Sandiwara Pilkada, Rakyat Diperdaya



Penulis: Ratnawati, SP., M.Si


Menjelang Pilkada Jabar, para parpol mulai membidik figur-figur populer untuk dicalonkan sebagai calon gubernur atau wakil gubernur. Para figur ini seringkali memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat Jabar dan bisa menjadi kunci sukses memenangkan Pilkada. Uniknya, figur populer yang akan dijaring ini bukan lagi dari kalangan artis yang seringkali dijadikan pendulang suara dalam setiap pilkada, namun popularitas para figur ini melampaui selebritis (pikiran-rakyat.com, 12/05/2024). 


Parpol Jaring Figur Populer, Suara Rakyat Diburu


Kembali suara rakyat diburu, untuk kursi panas Pilkada, dengan berbagai cara, janji manis dan popularitas. Padahal sejatinya, kontestasi ini bukanlah  untuk kepentingan rakyat, namun demi kepentingan elit oligarki. 


Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Muhammad Nur Ramadhan  menilai fenomena politik Indonesia sudah mirip bisnis di industri sepakbola, pemain ditransfer ke sana kemari. Parpol seperti agen yang menyodorkan figur tanpa berniat menjadikan si figur sebagai bagian dari ideologi mereka. Figur diusung hanya untuk meraih kekuasaan. Setelah kekuasaan berhasil diraih, si figur dibiarkan hingga bertemu kembali di pesta demokrasi berikutnya (pikiran-rakyat.com, 12/05/2024).


Inilah satu keniscayaan dalam demokrasi, berburu kedudukan sebagai penguasa. Kekuasaan menjadi sarana untuk meraih materi dan kedudukan atau prestise, sesuai dengan asas manfaat dan kepentingan. Di mana ada kepentingan, di situ target keuntungan. Di mana ada peluang berkuasa, idealisme tidak lagi dipertimbangkan.


Pilkada dalam Islam : Bersahaja dan Amanah


Dalam Islam, kekuasaan adalah suatu amanah untuk pengurusan rakyat (riayah). Mengurus dan memelihara urusan kaum muslim merupakan bagian dari kewajiban syariat Islam, yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak. 


Pentingnya kekuasaan untuk pengurusan rakyat tercermin dalam ungkapan Imam Al-Ghazali: “Sesungguhnya, dunia adalah ladang bagi akhirat. Tidaklah sempurna agama, kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan fondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki fondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.” (Ihya ‘Ulumuddin, 1/17).


Teladan terbaik mengemban amanah kekuasaan untuk pengurusan rakyat telah ada pada diri Rasulullah ﷺ, Khulafaur Rasyidin, serta para pemimpin Islam terdahulu. Orientasi politik dalam Islam bukanlah meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Kekuasaan hanyalah jalan untuk menegakkan hukum-hukum Allah Taala. Tujuan politik dalam Islam adalah menerapkan syariat Islam sebagai solusi fundamental bagi permasalahan umat manusia.


Karena niat sejak awal sudah tulus, maka Pilkada dalam Islam sederhana, cepat dan murah, efektif dan efisien. Kepala daerah (wali atau amil) dipilih oleh Khalifah. Mereka adalah perpanjangan tangan khalifah dalam meriayah rakyat, bukan penguasa tunggal daerah. 


Hikmah


Telah terbukti berulang kali bahwa sistem politik sekuler demokrasi mustahil melahirkan pemimpin amanah, karena keimanan dan ketakwaan tidak menjadi landasan dalam menjalankan amanah. Dalam sistem yang buruk, orang-orang baik akan terus dipaksakan menjadi buruk, menyitir  perkataan Mahfud MD beberapa tahun silam, “Malaikat masuk dalam sistem, bisa menjadi iblis.”


Sejatinya figur pemimpin yang baik tidaklah cukup tanpa didukung sistem yang baik. Sistem terbaik bersumber dari Zat Maha Baik, yaitu Allah Taala.


Sudah saatnya umat mengerahkan segala kemampuannya untuk memperjuangan penerapan syariat Islam secara kaffah, berupaya dengan sungguh-sungguh mendakwahkan dan membina umat agar memahami bahwa hanya Islam satu-satunya tumpuan harapan lahirnya sistem dan kepemimpinan yang amanah dan berkah, yakni Khilafah Islamiyyah alaa min hajj an nubuwah yang akan menjalankan syariat secara keseluruhan. Maasyaa Allah, allahummanshuril bil islam, wallahu a’lam bishshawab.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم