Kemiskinan Ekstrem tanpa Perlindungan Sosial


Oleh: Rika Sari

(Aktivis Pemerhati Lingkungan)


Jumlah anak di seluruh dunia yang tak memiliki akses perlindungan sosial apa pun mencapai setidaknya 1,4 miliar. Ini merupakan anak di bawah usia 16 tahun berdasarkan data dari lembaga PBB dan badan amal Inggris Save the Children. Tak adanya akses perlinsos ini membuat anak-anak lebih rentan penyakit, gizi buruk dan terpapar kemiskinan. Data tersebut dikumpulkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) dan Save the Children.


Di negara-negara berpendapatan rendah, hanya satu dari 10 anak, bahkan kurang, yang mempunyai akses terhadap tunjangan anak. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan cakupan yang dinikmati oleh anak-anak di negara-negara berpendapatan tinggi.


“Secara global, terdapat 333 juta anak yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 2,15 dolar AS (Rp33.565) per hari, dan hampir satu miliar anak hidup dalam kemiskinan multidimensi,” kata Direktur Global Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial UNICEF, Natalia Winder Rossi, dikutip dari Antara, Kamis (15/2). “Pada tingkat kemajuan saat ini, pencapaian target kemiskinan dalam tujuan pembangunan berkelanjutan masih di luar jangkauan. Ini tidak bisa diterima,” sambungnya.


Menurutnya, memperluas cakupan perlindungan sosial bagi anak-anak dalam pengentasan kemiskinan sangatlah penting, termasuk realisasi progresif manfaat anak yang universal. Lembaga-lembaga tersebut mengatakan, tunjangan anak adalah perlindungan sosial penting yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak dalam jangka panjang.


Tunjangan anak dapat diberikan dalam bentuk uang tunai atau kredit pajak, dan sangat penting untuk mengurangi kemiskinan serta mengakses layanan kesehatan, nutrisi, pendidikan berkualitas, air dan sanitasi. Pemanfaatannya juga mendukung pembangunan sosial-ekonomi, khususnya di masa krisis.


Banyak anak yang kehilangan sumber daya dan layanan dasar yang mereka perlukan untuk keluar dari kemiskinan. Oleh karena itu mereka terkena dampak jangka panjang berupa kelaparan, kekurangan gizi dan potensi yang belum terealisasi. Data menunjukkan peningkatan global yang rendah dalam akses terhadap tunjangan anak selama 14 tahun, dari 20 persen pada tahun 2009 menjadi 28,1 persen pada tahun 2023.


Namun, kemajuan yang dicapai tidak seimbang. Di negara-negara berpendapatan rendah, tingkat cakupan masih sangat rendah, yaitu sekitar 9 persen. Pada saat yang sama, 84,6 persen anak-anak di negara-negara berpendapatan tinggi telah tercakup dalam program tersebut.


Tingkat cakupan untuk anak-anak di negara-negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, adalah sepertiga lebih rendah dibandingkan di negara-negara yang tidak tergolong berisiko tinggi. Lembaga-lembaga tersebut mengatakan untuk memastikan anak-anak mendapatkan perlindungan sosial adalah kunci untuk melindungi mereka dari dampak terburuk krisis iklim.


Perincian cakupan tunjangan anak berdasarkan wilayah antara tahun 2009-2023 menunjukkan bahwa di Asia Timur dan Pasifik, cakupan tunjangan anak meningkat dari 9,2 persen pada tahun 2009 menjadi 16,0 persen pada tahun 2023.Di Afrika Timur dan Selatan, cakupan meningkat dari 9,6 persen menjadi 12,3 persen. Di Afrika Barat dan Tengah, cakupan meningkat dari 3,1 persen menjadi 11,8 persen.


Di Eropa Timur dan Asia Tengah, cakupan meningkat dari 59,0 persen menjadi 61,4 persen. Di Amerika Utara, cakupan meningkat dari 78,1 persen menjadi 84,0 persen. Di Eropa Barat, cakupan meningkat dari 91,0 persen menjadi 93,2 persen. Perbaikan yang lebih nyata terjadi pada periode yang sama di Amerika Latin dan Karibia, dimana tingkat cakupan meningkat dari 30,8 persen menjadi 41,9 persen.


Di Timur Tengah dan Afrika Utara, angkanya meningkat dari 22,7 persen menjadi 32,5 persen. Di Asia Selatan, angkanya meningkat dari 9,2 persem menjadi 24,3 persen. “Ini adalah krisis bagi hampir satu miliar anak yang tidak mendapat manfaat, dan juga bagi negara tempat mereka tinggal,” kata Direktur Departemen Perlindungan Sosial ILO Shahra Razavi.


Dalam hal ini berbagai cara strategis memang sudah dilakukan pemerintah, tetapi hingga saat ini cara tersebut tidak menunjukkan hasil sesuai harapan, bahkan dibeberapa wilayah justru mengalami kenaikan kemiskinan ekstrem, ini menunjukkan bahwa semua upaya yang dilakukan belumlah pas. Gagalnya pemerintah-pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan dan kemiskinan ekstrem adalah karena solusi yang ditempuh tidak menyentuh akar masalah.


Jika kita mengamati lebih lanjut, masalah kemiskinan ini erat dengan kesulitan ekonomi. Pada penerapan sistem ekonomi kapitalisme, sosialisme dan liberalism sekarang. Disisi lain jumlah lapangan kerja yang tidak memadai membuat para lelaki sulit mencari kerja. Kalaupun ada lapangan kerja, mayoritas untuk perempuan. Lebih miris lagi besarnya upah tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan ekonomi saat ini. 


Pemerintah memang memberikan bantuan rumah, tetapi itu hanya untuk segelintir masyarakat. Masih banyak keluarga yang tidak memiliki rumah. Kalaupun ada tempat tinggal, mayoritas kontrak atau tinggal bersama orang tua. Jadi masyarakat dengan gajinya pas-pasan harus memikirkan pengeluaran konsumsi, pendidikan, kesehatan, hingga sewa rumah. Semua kebutuhan itu jika bersandar pada kepala keluarga, jelas tidak akan cukup.


Pemerintah sendiri juga terlihat berlepas tangan dari tanggung jawabnya, seperti menyerahkan pengentasan kemiskinan pada swasta dengan program corporate social responsibility (CSR). Bahkan pemerintah hanya bisa menyulitkan masyarakat seperti omnibus law, BPJS, mengurangi atau mencabut subsidi dll.


Hanya Islam lah yang mampu menyelesaikan kemiskinan ini. Sistem Islam yang sempurna memiliki jaminan agar kemiskinan bisa diselesaikan. Beberapa hal perlu dilakukan menurut islam sebagai berikut.


Pertama, Negara menjamin terpenuhinya kebutuhan primer masyarakat. Hal itu dilakukan dengan mewajibkan laki-laki mencari nafkah untuk keluarganya. Apabila tidak bisa, kewajiban itu diserahkan pada kerabat dekat. Jika tidak ada kerabat dekat, baru akan diambil oleh Negara. Masyarakat yang kaya akan didorong untuk membantu rakyat miskin. Mereka melakukannya atas dorongan keimanan.


Kedua, Islam akan membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu individu, umum, dan Negara. Individu bebas mendapatkan harta asalkan caranya tidak melanggar hukum syara’. Kepemilikan umum, seperti SDA, akan dikelola Negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Swasta dilarang memilikinya. Kekayaan Negara akan dikelola oleh Negara untuk keperluan kenegaraan.


Ketiga, Negara wajib mendistribusikan kekayaan secara merata, seperti memberikan tanah pada siapa saja yang mampu mengelola.


Keempat, pembangunan ekonomi akan bertumpu pada sektor riil. Dengan begitu, kekayaan yang ada itu asli, bukan sesuatu yang tidak ada, tetapi diada- adakan.


Semua cara tadi hanya bisa dilakukan dalam sistem islam yang sempurna. Mustahil bisa dilakukan dalam sistem kapitalisme. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim sudah sewajarnya kita kembali pada islam yang menyeluruh. Wallahualam bishshawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم