Oleh: Septa Yunis (Analis Muslimah Voice)
Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak resmi disahkan pada Kamis, 12-5-2024. Dikutip dari detik.com (07/6/2024), Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker Indah Anggoro Putri menyebutkan UU KIA diyakini akan semakin meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja atau buruh. "Pengesahan RUU KIA menjadi undang-undang merupakan wujud konkret dari komitmen DPR dan Pemerintah untuk mensejahterakan ibu dan anak menuju Indonesia Emas," ungkap Putri dalam keterangan resminya, Jumat (7/6/2024).
Di dalam UU KIA tersebut terdapat poin penting, yaitu cuti melahirkan bagi ibu yang melahirkan. Setiap Ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat 3 bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya. Apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Ibu yang mendapatkan cuti bekerja selama melahirkan berhak mendapatkan gaji secara penuh untuk empat bulan pertama dan 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam.
Di samping itu, seorang suami yang istrinya melahirkan juga mendapat cuti selama 2 hari. Dan juga dapat diberikan tambahan 3 hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan pemberi kerja. Bagi suami yang mendampingi istri yang mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti 2 hari.
Undang-undang ini dinilai sebagai harapan agar anak-anak sebagai penerus bangsa bisa mendapat proses tumbuh kembang yang optimal. Menjadi tugas negara untuk memastikan generasi penerus bertumbuh menjadi SDM yang dapat membawa bangsa ini makin hebat. Namun, apakah Undang-undang tersebut dapat menyejahterakan ibu dan anak? Apakah Undang-undang tersebut dapat terealisasi dengan baik?
UU KIA seolah menjamin kesejahteraan untuk ibu dan anak. Namun faktanya, latar belakang ditetapkannya UU KIA sendiri sebagai penguatan ekonomi negara. Negara terus bergerak membangun dunia kerja yang produktif bagi perempuan. Dari sini kita tahu, sebenarnya yang diinginkan negara adalah pemberdayaan perempuan dalam bidang ekonomi. Perempuan didorong untuk bekerja dan bisa membuktikan meskipun bekerja, dia masih bisa merawat anaknya setelah melahirkan karena ada cuti melahirkan yang cukup panjang.
Cuti yang panjang tersebut, jelas tidak dapat menyejahterakan ibu dan anak. Karena setelah cuti panjang, ibu diharuskan kembali bekerja. Sedangkan anaknya dititipkan kepada orang lain. Negara juga tidak menjamin ibu dapat memberikan ASI eksklusif kepada anak. Selain itu, negara juga tidak menjamin kesehatan bagi ibu dan anak.
Seorang ibu yang seharusnya mengasuh anak di rumah, diharuskan untuk bekerja, karena negara juga tidak menjamin sang ayah mendapatkan pekerjaan yang layak. Dengan begitu, tugas ibu semakin berat, selain mengasuh anak, ibu juga dipaksa untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Akibatnya, peran ibu dalam keluarga terabaikan.
Sungguh miris kehidupan seorang ibu di alam kapitalis. Bagaimana tidak, kapitalisme hanya mengukur kesuksesan perempuan terletak pada capaian materi. Sementara, tugas utamanya yaitu sebagai umm wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) terabaikan. Jelas ini bertentangan dengan fitrah seorang ibu.
Kapitalisme tidak mampu menghilangkan kodrat ibu melahirkan anak serta mengurus keluarga. Sehingga ketika karyawan perempuan terlalu lama mengambil cuti maka perusahaan merasa dirugikan. Dengan begitu, para perempuan harusnya merasa khawatir dengan disahkannya UU KIA ini, sebab perempuan akan kehilangan kesempatan bekerja sekalipun cuti melahirkan adalah hak mereka.
Problem semacam ini tidak akan jadi masalah jika diatur dengan sistem sistem Islam yang disebut sistem khilafah. Di dalam Islam laki-laki dan perempuan posisinya sama, maka hak dan kewajibannya sama. Akan tetapi, dari sisi kodratnya Islam tidak menyamakan laki-laki dan perempuan karena Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan tabiat dan karakter yang berbeda. Maka dari itu, hak dan kewajibannya berbeda, seperti tanggung jawab nafkah adalah kewajiban laki-laki bukan perempuan. Disinilah negara bertanggung jawab untuk memastikan agar laki-laki mendapatkan pekerjaan yang layak.
Sedangkan posisi mulia seorang perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, sehingga perempuan tidak dibebani dengan bertanggung jawab atas nafkah. Islam menetapkan bekerja bagi perempuan hukumnya boleh (mubah), dengan syarat tidak melalaikan kewajiban utama. Dalam peradaban Islam perempuan bekerja bukan karena desakan ekonomi tapi karena mengamalkan ilmu mereka. Inilah satu-satunya aturan yang mampu memberikan penghargaan dan kemuliaan pada perempuan.[]