Oleh: Naila Dhofarina Noor S.Pd
Di tengah kaum muslimin, ada beberapa dalil yang menjadi sandaran untuk menentukan awal puasa Ramadhan begitupun akhir Ramadhan. Diantaranya adalah:
Pertama, dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal, jika kalian tertutup (tidak melihatnya) maka genapkan hitungan Syakban tiga puluh hari.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kedua, diriwayatkan dari sekelompok orang Anshar,
غُمَّ عَلَيْنَا هِلاَلُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَاماً، فَجَاءَ رَكِبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهَدُوْا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلاَلَ بِاْلأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَفْطِرُوْا ثُمَّ يَخْرُجُوْا لِعَيْدِهِمْ مِنْ الْغَدِّ
“Hilal syawal tertutup mendung bagi kami sehingga kami berpuasa, lalu di akhir hari datang pengendara kuda dan mereka bersaksi di hadapan Nabi saw. bahwa mereka melihat hilal kemarin, maka Rasulullah saw memerintahkan mereka berbuka kemudian mereka keluar untuk melaksanakan salat Id mereka esok harinya.” (HR Ahmad)
Ketiga,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا (رواه البخاري)
“Kami adalah umat yang ummiyyah, kami tidak bisa menulis dan menghitung, satu bulan itu begini dan begitu.” (HR al-Bukhari)
Dalil pertama dan kedua adalah dalil terkait dengan rukyat untuk menentukan awal akhir Ramadhan. Dari dalil tersebut, diceritakan bahwa pada awalnya, Rasul saw. berpuasa menggenapkan hitungan karena tidak berhasil merukyat (melihat) hilal di Madinah. Ketika datang berita kepada beliau bahwa hilal terlihat di tempat lain, beliau memerintahkan berbuka sebab hari itu hari pertama Syawal. Artinya: hari raya Id dan bukan penggenapan Ramadan. Pada masa dahulu, sampainya berita rukyat dari tempat lain tidak mudah. Saat ini, dengan pesatnya teknologi informasi, ini perkara yang mudah. Setiap daerah mencari berita rukyat. Jika hilal tidak terlihat dan tidak sampai berita yang sahih bahwa hilal terlihat di tempat lain, maka hendaknya berpuasa atau berbuka. Dan jika sampai berita rukyat hilal, maka berita itu harus dijadikan sandaran sebab hadis tersebut merupakan seruan untuk semua orang “shûmû li ru`yatihi … “berpuasalah karena melihat hilal …”.
Meski demikian kita tidak berpuasa dan berbuka menurut hakikat kelahiran hilal, akan tetapi menurut rukyatnya. Begitulah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw., sebagaimana dalil yang pertama.
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِين
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup mendung maka genapkan hitungan Syakban tiga puluh.”
Kadang kala hilal Ramadan itu sudah ada, tetapi tertutup mendung sehingga tidak terlihat, maka hitungan Syakban digenapkan, sesuai nas hadis. Jadi waktu berpuasa itu ditetapkan dengan rukyat seperti yang ada di dalam dalil-dalil.
Adapun hadits ketiga terkait dengan hisab sebagai cara menentukan awal dan akhir Ramadhan. Hadis ini, meski di dalamnya ada washfun mufhimun (sifat yang bisa memberikan pemahaman) yaitu kata ummiyyah yang bisa saja membisikkan bahwa itu merupakan ‘illat yang mewajibkan beramal menurut mafhum, yakni andai bukan umat yang ummiyyah niscaya kita menggunakan hisab. Hanya saja, ini tidak benar seperti yang sudah diketahui di dalam ushul. Sebab ini adalah mafhum yang diabaikan. Karena sifat ummiyah untuk menyatakan kondisi pada galibnya. Orang arab mayoritasnya ummiy. Ditambah lagi bahwa mafhum tersebut telah dibatalkan oleh nas yaitu hadis,
فإن غُمَّ عليكم فأكملوا العدّة ثلاثين (البخاري)
“Jika kalian tertutup mendung, maka genapkanlah hitungan tiga puluh.” (HR al-Bukhari)
Berbeda dengan sholat, yang mana ditentukan dengan teralisasinya waktu,
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir.” (QS al-Isra’ [17]: 78)
إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا
“Jika matahari tergelincir maka salatlah kalian.”
Seandainya waktu berpuasa seperti halnya waktu salat yakni tidak disyaratkan dengan rukyat, niscaya penetapan waktu menggunakan hisab adalah benar. Akan tetapi, dalil-dalil puasa datang bersandar pada rukyat, sedangkan dalil-dalil salat datang dengan pencapaian waktu tanpa mensyaratkan rukyat.
Hisab astronomis bisa menentukan lahirnya hilal maka itu benar. Adapun bahwa hisab astronomis bisa menentukan kemungkinan rukyatnya maka itu tidak tepat. Sebab para astronom berbeda pendapat dalam menentukan kadar waktu yang terjadinya kelahiran hilal sehingga terlihat setelah tenggelam matahari.
Tentang puasa sebagian muslim yang menggunakan hisab astronomis, maka puasa itu sah pada hari-hari yang dihitung bagian dari Ramadan sesuai rukyat. Jika terlewat satu hari dari Ramadan sesuai rukyat maka dimintai pertanggungjawaban atasnya dan mengqadanya.
Kesatuan Penentuan Hilal
Selanjutnya, permasalahan letak geografis dan posisi bulan yang tidak sama untuk wilayah yang berbeda. Hal tersebut menyebabkan tidak terlihatnya hilal pada bagian bumi tertentu. Sedangkan di daerah lain hilal sudah muncul dan ada orang yang menyaksikannya.
Dalam ilmu fiqh dikenal istilah mathla’ yaitu wilayah munculnya hilal. Menurut pendapat Madzhab Syafii, hilal yang terlihat pada salah satu negeri yang berdekatan jaraknya berlaku juga untuk negeri lainnya sekalipun di sana tidak nampak hilal. Karenanya, penduduk di negeri-negeri yang berdekatan tersebut (satu mathla’) wajib berpuasa (mengikuti rukyat negeri tetangganya). (an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz VI/245).
Sementara untuk Negeri yang berjauhan, terdapat dua pendapat:
(1) Bagi penduduk negeri lain tadi tidak wajib berpuasa, didasarkan pada hadits Kuraib tentang sikap dan pernyataan Ibn ‘Abbas, dimana beliau tidak mengikuti rukyat penduduk Syam, yang disampaikan Kuraib, sebaliknya menyatakan, “Beginilah kami diperintahkan oleh Nabi.” Sejatinya, sikap Ibn ‘Abbas ini adalah ijtihad beliau. Ini adalah mazhab Ibn ‘Abbas, atau Mazhab Sahabat. Dilihat dari posisinya, mazhab sahabat bukanlah dalil sehingga tidak bisa dijadikan argument hukum.
Selain itu, ada keumuman hadis Rasulullah saw yang memerintahkan untuk memulai puasa Ramadhan ketika sudah melihat hilal: “Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berhari rayalah karena melihatnya..”(HR.Bukhari dan Muslim). Khithab ‘am ini menunjukkan bahwa perintah mulai puasa berlaku umum meliputi seluruh kaum Muslim, tanpa sekat negeri, pulau atau jarak qashar.
(2) Wajib berpuasa walau hilal terlihat di negeri yang berbeda dan berjauhan jaraknya. Ini pendapat as-Shaimiri, al-Qadhi Abu Thayyib, ad-Darimi, Abu ‘Ali as-Sanji, dll. Al-Marwardi berkata, “Karena kewajiban puasa. Ramadhan tidak berbeda, karena perbedaan negeri..”(Lihat, an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz VI/245)
Demikian juga pendapat mazhab Maliki, kesaksian seseorang atas terlihatnya hilal mewajibkan semua penduduk muslim di negeri itu mengikuti rukyat tersebut. Adapun Ibn al-Majisyun berpendapat, “Kesaksian rukyat itu hanya mengikat penduduk yang menjadi tempat di mana kesaksian itu berada, kecuali jika Imam a’dham (Khalifah) menetapkannya, maka semua manusia wajib terikat, karena negeri ini bagi Khalifah adalah satu negeri. Karena keputusannya harus dijalankan oleh semuanya (Lihat, ‘Aun al-Ma’bud, juz VI/453).
Kesatuan hilal untuk seluruh belahan dunia sekalipun berbeda mathla’merujuk pada keumuman perintah Rasulullah saw untuk melihat hilal. Demikian juga berdasarkan kesesuaiannya dengan hadits yang dikeluarkan oleh Ahmad di dalam Musnad-nya dari Abu Umair bin Anas, telah menceritakan kepadaku bibi-bibiku dari kalangan kaum Anshar dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah saw, Beliau bersabda:
«غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَاماً فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ r أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ r (أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ)»
“Hilal Syawal tertutup mendung bagi kami maka kami pagi harinya berpuasa. Lalu datang para penunggang pada ujung siang, lalu mereka bersaksi di hadapan Rasulullah saw bahwa mereka melihat hilal kemarin, maka Rasulullah saw memerintahkan agar mereka berbuka hari itu dan keluar untuk (shalat) ‘Id mereka besoknya”.
Tanpa keberadaan pemimpin yang menyatukan, perbedaan ini dianggap suatu yang wajar sebagai pilihan pribadi. Akan berbeda kondisinya ketika pemerintahan Islam telah hadir dengan dipimpin seorang khalifah. Pada dasarnya khalifah tidak menetapkan hukum berkaitan ibadah mahdoh, seperti jumlah rakaat tarawih. Namun demi kesatuan umat dan persatuan negara, Khalifah akan mengadopsi beberapa hukum ibadah, seperti penentuan waktu ibadah haji, penentuan awal Ramadhan, dan penentuan Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun penetapan hukum yang dipilih harus berdasarkan kekuatan dalilnya seperti pendapat jumhur ulama yang mewajibkan penggunaan ru’yatul hilal yang diberlakukan di seluruh dunia sebagaimana dalam kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/610 dan Taujih al-Anzhar li Tauhid al-Muslimin fi al-Shaum wa al-Ifthar, hal.19.[]