Penulis: Suryani
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan Partai Garuda terkait dengan batas usia kepala daerah, baik calon gubernur dan wakil gubernur. Kini, tak harus berusia 30 tahun untuk bisa mendaftar calon gubernur dan wakil gubernur.
Dalam putusan MA, mereka yang baru berusia 30 tahun pada saat pelantikan dilakukan, bisa mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Putusan tersebut tertuang dalam putusan Nomor 23 P/HUM/2024 diketok pada 29 Mei 2024.
Pemohon adalah Ahmad Ridha Sabana, Ketum Partai Garuda. Ahmad Ridha juga dikenal sebagai adik politikus Gerindra, Ahmad Riza Patria. Pada Pilpres 2024, Partai Garuda berada di gerbong Prabowo-Gibran.
Dalam putusan tersebut, MA menyatakan bahwa pasal 4 ayat (1) huruf d dalam Peraturan KPU RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan atau wali kota dan wakil wali kota, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 10 tahun 2016. Atas adanya putusan tersebut, aturan KPU diubah.
Sebelumnya, bunyi pasal 4 ayat (1) huruf d: berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon.
Jika mengacu pada aturan tersebut, mereka yang sudah berusia 30 tahun baru bisa mendaftar gubernur atau wakil gubernur. Lalu berusia 25 tahun untuk bupati atau wakil bupati dan setingkatnya.
Namun aturan tersebut diubah oleh MA menjadi : Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih.
Karena adanya perubahan tersebut, maka calon kepala daerah untuk level provinsi yang sudah berusia 30 tahun sejak pelantikan atau level kabupaten/kota 25 tahun saat pelantikan, bisa mendaftarkan diri maju dalam kontestasi pemilu kepala daerah. Tidak perlu berusia 30 untuk level gubernur dan 25 tahun untuk level kabupaten/kota saat mendaftar.
Selain itu, MA juga memerintahkan kepada KPU RI untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan keempat atas peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota. News.com
Mahkamah Agung (MA) dinilai seharusnya membatasi diri untuk terlibat dalam proses politik elektoral. Bukannya malah terlibat dengan mengabulkan permohonan Partai Garuda terkait penghapusan batas usia 30 tahun untuk calon kepala daerah.
Pengamat hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona menjelaskan bahwa, pengadilan seharusnya menghindari diri untuk terlibat dalam proses pengujian peraturan yang akan mengubah aturan Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Menurut Yance Arizona, apabila ingin dilakukan perubahan terhadap aturan pemilu/pilkada, keputusannya harus diterapkan untuk pemilu berikutnya. Bukan ketika proses pemilihan sedang berlangsung.
Dia mencontohkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penghapusan ambang batas parlemen 4%. Meski putusan itu dikeluarkan pada 2024, tetapi penerapannya diberlakukan pada Pemilu 2029.
Pada pertimbangannya, MA menilai bahwa KPU tidak konsisten untuk mengatur waktu penghitungan syarat umur calon kepala daerah. Dalam hal ini, MA membandingkan aturan pada PKPU Nomor 13 Tahun 2010 yang menghitung syarat umur calon kepala daerah sejak pendaftaran pencalonan.
Menurut MA, inkonsistensi itu dapat menimbulkan ketidakadilan bagi warga negara yang ingin mencalonkan diri dan partai politik yang akan mencalonkan kandidat-nya. MA juga menyandingkan persyaratan umur calon kepala daerah dengan syarat umur jabatan lain di pemerintahan yang dihitung sejak pelantikan. Pada akhir putusannya, MA juga memerintahkan KPU RI untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020.
Mekanisme Yang Benar Untuk Memilih Pemimpin Dalam Islam
Memilih pemimpin adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Pemimpin memiliki peran besar dalam menentukan arah dan kebijakan yang akan mempengaruhi kesejahteraan dan keadilan umat. Oleh karena itu, Islam sangat peduli dengan masalah kepemimpinan dan memberikan tuntunan yang jelas dan rinci tentang bagaimana seharusnya umat Islam memilih pemimpin yang sesuai dengan syariat Allah.
Dalam sistem Khilafah, Khalifah dipilih bukan untuk menjalankan keinginan dan hukum manusia, tetapi untuk menjalankan hukum Allah SWT. Kewajiban seorang pemimpin adalah menerapkan syariat Islam semata. Haram hukumnya penguasa menjalankan hukum yang bukan syariat Islam. Oleh sebab itu, pemilu dalam sistem Islam hanya sebagai wasilah memilih pemimpin yang akan menjalankan syariat Islam.
Islam juga menjadikan halal/haram sebagai standar dalam menjalankan proses pemilihan. Tidak akan terjadi politik kotor, curang, atau manipulatif karena setiap aktivitas berlandaskan pada keimanan. Tampuk kekuasaan bukanlah sarana meraih materi duniawi, melainkan untuk menerapkan hukum Allah SWT demi meraih ridha dan janah-Nya.
Demikianlah yang Rasulullah SAW contohkan dan diamalkan oleh para Khalifah dari kalangan sahabat Nabi sesudahnya. Walhasil, kita pun wajib mengamalkannya.
Dalam konteks kekhalifahan, kekuasaan ada di tangan umat. Oleh karenanya, mereka bisa dianggap mewakili umat untuk menentukan siapa penguasa yang akan memimpin umat, khususnya dalam melaksanakan fardu kifayah dalam pengangkatan khalifah—yang tidak harus dilakukan oleh semua orang.
Terlebih lagi kalau mereka adalah “tokoh karbitan”. Tentu orang-orang seperti ini tidak memenuhi kriteria dalam sistem Islam.
Wallahualam bishshsawab.[]