Oleh: Hasbiati, S.ST (Praktisi Kesehatan)
Kasus kekerasan anak terhadap orang tua kian bertambah. Baru-baru ini viral di sosial media seorang pedagang yang ditemukan tewas di sebuah toko perabot di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur. Dari hasil penyelidikan polisi, pelaku nyatanya dua anak kandungnya sendiri (Liputan6.com, 23/6/2024).
Dua hari sebelumnya juga ada kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak di Pesisir Barat, Lampung terhadap orang tuanya. Ternyata berawal dari permintaan korban untuk dibantu diantarkan ke kamar mandi dikarenakan korban mengalami stroke (Liputan6.com, 21/6/2024).
Tidak hanya dua berita di atas, nyatanya marak kasus serupa terjadi di tengah-tengah kehidupan kita. Kasusnya pun semakin sadis. Meskipun terkadang dengan motif yang bisa dibilang sepele. Berbagai upaya dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut, namun tetap saja tidak teratasi bahkan malah semakin bertambah.
Hal ini disebabkan karena solusi yang tidak menyentuh akar permasalahan. Akar masalahnya ialah bercokolnya sistem sekularisme kapitalisme yang telah merusak dan merobohkan pandangan mengenai keluarga. Keluarga yang seharusnya melindungi, menjadi tempat yang aman dan nyaman, justru kini telah berubah menjadi ancaman dan musuh bagi anggota keluarga yang lain.
Sekularisme melahirkan manusia-manusia miskin iman yang tidak mampu mengontrol emosinya, rapuh dan kosong jiwanya. Sistem sekularisme ini menjadikan berbagai tekanan hidup yang dirasakan oleh keluarga, gaya hidup bebas dan kerusakan moral yang melatarbelakangi terjadinya kejahatan di antara anggota keluarga. Kapitalisme menjadikan materi sebagai tujuan, abai pada keharusan untuk _birrul walidain_. Sistem pendidikan sekuler tidak mendidik anak-anak agar memahami _birrul walidain_. Sehingga lahirlah generasi rusak yang berwujud malin kundang masa kini.
Demikian juga hubungan dengan Sang Pencipta, Allah SWT pun telah hilang. Penerapan sistem kehidupan kapitalisme yang mencengkeram telah gagal memanusiakan manusia dan telah membunuh naluri kasih sayang antar anggota keluarga. Kapitalisme merusak fitrah dan akal manusia, menjauhkan manusia dari tujuan penciptaannya yaitu sebagai hamba dan khalifah pembawa rahmat bagi alam semesta.
Berbeda halnya dengan sistem kapitalisme yang rusak, sistem Islam yang memang datang dari Allah SWT, Sang Pencipta manusia jelas akan sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal. Pendidikan dalam sistem Islam mendidik generasi menjadi generasi yang memiliki kepribadian Islam, yang akan berbakti dan hormat pada orang tua dan memiliki kemampuan dalam mengendalikan emosi.
Allah SWT berfirman, “Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka. Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra : 23–24).
Islam menjadikan keluarga muslim berorientasi pada kehidupan akhirat dan menjadikan syariat sebagai standar perbuatan. Pendidikan dalam Islam menjadikan akal manusia mampu memahami potensi kehidupan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada dirinya sejak lahir dengan penyaluran yang tepat sesuai syariat. Gharizah nau' dapat diwujudkan dalam bentuk kasih sayang anak kepada orang tua, orang tua kepada anak serta kasih sayang antar anggota keluarga.
Islam memiliki mekanisme dalam menjauhkan generasi dari kemaksiatan dan tindak kriminal. Islam mampu menjaga keluarga dan masyarakat tetap dalam keimanan dan ketakwaannya melalui penerapan sistem sanksi yang ditegakkan secara kaffah, yang akan memberikan efek jera sehingga mencegah semua bentuk kejahatan termasuk kekerasan anak pada orang tua. Sehingga tercipta tatanan kehidupan masyarakat yang baik, damai, sejahtera yang dipenuhi dengan ampunan dan ridha Allah SWT.[]