BENARKAH THR MENYEJAHTERAKAN ABDI NEGARA?

 



Oleh: Ummu Fikri (Aktivis Muslimah Kal-Sel)


Pemerintah telah memberitahukan bahwa perangkat desa dan honorer tidak mendapatkan tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 tahun 2024 ini. Tito Karnavian selaku Menteri Dalam Negeri menjelaskan bahwa perangkat desa, termasuk kepala desa, tidak termasuk aparatur sipil negara (ASN) sebagaimana yang diatur undang-undang. Jadi, Pemerintah tidak menganggarkan THR untuk kelompok yang telah disebutkan tersebut. 


Namun, berdasarkan pengalaman sebelumnya, anggaran dari dana desa diambil agar perangkat desa menerima THR. Sehingga Tito mengatakan bahwa ketentuan tersebut akan dibahas lebih lanjut bersama asosiasi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. “Kita prinsipnya ingin menyejahterakan, tapi jangan memberatkan dana desa,” ujar Tito.

 

Azwar Anas selaku Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah mengatakan tenaga honorer juga tidak mendapatkan THR dan gaji ke-13. Kecuali tenaga honorer yang telah diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2024 yang berisi bahwa aparatur sipil negara (ASN) menerima pencairan penuh tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 pada tahun ini. (Antaranews.com,15/03/2024).


Bagi pekerja tak terkecuali para pengabdi negara, tak lengkap rasanya berlebaran tanpa THR. Sebab, THR biasanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan lebaran kepada sanak keluarganya. Bagi para ASN ataupun non ASN kehilangan THR sama halnya kehilangan makna lebaran, ketika THR tidak ada maka itu justru menambah kesulitan memberikan uang ke keluarga di kampung halaman. Apalagi bahan pangan yang harganya semakin “meroket” mengakibatkan produktivitas ekonomi memang menurun.


Kebijakan THR ini sepintas menjadi angin segar bagi para abdi negara. Secara teori, benar bahwa adanya THR ini akan menaikkan daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi semakin meningkat. Tapi kondisi seperti ini hanya bersifat sementara karena tidak berkelanjutan, hanya dalam sebulan saja mereka bisa sedikit bernafas lega. 


Keadaan ekonomi yang selalu tidak jelas ditambah kebijakan penguasa yang sering tidak memihak rakyat akhirnya membuat mereka selalu waswas bagaimana kehidupan mereka ke depannya. Kebijakan THR tidak bisa diandalkan dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi apalagi menciptakan kesejahteraan pada para abdi negara. Terlebih, kebijakan ini pun bisa menzalimi karena THR ternyata hanya diberikan kepada ASN, sementara para honorer dan perangkat desa tidak mendapatkannya. Padahal mereka juga abdi negara.


Dana THR bersumber dari APBN, maka sudah seharusnya semua abdi negara mendapatkan hal yang sama. Perbedaan tersebut menunjukkan kebijakan negara yang berat sebelah.


Meskipun Menteri Keuangan negeri ini mendapat gelar Menteri terbaik se-Asia Pasifik, nyatanya tidak mampu membawa seluruh rakyat Indonesia sejahtera. Kasus korupsi yang dilakukan jajarannya cukup keras menampar wajah Pemerintah hingga rakyat pun membully habis-habisan. Rakyat pantas marah karena selama ini merekalah yang sudah menanggung segala akibat dari bobroknya sistem mental para pejabat di semua jenjang. 


Kondisi ini merupakan konsekuensi nyata akibat sistem batil yang diterapkan penguasa. Yakni sistem sekuler kapitalisme neoliberal yang tegak di atas ‘membuang’ peran Tuhan dan menempatkan para pemilik modal sebagai prioritas utama. Sistem seperti ini hanya menempatkan penguasa menjadi pengabdi kekuatan kapital, bukan sebagai penguasa yang mengurus semua urusan rakyatnya berdasarkan iman.


Para penguasa dalam sistem ini kerap membodohi rakyat dengan narasi sesat tentang kesejahteraan dengan menggambarkan seakan-akan perekonomian rakyat “tidak parah-parah amat”  karena ekonomi terus bertumbuh, dan pembangunan pun berjalan pesat. Padahal, yang tumbuh ekonomi siapa, dan pembangunan pun untuk siapa?


Sungguh hari ini rakyat tidak butuh kereta cepat. Tidak butuh pula ibu kota negara berpindah tempat. Yang mereka butuhkan hanyalah penguasa dengan dorongan iman yang jujur menjalankan fungsi kepemimpinan, yakni sebagai pengurus dan penjaga umat. Bukan penguasa yang penuh tipu daya, serta suka menyengsarakan rakyat.


Kepemimpinan seperti ini tentu tidak mungkin lahir dari sistem yang tegak di atas paham sekuler kapitalisme neoliberal karena semua paham ini nihil dari aspek transedental, tidak mengenal tuhan dan halal-haram. Paham-paham ini sangat menuhankan akal, bahkan aturan hidup pun berstandar asas manfaat yang sifatnya nisbi dan sangat personal. Umat harus segera beralih kepada sistem yang turun dari Sang Pencipta Semesta Alam yang sebenarnya.


Hanya sistem kepemimpinan Islam yang dipastikan mampu membawa kebaikan dan kesejahteraan. Ini karena sistem tersebut tegak di atas landasan yang sahih, yakni akidah Islam. Serta memiliki seperangkat aturan yang berfungsi sebagai solusi bagi seluruh problem kehidupan manusia sesuai tujuan penciptaan.


Islam menekankan bahwa kepemimpinan adalah amanah berat. Karena itu, pemimpin dari Islam akan memiliki dorongan kuat untuk menjalankan fungsinya sebagai pengurus dan penjaga rakyat. Mereka akan memenuhi semua hak rakyat dengan jalan konsekuen menerapkan syariat Islam secara kaffah.


Masyarakat Islam hidup dalam kebaikan dan keberkahan dikarenakan sistem Islam pernah tegak selama belasan abad. Kesejahteraan dan keadilan dalam sistem kepemimpinan Islam benar-benar dirasakan oleh orang per orang, hingga orang-orang non muslim tergerak untuk hidup dalam naungan kepemimpinan Islam, bahkan ikut merasakan kenikmatan menjadi muslim.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم