(Lagi) Transaksi Jabatan Publik, Sampai Kapan?



Oleh: Ratnawati, M.Si


Bagi-bagi 'kursi kekuasaan' kembali terjadi. Penunjukan sejumlah nama petinggi parpol dan politisi pendukung presiden terpilih 2024-2029 sebagai komisaris utama dan independen di sejumlah perusahaan pelat merah telah dilakukan. 


Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko mengatakan bahwa penempatan jabatan di sejumlah BUMN karena ‘faktor kedekatan’, dan bukannya berdasarkan profesionalisme serta kompetensi yang memadai, diyakini akan menimbulkan sejumlah dampak negatif dalam tata kelola BUMN yang akan merugikan keberlangsungan BUMN tersebut (voaindonesia.com, 16/06/2024). 


 Politik Transaksional, Habit Demokrasi


Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengatakan bahwa fenomena balas budi terhadap parpol atau aktor parpol yang mendukung kemenangan telah berlangsung lama, khususnya pasca pemilu. Fenomena ini didukung oleh hasil survei TII pada bulan Maret 2021 yang menunjukkan sebanyak 14,73 persen jabatan komisaris BUMN diisi oleh tokoh berlatar belakang relawan calon presiden hingga anggota partai. Angka ini setara dengan 71 dari 482 komisaris saat itu. Selain itu, terdapat 51,66 persen kursi komisaris yang diduduki pejabat birokrasi sebagai perwakilan pemerintah selaku pemegang saham BUMN. Sedangkan dari kalangan profesional hanya sekitar 17,63 persen. Sisanya berasal dari aparat penegak hukum, personel militer dan mantan menteri (voaindonesia.com, 16/06/2024).


Fakta tersebut tidaklah mengherankan mengingat pemilu demokrasi telah melahirkan pemimpin negeri ini lewat serangkaian proses penuh kecurangan dan manipulasi. Pemimpin yang lahir dari proses inipun ketika menjalankan pemerintahan akan memberikan jabatan kepada para pendukungnya semata-mata untuk memuluskan berbagai kepentingan politik dan melanggengkan kekuasaannya, tanpa mempedulikan keahlian, kapabilitas maupun profesionalitas.


Sistem demokrasi yang sekuler dan bathil ini memang selamanya akan menyibukkan para pengusungnya dengan perkara duniawi saja, dan membuat mereka tidak sadar bahwa semua hal yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan di pengadilan akhirat kelak. 

 

Nepotisme akan terus berulang sebagai aturan main dalam politik demokrasi yang berasaskan manfaat dan kepentingan, demi target 'keuntungan materi'. Dimana ada peluang berkuasa, maka profesionalitas dan kapabilitas tidak lagi dipertimbangkan. Dalam alam demokrasi, BUMN merupakan salah satu jalan termudah bagi penguasa untuk berbagi kursi kepada para loyalisnya. 


Semua fakta tersebut seharusnya makin menyadarkan kita semua bahwa dalam politik demokrasi, sikap pragmatis dan oportunitis akan selalu ada, baik di level individu maupun parpol. Disinilah peran penting kita untuk terus membangun kesadaran politik sesuai syariat Islam, mengingatkan umat agar tidak terus-menerus terjebak dalam politik pragmatis ala demokrasi.  

    

Islam Mengamanahkan Jabatan kepada Ahlinya


Berkebalikan dengan Sistem demokrasi yang membuka lebar peluang berbagai kecurangan, Islam adalah sistem kehidupan sempurna yang menjaga kejujuran dan kemuliaan umatnya. Allah Azza wa Jalla menjaga umatnya dari potensi penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, dengan memerintahkan umatnya agar memberikan amanah kepada yang berhak (ahlinya) sebagaimana disebutkan dalam QS An Nisa ayat 58.


Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam senantiasa mengingatkan umatnya tentang pentingnya menyerahkan urusan kepada ahlinya, baik dalam urusan agama ataupun urusan lainnya. Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat." (HR. Bukhari). Makna hadits ini adalah ketika berbagai peran penting di tengah masyarakat diberikan pada sosok yang tidak memiliki kompetensi dan keahlian dalam memimpin, mengelola dan mengurusnya, maka kekacauan dan kehancuran pun akan terjadi. Dan kenyataannya inilah yang telah, sedang dan akan terus terjadi di negeri kita ini ketika masih terus mempertahankan sistem demokrasi yang bathil ini, subhanallah, na’udzubillahi min dzalik.


Para pemimpin yang secara individu baik tidak akan mampu bertahan tanpa didukung sistem yang shahih. Sistem shahih dan terbaik bersumber dari Zat Maha Baik, yaitu Allah Taala. Kekacauan dan kesengsaraan akibat kepemimpinan orang-orang yang sebetulnya sangat tidak layak menjalankan amanah di negeri ini sudah sangat parah. Kita tidak bisa menunggu lagi. Sudah saatnya umat menyadari bahwa hanya Islam satu-satunya tumpuan harapan lahirnya sistem dan kepemimpinan yang amanah dan berkah, yakni sistem Khilafah alaa min hajj an  nubuwah yang akan menjalankan syariat Islam secara kaffah. Wallahu a’lam bisshowwab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم