan membangun fasilitas kesehatan yang merata di setiap daerah. Negara juga akan menyediakan tenaga medis yang cukup dan mumpuni dengan gaji yang sangat layak. 


Terkait pembiayaan, Islam memiliki mekanisme pendapatan yang khas, mulai dari fai, kharaj, ganimah, harta tidak bertuan, pengelolaan SDA, dll. Baitul mal akan mengelola semua pendapatan tadi kemudian disalurkan ke pos-pos yang membutuhkan, salah satunya pelayanan kesehatan. Dengan demikian, pelayanan terhadap ibu hamil dan melahirkan akan terjamin.


https://ijrs.or.id/wp-content/uploads/2022/04/Data-dan-Fakta-Kekerasan-Seksual-di-Indonesia-2021-8-Apr-2022.pdf


UNFPA Indonesia | BERANI untuk Berdaya: Informasi Program Better Sexual and Reproductive Health and Rights for All Indonesia (BERANI) 2018-2023

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم