Utang Negara Meningkat Kondisi Negara Darurat





Oleh : Ummu Aqila


Kementerian Keuangan menyatakan bahwa utang pemerintah Indonesia pada Januari 2024 mencapai Rp 8.253 triliun, yang masih dianggap aman karena berada di bawah ambang batas 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, sejumlah ekonom mempertanyakan interpretasi ini, diantaranya   Awalil Rizky dari Bright Institute menyoroti bahwa rasio utang terhadap pendapatan negara pada 2023 telah jauh melampaui rekomendasi dari IMF dan International Debt Relief, yang menunjukkan adanya potensi risiko yang perlu diperhatikan. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (Celios), yang menekankan bahwa peningkatan defisit anggaran serta ketergantungan terhadap utang dapat menggerus likuiditas domestik. Mereka juga menyoroti dampak negatif dari penurunan pendapatan negara, terutama dari sektor pajak dan PNBP, yang dapat memperburuk situasi keuangan negara. Tempo, Kamis, 29 Februari 2024.

Hutang negara merujuk kepada jumlah uang yang dipinjam oleh pemerintah suatu negara dari berbagai sumber, baik itu dalam negeri maupun luar negeri.  Hutang negara dapat berbentuk utang ribawi dalam bentuk obligasi pemerintah yang dijual kepada investor, pinjaman dari lembaga keuangan internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) atau Bank Dunia, atau pinjaman dari negara lain.

Peminjaman ini biasanya dilakukan demgam alasan untuk mendanai pengeluaran pemerintah yang melebihi pendapatannya (defisit APBN). Selain itu juga untuk pembangunan proyek-proyek prioritas nasional seperti infrastruktur jalan tol, pelabuhan, MRT, institusi pendidikan tinggi, rumah sakit, pengembangan fasilitas kelistrikan, pertanian dan perdesaan, serta fasilitas air bersih. Pemerintah pun mengeklaim bahwa proyek-proyek pembangunan yang dibiayai melalui utang itu telah memberikan dampak positif pada masyarakat, terutama dalam menggerakkan ekonomi di daerah.

Alasan lainnya, pemanfaatan utang untuk membiayai proyek/kegiatan adalah karena cenderung memiliki output yang lebih baik melalui teknologi terkini dan sharing experience (berbagi pengalaman) yang dimiliki oleh lender (pemberi utang) khususnya dalam hal transfer teknologi bagi industri dalam negeri.

Realitas bahaya peningkatan utang ribawi tidak hanya menjadi masalah keuangan semata, tetapi juga dapat membuka pintu bagi penjajahan ekonomi yang lebih kuat. Dalam konteks globalisasi dan sistem ekonomi kapitalis yang kompetitif, utang seringkali digunakan sebagai alat untuk memperluas pengaruh suatu negara atas negara-negara lain, mengikat mereka dalam hubungan yang tidak selalu menguntungkan. Peningkatan utang seringkali terkait dengan kondisi yang menguntungkan bagi pihak-pihak asing, yang dapat mengendalikan kebijakan ekonomi suatu negara dan menjadikannya tergantung pada kepentingan luar.

Di abad ke-21, kita  menyaksikan kisah pahit Zimbabwe dan Sri Lanka yang terjebak dalam utang Tiongkok. Utang tidak membantu perekonomian negara mana pun, melainkan hanya semakin mendorong negara tersebut  ke dalam krisis. Kedua negara tersebut tidak mampu membayar utangnya kepada kreditor, namun negara lain  ragu untuk membantu karena  dipastikan tidak mampu membayar utangnya juga. Akibatnya, masyarakat terpaksa berkorban akibat krisis ekonomi. Aset badan usaha milik negara terpaksa ditahan oleh kreditur


Selain itu, menyoroti dampak sosial dan politik dari beban utang ribawi yang meningkat. Pemerintah yang terjebak dalam lingkaran utang cenderung mengalihkan sebagian besar sumber daya ke pembayaran utang dan bunga, yang dapat mengganggu alokasi dana untuk program-program penting seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Keadaan di tengah masyarakat sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa utang adalah instrumen yang akan senantiasa membuat umat menderita. Pembiayaan untuk mencukupi kebutuhan dasar semakin tinggi dan sulit terjangkau. Hal ini dapat memperburuk ketimpangan sosial dan ketidaksetaraan, serta menciptakan ketegangan politik dalam masyarakat. 

Jika sudah begini, pemerintah biasanya akan berdalih dengan angka pertumbuhan ekonomi. Namun sejujurnya, pertumbuhan ekonomi kapitalis itu hanyalah angka-angka fantasi yang sangat jauh dari realitas masyarakat akar rumput. Pertumbuhan ekonomi hanya angka rata-rata kekayaan yang dihitung dari seluruh warga di suatu negara, padahal jumlah orang kaya di negeri kita hanya segelintir di tengah jutaan orang miskin.
Oleh karena itu, tidak dapat dihindari bahwa tingkat utang yang sangat besar seperti yang dimiliki Indonesia tidak lagi layak untuk disebut aman dan terkendali. Justru bahaya besar jika para pejabat negeri ini menyatakan demikian. Meningkatnya utang Indonesia menjadi salah satu kriteria ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola negara dan mengindikasikan resesi akan segera terjadi.

Situasinya berbeda dalam sistem Islam ketika mengatur kebijakan utang negara saat krisis. Berutangnya negara sejatinya tidak perlu dilakukan, kecuali untuk perkara-perkara urgen dan jika ditangguhkan akan dikhawatirkan terjadi kerusakan dan kebinasaan. Untuk hal-hal yang bisa ditangguhkan, maka semua itu menunggu hingga negara memiliki harta. Upaya lain untuk mengatasi krisis ekonomi, semisal penarikan pajak, akan dibebankan hanya pada orang-orang kaya sifatnya terbatas.

Sistem Islam juga akan fokus untuk menyejahterakan rakyatnya, baik yang kaya, apalagi yang miskin. Fakta bahwa seseorang tidak mempunyai cukup makanan dalam sehari  sudah merupakan sinyal peringatan besar bahwa kekayaan tidak didistribusikan dengan baik. Kondisi ini harus segera menjadi perhatian oleh penguasa dalam sistem Islam. Oleh karenanya, tidak heran, indikator kesejahteraan ekonomi rakyat di negara Islam adalah terpenuhinya kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) setiap individu dalam jumlah cukup.

Islam juga memiliki sejumlah sumber APBN yang masing-masing sumber tersebut memiliki nominal yang banyak sehingga APBN aman dan bisa meminimalkan terjadinya utang luar negeri. APBN tersebut justru sangat memungkinkan kebutuhan-kebutuhan publik, seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, dan transportasi, bisa gratis karena itu wujud pelayanan negara kepada rakyatnya. Demikianlah format negara mandiri, yakni secara politik dan ekonomi tidak bergantung pada negara lain.

Islam mengharamkan privatisasi dan swastanisasi terhadap harta kepemilikan umum (Air, padang rumput, dan barang tambang) artinya kekayaan tidak boleh hannya dinikmati segelintir orang saja. Karena harta milik umum harus dinikmati semua rakyat, baik miskin maupun kaya. 

Allah Taala berfirman, ”..........supaya harta itu tidak hannya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu “(QS al -Hasyr (59):7)

“ ...Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa’ [4]: 141).

Kita harus menyadari bahwa utang luar negeri adalah cara kapitalisasi yang berbahaya bagi negeri-negeri muslim. Dengan utang itu, negara-negara kapitalis menekan dan melakukan intervensi, bahkan menduduki wilayah negeri-negeri muslim tersebut. Wallahualam Bishowab

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم