Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.
Pemecatan Prof. Dr. dr. Budi Santoso, Sp.OG (K) sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) menyita perhatian publik. Pemecatan ini berdampak pada munculnya aksi solidaritas dokter dan petisi atas terancamnya kebebasan berpendapat yang dilakukan Prof BUS -sapaan akrabnya-, hingga aksi mogok mengajar di kalangan para staf FK Unair.
Diduga, latar belakang pemecatan tersebut adalah penolakan Prof BUS terhadap kebijakan pemerintah yang berencana merekrut dokter asing ke Indonesia. Pernyataan penolakan itu Prof BUS sampaikan saat diwawancara oleh awak media pada Kamis (27-6-2024). Alasan Prof BUS yakni karena ia yakin 92 Fakultas Kedokteran di Indonesia mampu meluluskan dokter-dokter berkualitas.
Bahkan, kualitasnya ia yakini tidak kalah dengan dokter-dokter asing. Menurutnya pula, semua dokter di Indonesia semestinya tidak rela jika dokter asing bekerja di negeri ini. Hal ini, lanjutnya, karena kita mampu untuk memenuhi dan menjadi dokter tuan rumah di negeri sendiri.
Lantas, benarkah Indonesia butuh dokter asing?
Rasio Kebutuhan Dokter di Indonesia
Sejak awal 2023, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menggencarkan program penambahan jumlah dokter dan dokter spesialis di seluruh Indonesia. Memang, berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Our World in Data, di Indonesia sendiri pada 2019, rasio dokter terhadap 1.000 penduduk hanya 0,47 atau jauh lebih rendah dibandingkan rasio rata-rata di dunia.
Angka tersebut sangat jauh dari standar WHO yakni 1,0 per 1.000 penduduk. Dengan kata lain, di Indonesia hanya ada 47 dokter per 100.000 penduduk. Jika dilakukan pemeringkatan, Indonesia berada di posisi 147 dari 205 negara di dunia dan peringkat ke delapan di ASEAN.
Saat ini saja (2024), jumlah tenaga medis (dokter umum dan dokter spesialis) di Indonesia sebanyak 202.967 orang. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia per 2024 sekitar 281.603.779 jiwa. Dengan jumlah tersebut, rasio dokter di Indonesia hanya 0,72 per 1.000 penduduk. Dengan begitu, Indonesia membutuhkan sekitar 78.663 dokter untuk mencapai standar WHO tersebut.
Krisis Dokter Spesialis
Menurut Menkes (2023), jika produksi dokter masih menggunakan “aturan lama”, mungkin butuh waktu sampai 13 tahun agar bisa mencapai 270 ribu dokter untuk 270 juta penduduk di Indonesia. Sedangkan, produksi dokter di Indonesia adalah 12 ribu per tahun. Saat itu, Menkes pun menyatakan bahwa tidak heran jika banyak masyarakat yang memilih mencari pengobatan hingga keluar negeri.
Selain itu, jumlah dokter spesialis di Indonesia pun terpantau sangat mengkhawatirkan. Kekurangan dokter spesialis terjadi hampir di seluruh provinsi dan dibutuhkan waktu lama untuk menutup kekurangan tersebut.
Berdasarkan data, sebanyak 59% dokter spesialis di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Di sisi lain, lebih dari 30 provinsi di Indonesia kekurangan dokter spesialis. Jika dihitung, kondisi ini membutuhkan sekitar 2.700 lulusan spesialis per tahun untuk menutup kekurangannya.
Dokter spesialis yang dibutuhkan yakni Sp. Anak, Sp. Penyakit Dalam, Sp. Bedah, Sp. Obsgin, Sp. Anestesi, Sp. Radiologi, dan Sp. Patologi Klinik. Ketujuh bidang spesialisasi tenaga dokter tersebut sangat dibutuhkan di Indonesia mengingat sebanyak 34% Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) belum memiliki tujuh dokter spesialis dasar.
Faktor Penyebab
Di antara penyebab Indonesia kekurangan dokter spesialis adalah sulitnya seleksi dalam proses program pendidikan dokter. Minimnya jumlah perguruan tinggi yang menyediakan pendidikan kedokteran juga menghambat seseorang untuk menjadi dokter. Belum lagi birokrasi penerbitan izin praktik yang berbelit-belit.
Sejatinya, profesi dokter di Indonesia begitu banyak peminatnya, tetapi nyatanya sangat sedikit kuota yang tersedia di bangku perkuliahan. Akibatnya, masyarakat enggan untuk terus mengejar mimpinya menjadi seorang dokter. Selain itu, biaya untuk menjadi seorang dokter apalagi dokter spesialis beserta waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh program yang ada, tergolong sangat mahal jika dibandingkan dengan program studi lainnya.
Tidak hanya itu, sebagian dokter yang sudah memiliki kemampuan spesialis pun terkadang lebih memilih untuk berkontribusi di luar negeri dengan berbagai alasan, seperti besaran gaji hingga kelengkapan fasilitas serta sarana dan prasarana. Di antara buktinya adalah adanya video viral pada 2023, yang berisi pengakuan seorang dokter asal Indonesia yang bekerja di Singapura. Kita ketahui, Singapura adalah negara dengan kualitas kesehatan terbaik di ASEAN dan peringkat ke delapan dunia.
Dalam video yang sama, dokter tersebut menceritakan bahwa dirinya berpraktik di rumah sakit swasta di Singapura yakni Mount Elizabeth Hospital, yang tidak lain adalah rumah sakit yang terkenal bagi orang Indonesia. Ia juga mengatakan, 70% pasiennya adalah orang Indonesia dan semua stafnya orang Indonesia.
Benarkah Kita Membutuhkan Dokter Asing?
Mencermati semua ini, tampak jelas bahwa permasalahan krisis dokter tidaklah berdiri sendiri. Kurangnya jumlah dokter tidak melulu tersebab kurangnya personil dokter. Penerapan pembiayaan kesehatan melalui BPJS nyatanya tidak menyolusi permasalahan biaya kesehatan masyarakat umum. Hal itu malah menyebabkan posisi para dokter terjepit saat menerima pasien yang terdikotomi oleh status “pasien BPJS” dan “pasien umum”. Pasien BPJS “harus” dengan pelayanan dan obat alakadarnya, sedangkan pasien umum berhak pelayanan terbaik meski dengan biaya mahal.
Parahnya lagi, hal ini juga terkait erat dengan kapitalisasi pendidikan tinggi (khususnya kedokteran) serta kesehatan, sebagaimana mandat perjanjian internasional WTO yang menjadikan sektor jasa di antaranya pendidikan dan kesehatan sebagai komoditas ekonomi.
Ironisnya, mandat WTO itu harus dipatuhi Indonesia sebagai konsekuensi keanggotaan Indonesia di dalamnya. Dampaknya, pendidikan dan kesehatan jelas menjadi mahal. Biaya pendidikan menuju profesi dokter juga turut mahal. Oleh sebab itu, jika kemudian ada narasi seputar perekrutan dokter asing, bahkan hal itu telah sah berdasarkan UU Kesehatan (2023), dunia kesehatan nasional jelas dalam kendali kebijakan pesanan asing.
Juga saat mencermati fenomena sejumlah dokter yang lebih memilih berkarier di luar negeri, ini menunjukkan bahwa sejatinya negeri kita tidak kekurangan orang pintar, termasuk jumlah dokter. Namun, mereka terpaksa memilih untuk mencari mata pencaharian ke negeri seberang karena di negerinya sendiri begitu sulit menentukan nasib periuk nasi, alih-alih hendak menjadi dokter tuan rumah di dalam negeri. Mirisnya, masalah utamanya terletak pada urusan birokrasi.
Dengan begitu, kita tidak semestinya membutuhkan dokter asing. Akar masalahnya adalah rusaknya sistem yang mengaturnya, yang menyebabkan negara kita berjalan membebek asing. Untuk itu, solusi tuntasnya adalah dengan mengganti sistem yang tegak saat ini, menuju sistem sahih yang akan melepaskan negara kita dari cengkeraman asing yakni sistem Islam. Sistem Islam inilah yang mampu mengembalikan pendidikan (termasuk pendidikan kedokteran) dan kesehatan dari komoditas ekonomi menjadi sektor publik.
Dokter Asing pada Masa Peradaban Islam
Kebijakan perekrutan dokter asing di masa peradaban Islam sejatinya boleh saja. Terkait hal ini, Rasulullah saw. Pernah mendapatkan hadiah seorang tabib (dokter) dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya (HR Muslim).
Namun harus kita ketahui, sistem kesehatan di masa Khilafah dalam kondisi mapan, terdepan, memiliki fasilitas dan layanan terbaik, bahkan semua biayanya gratis. Artinya, perekrutan dokter asing dalam Khilafah bukanlah kebijakan mutlak. Juga bukan dalam rangka kendali ideologi dan negara asing, alih-alih untuk menegaskan bahwa sistem kesehatan tersebut berkualitas dengan adanya dokter asing.
Khilafah justru sangat menyadari kewajiban dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan sistem pendidikan dan kesehatan sebagai urusan publik sehingga secara syar’i keduanya berstatus sebagaimana fasilitas umum dan haram dikapitalisasi.
Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Secara teknis, pada sistem pendidikan, Khilafah berperan menyusun kurikulum pendidikan dokter yang tepat guna, tidak menyulitkan, memiliki target masa pendidikan yang tepat sasaran, serta dengan biaya gratis karena menjadi anggaran baitulmal.
Mekanisme ini berlaku agar masa tunggu produksi dokter tidak lama, tetapi tetap mampu menghasilkan para dokter yang mumpuni. Pengadaan dan pemberdayaan SDM dokter/nakes dari kalangan warga Khilafah, tentu lebih diprioritaskan sehingga perekrutan dokter asing hanyalah pilihan sampingan.
Selain itu, pada sistem kesehatan, Khilafah wajib menyediakan rumah sakit, klinik, dokter, tenaga kesehatan dan berbagai fasilitas kesehatan yang diperlukan oleh masyarakat, yang semuanya itu juga gratis. Tidak lupa, Khilafah menjamin kesejahteraan para dokter/nakes, serta menjaga idealisme dan dedikasi mereka bagi terwujudnya tanggung jawab negara di sektor kesehatan.
Dengan begitu, perekrutan dokter asing bisa diminimalkan, bahkan ditiadakan, tanpa mengurangi kualitas layanan kesehatan dari Khilafah kepada umat. Hal ini berbeda nyata dengan sistem kesehatan versi kapitalisme, bahwa untuk menunjukkan kebaikan kualitasnya harus dengan biaya mahal, termasuk di dalamnya merasa “wajib dan perlu” akan adanya dokter asing.
Wallahualam bissawab.