Mengubah Sebutan dari KKB Menjadi OPM apakah membuat perubahan?




Oleh: Heni Satika (Praktisi Pendidikan)

Kerusuhan yang terjadi di tanah Papua sudah berlangsung lama, antara aparat keamanan Indonesia dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Korban berjatuhan baik dari pihak TNI/POLRI atau pihak sipil. Menurut Databox sejak tahun 2022 ada 72 prajurit TNI yang meninggal, 34 perwira polisi dan ratusan rakyat sipil menjadi korban keganasan dari OPM. 
Mengapa pemerintah terkesan lambat dalam menangani kasus Papua ini. Sehingga gerakan OPM makin besar dan kuat, ini terbukti mereka bisa melakukan petisi ke PBB dan mempunyai pimpinan di luar negeri dengan tujuan menyebarkan dan menguatkan opini dunia tentang OPM dan seluruh aksinya.

Pada tanggal 5 April 2024 Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto memberikan instruksi kepada stafnya untuk kembali menggunakan istilah OPM bukan KST atau KKB. Penggantian istilah ini tentunya akan mengandung konsekuensi adanya perbedaan dalam penanganan kasus tersebut. Banyak pihak mengkhawatirkan pergantian nama tersebut terutama dari Komnas Ham. Sebagaimana dilansir dari Tempo, Sabtu 13 April 2024 Ifdhal kasim Mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, menyatakan perubahan istilah bisa meningkatkan ketegangan dan kekerasan di wilayah tersebut.
Tanggapan  berbeda datang dari Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dan Dewan Pembina Partai Golkar Abu Rizal Bakrie yang memberikan persetujuannya atas langkah yang dilakukan panglima TNI tersebut karena keamanan bangsa harus diutamakan (Viva.co,id pada Kamis, 18 April 2024)

Sebenarnya masalah di Papua bukan hanya sekedar konflik antara OPM dan Aparat Keamanan, tetapi lebih dari itu yakni adanya kesenjangan ekonomi. Menurut (LIPI) yang dilansir dari Liputan6.com setidaknya ada empat akar persoalan yang terjadi di Papua yakni adanya marginalisasi dan diskriminasi, kegagalan pembangunan, pelanggaran HAM dan persoalan status politik dan interpretasi sejarah Papua. 

Sehingga ketika pemerintah ingin menyelesaikan konflik di Papua setidaknya memberikan langkah yang tegas, efektif dan efisien. Pertama, mempertahankan wilayah Papua tetap dalam otoritas pemerintah Indonesia merupakan kewajiban bukan pilihan. Karena memisahkan diri dalam kesatuan kaum muslimin bisa menjadikan musuh makin mudah menceraiberaikan. Konsekuensinya dengan memberikan tindakan yang tegas terhadap OPM dengan memakai senjata. Karena tidak mungkin OPM yang menggunakan kekerasan lalu TNI melawan hanya dengan kata-kata. Tentu dengan teknik perang yang bisa membedakan mana anggota OPM dengan masyarakat sipil. Memberikan perlawanan terhadap OPM tentu berbeda dengan perang terhadap musuh. Perang yang dimaksud disini adalah perang untuk mendidik atau menakut-nakuti. Sehingga ketika OPM menyerah tidak boleh dilakukan pemberangusan.
Kedua mengubah pola ekonomi yang selama ini dijalankan di Papua pada khususnya dan seluruh wilayah Indonesia pada umumnya. Yakni dengan menjadi kepemilikan Sumber Daya Alam pada masyarakat dan Negara wajib mengelolanya untuk kemakmuran bangsa, bukan diserahkan pada swasta apalagi pada perusahaan asing. Sehingga keuntungan hasil pengelolaan SDA bisa untuk mensejahterakan masyarakat terutama masyarakat asal dari SDA tersebut. Hari ini rakyat Papua hidup dalam kondisi miskin dan tertinggal padahal tanahnya penuh dengan kekayaan. Siapa yang mengeruk kekayaan rakyat Papua? Tidak lain adalah segelintir penguasa yang memberikan kewenangan kepada asing seperti Freeport untuk mengambil SDA di Bumi Cenderawasih.

Ketiga, mengganti sistem yang berlaku hari ini yakni Demokrasi Kapitalisme, karena sumber dari segala masalah adalah penerapan aturan tersebut. Ketika aturan dibuat oleh segelintir orang dalam DPR/MPR yang kemudian membuat peraturan berorientasi pada materi atau hawa nafsu manusia maka mereka akan menghalalkan segala cara untuk bisa mengumpulkan kekayaan. Walaupun harus mengorbankan bangsa dan rakyatnya. Sudah banyak kasus yang terjadi hari ini ketika pejabat tidak punya hati nurani terhadap kesulitan warganya sehingga tega menilep kekayaan negeri untuk kepuasaan pribadi.

Keempat, menjadikan Agama menjadi landasan dari segala aturan di dalam pemerintahan. Masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam seharusnya menyadari bahwa Islam hadir dengan seperangkat peraturan bukan hanya masalah ibadah tetapi juga mengatur masalah muamalah dan uqubah. Sehingga akan tercipta suasana keimanan, takut terhadap Allah dan melindungi warganya tanpa memandang agama, ras dan budaya. Sebagaimana sejarah sudah membuktikan pemerintahan Islam selama ribuan tahun. Wallahu'alam bishawab.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم