Oleh: Tri S, S.Si
Koordinator Nasional (Koornas) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai kecurangan pada penerimaan peserta didik baru atau PPDB akan terus berulang di tahun-tahun berikutnya, lantaran tidak ada perubahan sistem sejak 2021. Ubaid mengatakan kecurangan itu bisa dalam bentuk gratifikasi di semua jalur. “Ada jual beli kursi, numpang Kartu Keluarga untuk memanipulasi jalur donasi, sertifikat yang abal-abal untuk jalur prestasi, ada titipan dari dinas dan sebagainya, serta pemalsuan kemiskinan karena ada jalur afirmasi,” kata dia di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi, pada Senin, 10 Juni 2024. JPPI mencatat kecurangan saat PPDB dapat melalui jalur jaringan kepala sekolah. Berdasarkan cerita yang ia dapat dari wali murid, beberapa kepala sekolah mengumpulkan data dan menunjukkan kepada wali murid soal jumlah kursi di sekolah dengan pendaftar yang tidak imbang. Kondisi itu membuat ada peserta yang tidak lulus (Tempo.co, 11/06/2024).
KPK menerbitkan surat edaran 3 Juni 2024 agar sekolah menyetop pungutan liar dan berhenti mengakali sistem zonasi demi meraup keuntungan dari suap menyuap. Surat edaran tersebut memang penting tetapi tidak menyentuh akar permasalahannya karena tidak ada tindakan tegas bagi para pelanggarnya sehingga bisa saja sekolah mengabaikan surat edaran tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa akar permasalahan korupsi yang terjadi di sekolah negeri adalah anggapan yang keliru di tengah masyarakat bahwa sekolah umum negeri adalah sekolah yang berkualitas bagus untuk anak-anak didiknya. Padahal, sekolah umum negeri pemerintah juga menyediakan madrasah yang tidak menerapkan sistem zonasi.
Akibat kurangnya sosialisasi madrasah jadi terabaikan sebagai alternatif pendidikan yang memiliki kualitas yang sama. Harapan dari para orang tua adalah agar mendapatkan kualitas pendidikan yang bagus dengan harga bersahabat. Namun faktanya, tidak demikian karena anggapan tersebut begitu banyak syarat yang menyulitkan orang tua. Padahal negara telah mempersiapkan lembaga pendidikan swasta yang tidak menerapkan sistem zonasi tetapi sayangnya biaya masuknya mahal dan tidak terjangkau masyarakat.
Belum lagi kondisi perekonomian masyarakat saat ini sedang tidak baik-baik saja. Terkait dengan korupsi dalam sistem zonasi sekolah, langkah KPK sudah bagus untuk pencegahan korupsi. Namun, perilaku menyimpang seperti korupsi menjadi perbuatan yang biasa dan wajar karena pelakunya adalah pejabat dan orang tua calon siswa. Kedua belah saling membutuhkan satu dengan yang lain. Korupsi model begini bukan hanya karena niat semata namun karena kebijakan yang memberikan peluang untuk melakukan penyelewengan. Beginilah gambaran realita pendidikan yang terjadi dalam sistem saat ini. Berbagai tindakan kecurangan dilakukan demi mengenyam pendidikan yang katanya “berkualitas.”
Faktanya, harapan tinggallah angan semata. Karut-marut kekalutan ini terjadi akibat kebijakan yang ditetapkan. Anggapan bahwa mahalnya sekolah swasta dan sulitnya masuk sekolah negeri menjadi hambatan besar untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Bak buah simalakama, jika memilih sekolah swasta tidak mampu dalam hal biaya pendidikan. Sementara jika memilih sekolah negeri banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Kebijakan pendidikan yang diterapkan saat ini tidak mampu memudahkan rakyat untuk mengakses pendidikan dengan kualitas yang terjangkau. Justru sebaliknya, negara malah menjadikan sektor pendidikan sebagai lahan bisnis dengan iming-iming keuntungan yang menggiurkan.
Negara tidak mampu memprioritaskan kebutuhan rakyatnya sebagai kebutuhan asasi yang wajib dipenuhi. Inilah bukti bahwa negara gagal menyediakan pendidikan yang berkualitas, murah dan mudah untuk rakyatnya. Dalam sistem kapitalisme yang diemban saat ini, negara menganggap rakyat adalah beban, jadi wajar apabila kebutuhan rakyat hanya dipandang sebelah mata. Lebih parah lagi, sektor pendidikan menjadi sasaran bisnis karena setiap orang pasti membutuhkan pendidikan. Alhasil, setiap kebijakan yang diambil hanya berorientasi pada keuntungan materi semata. Kebijakan subsidi sekolah negeri dan pembatasan kuota zonasi hanya akan membuka lebar kecurangan dan komersialisasi dalam dunia pendidikan.
Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan primer bagi setiap individu rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Tujuan pendidikan dalam Islam mencetak generasi yang berkualitas, beriman, bertaqwa. Generasi yang menjadi problem solver di tengah masyarakat. Sistem Islam berlandaskan akidah Islam merupakan sistem pendidikan terbaik yang terbukti melahirkan generasi berkualitas yang menjadi agent of change dalam membangun peradaban yang kuat, tangguh dan mulia. Negara merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kekuatan untuk mewujudkannya. Konsep pendidikan islami hanya dapat terwujud dalam bingkai daulah Khilafah Islamiyah yang merupakan satu-satunya institusi yang mengurusi setiap urusan rakyatnya.
Rasulullah saw., bersabda bahwa setiap pemimpin adalah ra’in yaitu pengurus urusan rakyatnya. Pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap kebijakan yang diambil. Terkait dengan sistem pendidikan, Khilafah akan menetapkan kebijakan yang memberikan kemudahan kepada rakyat dalam mengakses pendidikan.
Adapun anggaran khusus untuk pendidikan berasal dari pos Baitul Mal. Sistem seleksi di sekolah tidak akan dipersulit karena Khilafah menetapkan standar kualitas yang setara di setiap aspeknya. Sehingga tidak ada persaingan antarsekolah. Anak didik tidak perlu pusing memikirkan sekolah yang berkualitas karena Khilafah menyediakan sekolah yang berkualitas untuk rakyat dengan biaya terjangkau bahkan gratis untuk seluruh rakyat.
Dengan demikian skema penerimaan siswa baru jauh dari perbuatan korupsi dan nepotisme. Ditambah lagi kualitas keimanan dan ketakwaan individu sehingga menjadi benteng dari perbuatan curang dan penyelewengan lainnya. Pendidikan akan terjamin dalam wadah sistem Islam yang amanah. Wa’llahu a’lam bishawab.