BENARKAH KEMISKINAN MENURUN?




Oleh: Dhevi F. Firdausi, ST.

Di tengah stagnasi ekonomi global, berbagai kebijakan strategis pemerintah berhasil menopang resiliensi ekonomi nasional. Per Maret 2024, tingkat kemiskinan melanjutkan tren menurun menjadi 9,03 persen dari 9,36 persen pada Maret 2023. Hal dinyatakan oleh Dinas Kemenkeu, hari Jumat (05/07/2024).

“Penduduk miskin pada Maret 2024 turun 0,68 juta orang dari Maret 2023 sehingga jumlah penduduk miskin menjadi sebesar 25,22 juta orang. Angka kemiskinan ini merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir,” ujar Kepala Badan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu, dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jumat (05/07/2024).

Secara spasial, tingkat kemiskinan juga terlihat menurun baik di perkotaan maupun di perdesaan. Tingkat kemiskinan di perkotaan turun ke level 7,09 persen dari 7,29 persen pada Maret 2023. Sementara itu, persentase penduduk miskin di perdesaan mengalami penurunan menjadi sebesar 11,79 persen dari 12,22 persen pada Maret 2023. Penurunan kemiskinan juga terjadi di seluruh wilayah Indonesia, dengan penurunan tertinggi terjadi di Bali dan Nusa Tenggara.

Pejabat mengklaim kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia menurun. Namun, sepertinya klaim tersebut masih dipertanyakan. Mengingat berbagai kondisi buruk negri ini, misalnya PHK dimana-mana, harga barang makin mahal, daya beli masyarakat makin turun, dll. Ini adalah fakta yang tidak dibantah. Bagaimana bisa dinyatakan angka kemiskinan menurun ketika PHK marak terjadi?

Fakta ini menunjukkan bahwa sejatinya negara tidak sungguh-sungguh mengeliminasi kemiskinan dengan kebijakan nyata, tapi hanya sekedar bermain angka. Indonesia sangat gemah ripah loh jinawi tanahnya. Hasil bumi berlimpah ruah, hasil laut beraneka ragam, pertambangan juga kaya raya. Bidang pertambangan misalnya, hampir semua jenis barang tambang ditemukan di negri ini. Namun, industri tambang dikuasai oleh perusahaan swasta, bukan dikelola negara. Akhirnya, yang menikmati hasil pertambangan tersebut adalah para pengusaha, bukan rakyat. Padahal, jika dikelola sendiri oleh negara akan mampu untuk menyerap banyak tenaga kerja, menurunkan harga barang, mendanai berbagai fasilitas publik.

Semua kebijakan tersebut terjadi karena Indonesia sedang dalam cengkeraman sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme meniscayakan adanya kemiskinan, apalagi dengan peran negara hanya sebagai regulator, menjadikan rakyat diabaikan, sementara pengusaha dianak-emaskan. Negara hanya sebagai regulator artinya negara bukan pihak yang paling bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Negara lebih berpihak pada para investor, baik berupa perusahaan swasta dalam negeri maupun asing. Banyak fakta telah membuktikan kebijakan ini.

Kita sebagai seorang muslim, tentu menjadikan Islam sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat. Islam adalah agama yang sempurna, karena datang dari Allah SWT. Selain mengatur ibadah ritual, syariatNya juga mengatur mu'amalah di masyarakat. Artinya, Islam juga punya aturan tentang sistem ekonomi, pendidikan, politik, dll. Islam menetapkan negara sebagai raa'in yang wajib menjamin terwujudnya kesejahteraan individu per individu melalui berbagai kebijakannya. Mungkin ini terjadi? Sangat mungkin. Ketika kita membaca Sirah Nabawiyah, bagaimana Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin telah memberikan contoh. 

Rasulullah Saw tidak hanya ahli sholat, beliau juga mengatur urusan umat di Madinah. Walaupun tidak semua rakyatnya muslim, tapi semuanya mendapatkan kesejahteraan yang sama. Dalam daulah khilafah Islam, rakyat berhak atas pendidikan gratis, fasilitas kesehatan gratis, keamanan  terjaga. Dana yang diperlukan bersumber dari berbagai sumber daya alam yang dikelola sendiri oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Pengelolaan SDA tidak boleh diserahkan pada swasta, apalagi perusahaan asing. Demikianlah, sistem politik dan ekonomi Islam mampu mewujudkan kesejahteraan secara nyata, bukan hanya sekedar bermain angka.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم