Hari Raya Idul Adha 1445 H, Ikut Siapa?



Oleh: Kikin Fitriani ( Aktivis Muslimah)


Indonesia sebagai satu-satunya negara di jagad raya ini yang tidak mengikuti Hijaz dalam ber-Idul Adha, perbedaan penentuan ini bukan disebabkan adanya dalil syar'i, namun justru tegak diatas ikatan nasionalisme. Faktanya seringkali jatuhnya Idul adha di Indonesia tepat pada hari pertama dari hari Tasyrik  (11 Dhulhijjah) dan bukannya pada yaumun-nahr atau hari penyembelihan kurban (10 Dhulhijjah).


Tahun ini 1 Dzulhijjah bertepatan dengan hari Jum'at 7 Juni, sedang wuquf 9 Dzulhijjah bertepatan dengan Sabtu 15 Juni yang saat ini kaum muslim yang tidak melakukan ibadah haji disunnahkan untuk berpuasa Arafah, keesokan harinya melaksanakan ibadah Idul Adha.


Khilafiyah dalam penentuan Idul Fitri boleh jadi ada, karena para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam mengamalkan satu rukyat yang sama untuk Idul Fitri. Mahzab Syafi'i menganut rukyat lokal yakni mengamalkan rukyat masing-masing negeri. Sementara mahzab Hanafi, Maliki dan Hambali menganut rukyat global dengan mengamalkan rukyat yang sama untuk seluruh kaum muslim. Definisinya adalah jika rukyat telah terjadi di suatu bagian bumi, maka rukyat itu berlaku untuk seluruh kaum muslimin sedunia, meskipun negeri tersebut tidak dapat merukyat.


Namun perbedaan pendapat atau pandangan tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Para ulama seluruh mazhab baik itu dari Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali bersepakat mengamalkan rukyat yang sama untuk Idul Adha. Rukyat yang dimaksud adalah rukyatul hilal (pengamatan bulan sabit) yang penetapan awal Dzulhijjah dilakukan oleh otoritas Amir Makkah karena terkait dari sisi dalil, kesatuan dengan manasik haji dan visi persatuan umat. Dalilnya adalah hadist otoritas Amir Makkah dalam manasik haji sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud No. 2338.


Jelas sekali Ijtihad yang berdalil dengan hadist Amir Makkah merupakan terobosan dan tidak banyak dijumpai dalam kitab-kitab mazhab yang menggunakan hadist tersebut. Secara tekstual hadist (memahami hadits berdasarkan makna atau arti) tersebut tidak menyatakan keharusan  seluruh umat muslim merujuk putusan Amir Makkah . Namun hadist tersebut mengandung penunjukan (dalalah) bahwa Amir Makkah memiliki otoritas/kekuasaan dalam pelaksanaan manasik haji, sekaligus sebagai sandaran umat muslim lainnya dalam kesatuan hari raya (penetapan Arafah dan Idul Adha).


Penetapan Dzulhijjah yang merujuk pada manasik haji merupakan cabang dari bahasa rukyatul hilal secara global yang artinya bukan menyerahkan rukyat pada penduduk Mekkah (yang artinya rukyat lokal) melainkan menyerahkan pada putusan Amir Makkah (bahasan rukyat global) dua perkara yang berbeda yakni masalah isbath dan otoritas. Sebagaimana hadits, " bahwa hari Arafah itu adalah hari yang ditetapkan oleh Imam dan hari berkurban itu adalah saat imam menyembelih kurban." ( HR. Tabrani dalam kitab Al-Ausath).


Hadist yang berasal dari Husain bin Harits al-Jadali yang menyampaikan,

" Bahwasanya Amir Makkah (Wali Makkah) berkhotbah dan menyatakan, " Rasulullah Saw memerintahkan kita agar memulai manasik (haji) berdasarkan rukyat. Apabila kita tidak melihat (rukyat)nya, sementara dua orang yang adil menyaksikan (munculnya hilal) maka kita harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang tersebut."


Jadi hadist tersebut semakin menguatkan bahwa kekuasaan Amir Makkah pada masa itu yang menetapkan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wuquf di Arafah, tawaf ifadhah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumroh dan seterusnya. Artinya, penguasa yang mempunyai otoritas/kekuasaan di kota Makkah saat ini yang berhak menentukan wuquf di Arafah (9 Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan kurban (10 Dzulhijjah) dan serangkaian manasik haji lainnya.


Jika penetapan hari wuquf di Arafah, yaumun-nahr berdasarkan keputusan Amir Makkah,  berarti kaum muslim di seluruh dunia secara serentak pada hari yang sama yaitu pada saat ketika jemaah haji tengah melakukan penyembelihan kurban pada hari ke-10 Dzulhijjah dan bukan pada awal hari Tasyrik.


Idul Adha Simbol Persatuan Umat Muslim 


Jika muslim berpegang pada dalil yang rajih (kuat), itulah yang harusnya diambil dan alangkah indahnya  dimana di bulan Dzulhijjah keberkahan mendatangkan kebaikan bagi jutaan saudara kita berkumpul di Tanah Suci, melakukan ibadah haji. Di padang Arafah, Mina dan Muzdalifah, didepan Ka'bah, antara Shafa dan Marwah, jutaan muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul. Berasal dari berbagai suku bangsa, warna kulit, dan bahasa. Mereka melakukan ketaatan total dan berserah diri kepada Allah Swt dalam ibadah haji. Demikian pun ditempat lain, miliaran kaum muslim juga berkumpul bersama merayakan Idul Adha, menunaikan shalat Ied, berkurban sambil mengumandangkan takbir hingga hari terakhir tasyrik. Persatuan dan kesatuan itu diikat karena persamaan akidah Islam. Akidah Islam inilah yang menghapus sekat-sekat perbedaan suku bangsa, warna kulit, bahasa, kasta dan status sosial, yang membuat manusia setara derajatnya di hadapan Allah Ta'ala. 


Dan bisa dibayangkan, perbedaan penentuan hari raya ini akan lenyap kalau didalam tubuh umat muslim itu sendiri tidak terpecah belah oleh ikatan nasionalisme. Tidak seperti saat ini peradaban barat yang kapitalistik telah mengeksploitasi hampir seluruh kekayaan alam di negeri-negeri muslim. Kafir Barat telah menciptakan perbudakan modern melalui neo imperialisme yang menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. 


Allah berfirman :

" Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar ma'ruf nahi mungkar dan mengimani Allah.'


Hari ini umat muslim terpinggirkan di berbagai belahan dunia, mereka hanya merasakan persatuan semu ketika melaksanakan idul Adha atau melaksanakan ibadah haji. Usai melakukan peribadatan, umat kembali bercerai berai.


Persatuan Hakiki Kaum Muslim Sedunia


Persatuan hakiki baru akan terlaksana manakala umat berada dalam satu naungan institusi politik dan pemerintahan Islam global. Itulah Khilafah Islamiah, keberadaannya telah menghilangkan  segala perbedaan yang menyebabkan umat terbelenggu dalam batas kebangsaan, warna kulit dan bahasa. Khilafah yang menjaga, mengatur, membela dan memelihara umat agar tidak terpecah belah, saling melindungi, membela kehormatan agama. Dan tidak akan satupun tanah sejengkal yang dikuasai serta dijajah pihak asing . Tidakkah kita merindukan sosok pemimpin Islam yang dapat mempersatukan seluruh umat muslim dalam penentuan hari raya? Dan itu hanya terdapat dalam sistem Islam yakni Khilafah Islamiah.

Wallahua'lam bishshawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم