Oleh : Kikin Fitriani (Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Muslimah)
Rona kebahagiaan terpancar di wajah masyarakat karena hal yang pasti ditunggu-tunggu oleh mereka menjelang lebaran adalah THR, namun seketika lenyaplah kebahagiaan itu, ketika pemerintah menetapkan besaran potongan pajak yang diterima saat pencairan THR bersama upah saat hari raya. Walhasil mereka "enggak ikhlas", mengeluh karena potongan pajak yang besar diduga lantaran PPh pasal 21 yang membuat potongan pajak membengkak dari periode sebelumnya dengan menggunakan skema tarif efektif rata-rata (TER).
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu buka suara soal kabar yang beredar bahwa penerapan metode perhitungan PPh 21 menggunakan skema tarif efektif rata-rata (TER) membuat potongan pajak pada THR menjadi lebih besar. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menegaskan bahwa skema perhitungan PPh 21 skema TER tidak akan menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak, termasuk pajak THR. Kasus wajib pajak menerima THR, sebelum menggunakan skema TER, pemberi kerja akan melakukan dua kali perhitungan dengan tarif pasal 17, yaitu PPh 21 untuk gaji dan PPh 21 untuk THR. Sementara itu dengan penerapan TER, maka pemberi kerja tinggal menjumlahkan gaji dan THR yang diterima pada bulan bersangkutan dikali tarif sesuai tabel TER. Oleh karena itu, potongan pajak pada bulan dimana karyawan mendapatkan THR memang akan lebih besar karena nominal penghasilan yang diterima lebih besar yang terdiri dari komponen gaji dan THR dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Dikutip dari Bisniscom, Kamis (28 Maret 2024).
Sistem kapitalisme memberlakukan pajak THR bagi PNS ditanggung pemerintah sedang pekerja swasta di tanggung masing-masing pekerja . THR yang didapat PNS/ASN maupun pegawai swasta sama-sama dikenakan pajak penghasilan (PPh) sesuai Pasal 21 ayat (1) UU Pajak Penghasilan (UU PPh). Hanya saja terdapat perbedaan dalam pengenaan keduanya. Untuk pegawai swasta, pajak THR-nya dikenakan kepada masing-masing individu pekerja dengan cara dipotong oleh pemberi kerja untuk kemudian disetorkan ke kas negara. Berbeda dengan PNS yang mana pajak THR-nya tidak dipotong karena tidak dibebankan kepada individu alias ditanggung pemerintah.
Pajak THR, sangat berdampak bagi masyarakat saat lebaran tiba, Karena uang THR yang diterima lebih sedikit dari ekspetasi awal. Otomatis jumlah spending di hari lebaran lebih kecil dari yang seharusnya. Efek daya beli masyarakat melemah karena alasan klasik melejitnya semua harga barang dan pangan jelang lebaran. Mahalnya lebaranpun harus ditanggung mereka seperti tradisi mudik dan ajang silaturahmi yang perlu kocek lebih untuk ongkos perjalanan dan sebagainya. Hal yang justru terjadi, lebaran lebih tampak sebagai momen sedikit memaksa berperilaku boros dan konsumtif, semua tercermin dalam sistem kapitalisme.
Memandang Dharibah (Pajak) dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, pungutan terhadap harta rakyat hanya dibenarkan jika ada dalil syar'i yang menjadi sandaran legitimasinya. Setiap pungutan harta terhadap rakyat, berapapun jumlahnya tidak sesuai syariah Islam adalah bentuk kezaliman negara pada rakyatnya.
Negara dalam Sistem Khilafah juga akan memberikan wewenang untuk mengelola harta jenis kepemilikan umum (al-milkiyatul ammah) berupa tambang yang melimpah ruah seperti hutan, laut, danau, sungai dan lembah dan segala harta yang haram bagi individu untuk memilikinya. Seperti tambang emas, batu bara, nikel, minyak, besi, uranium dan seluruh kekayaan yang terkandung didalamnya. Dalam pandangan Islam semua itu adalah hak dan aset negara yang hasilnya digunakan untuk membiayai APBN.
Paradoks dengan Sistem Kapitalis yang diemban negeri ini bahwa APBN terbesar bersumber dari hasil memalak rakyat melalui pungli alias pungutan liar (pajak). Negara hanya bertumpu pada pajak dan utang luar negeri yang merupakan praktik perekonomian khas kapitalisme. Mirisnya, hidup di negeri yang kaya meruah akan hasil SDA nya justru pos pendapatannya jumlahnya lebih kecil, sedangkan dominasi pajak pada penerimaan APBN menunjukkan dari rakyatlah yang punya andil besar dalam membiayai negara ini secara mandiri.
Pajak bukanlah yang dituntunkan oleh Rasul Saw yang dijadikan sarana untuk membiayai APBN, bahkan Rasul Saw mengharamkan pajak. Praktik pajak seperti ini diancam oleh Rasul Saw, telah diriwayatkan oleh 'Uqbah bin 'Amir bahwa ia telah mendengar Rasul Saw bersabda: "Tidak masuk surga pemungut cukai." (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Hakim)
Pajak adalah sumber pendapatan negara yang mengadopsi ideologi kapitalisme. Sedang kapitalisme ini adalah ideologi transnasional yang menindas, merusak dan menyusahkan umat manusia. Pajak ini ternyata banyak diadopsi negara-negara kafir penjajah di benua Eropa seperti Inggris, Prancis, Jerman juga AS untuk dipaksakan di negeri kaum muslimin. Sungguh ironis hasil uang pajak berupa layanan publik ternyata tidak bisa bebas dinikmati dan diakses langsung oleh rakyat, karena hampir semua dikembalikan lagi dengan kondisi pra bayar layaknya pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, kereta cepat, jalur udara dan laut dan sebagainya. Pendidikan dan kesehatan faktanya makin mahal tidak terjangkau dan hanya orang berduit yang merogoh kocek lebih.
Khilafah Membiayai APBN Tidak Dengan Memungut Pajak
Islam mempunyai solusi yang sempurna dan paripurna bagi negara dalam menetapkan sejumlah harta sebagai sumber pembiayaan APBN. Harta tersebut terkategori harta kepemilikan umum (al-milkiyatul amanah) dan harta milik negara (al-milkiyatul Daulah).
Harta tersebut terdiri dari 1. Pos kepemilikan negara berasal dari harta fai', kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, ghulul, rhikaz. Sumber-sumber tersebut merupakan sumber tetap pemasukan negara.
2. Pos pemilikan umum berasal dari harta pengelolaan alam milik umat yakni bidang minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan dan air mata air, hutan dan padang rumput gembalaan, tempat khusus yang dipagari negara dan dikuasai negara.
3.Pos zakat bersumber harta zakat kaum muslimin baik itu zakat fitrah maupun zakat maal, wakaf, infaq dan shadaqah.
Khilafah bersungguh-sungguh mengoptimalkan pendapatan dari berbagai pengelolaan SDA milik umum dan pungutan yang tidak memberatkan seperti zakat mal, jizyah, kharaj dan lainnya. Khilafah akan menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui berbagai mekanisme yakni menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan bagi laki-laki, bentuk ini adalah jaminan tidak langsung dari negara agar masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pokoknya yakni sandang, pangan, papan serta adanya jaminan kebutuhan publik yakni pendidikan, kesehatan dan keamanan. Yang dijamin langsung oleh negara sehingga masyarakat dapat menikmatinya dengan kualitas terbaik dan dapat diakses rakyat dengan harga murah.
Pajak dalam Islam dikenal dengan istilah dharibah, hanya saja praktik pemungutan dan peruntukan dharibah sangat jauh berbeda dengan pajak dalam sistem Kapitalisme Demokrasi saat ini. Dharibah merupakan salah satu sumber pos kepemilikan negara namun sifatnya tidak tetap dan insidental. Sebab dharibah hanyalah alternatif terakhir ketika kondisi kas Baitul Maal sedang menipis atau bahkan kosong sementara kewajiban negara terus berlangsung untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena kondisi genting dan insidental yang jika tidak dipenuhi segera akan menimbulkan dharar (bahaya) bagi kelangsungan hidup masyarakat seperti tanggap bencana, pembangunan infrastruktur di daerah bencana, pembangunan daerah tertinggal.
Syaikh Atha' Abu Rasytah menegaskan dalam Islam pajak tidak akan diambil kecuali pada kondisi yang wajib memenuhi dua syarat:
Pertama, diwajibkan atas Baitul Maal dan kaum muslimin sesuai dengan dalil syariat yang shahih. Kedua, di Baitul Maal tidak ada harta yang mencukupi untuk kebutuhan itu.
Seperti sabda Rasulullah Saw tentang kebolehan negara memungut pajak dengan kondisi tersebut yakni "Sedekah yang paling utama adalah sedekah dari orang kaya." (Muttafa' alaih). Dharibah hanya akan dipungut dari kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta yakni mereka yang sudah tercukupi kebutuhan mereka sendiri dan keluarga secara ma'ruf.
Daulah Khilafah adalah negara pe-riayah, bersungguh-sungguh mengurusi segala urusan rakyatnya secara totalitas hingga bukan sesuatu utopis untuk mewujudkan negara baldatun thoyyibatun wal ghofur, karena pengaturan APBN sesuai dengan syariat Islam kaffah. Tidakkah kita umat muslim merindukan kehidupan Islam hakiki dan bersama-sama memperjuangkan Islam kaffah agar segera tegak dibumi Allah.
Wallahu a'lam bi-shawab.