Suhu Kandang Terlalu Panas Bisa Memicu Kanibalisme _Pitik_, Akankah Suhu Politik Terlalu Panas Jelang Pemilu Memicu Kanibalisme Politik?



Oleh: Endah Sulistiowati, Tri Widodo _bukan_ Joko & A. M. Pamboedi


_Pitik_ atau ayam merupakan hewan yang peka terhadap perubahan suhu. Jika kandang terlalu panas, stres dapat muncul diantara pitik, memicu perilaku kanibalisme sebagai reaksi terhadap ketidaknyamanan dan kecemasan. Suhu kandang yang nyaman yaitu 25-28 derajat Celcius.


Kanibal adalah kebiasaan ayam yang saling mematuk dan bahkan memakan telurnya sendiri. Kanibalisme biasanya ditandai dengan adanya luka-luka pada tubuh ayam dan seringkali ditemukan ada ayam yang lumpuh. Penyebab terjadinya kanibalisme antara lain suhu kandang yang terlalu panas.


Pemilu merupakan momen pertarungan merebut kekuasaan dalam sistem demokrasi. Suhu politik jelang Pemilu 2024 di Indonesia saat ini semakin memanas. Terlebih setelah Presiden Jokowi memberikan pernyataan soal keberpihakan dalam pemilu dan pemilihan presiden (pilpres). Pemilu dengan suhu politik yang terlalu panas dikhawatirkan bisa melahirkan kanibalisme politik.


Kanibalisme politik adalah praktik saling memangsa di antara aktor-aktor politik dalam perebutan sumber daya ekonomi-politik, untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan atau pertarungan merebut kekuasaan. Perilaku saling memangsa di antara aktor-aktor politik ini sebenarnya mencerminkan mentalitas purba dan naluri primitif. Kanibalisme politik dalam konteks pertarungan dan perburuan kekuasaan selalu bersifat nihilistik dengan prinsip _zero sum game_. Bagi pihak yang punya kuasa, mereka akan memangsa habis apa pun/siapa pun tanpa meninggalkan sisa.


Pada dasarnya kesejahteraan dan kestabilan suatu lingkungan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku makhluk hidup di dalamnya. Seperti halnya kandang yang terlalu panas dapat memicu perilaku kanibalisme pada pitik, pertanyaan muncul: akankah suhu politik yang terlalu panas jelang pemilu memicu kanibalisme politik?


Dari pendahuluan singkat di atas, mari kita tinjau kemungkinan paralel antara suhu panas di kandang dan suhu politik dengan mengajukan beberapa permasalahan yang hendak dibahas dan dijadikan bahan diskusi pada kesempatan ini, di antaranya sebagai berikut:


1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan suhu politik terlalu panas jelang pemilu sehingga bisa memicu kanibalisme politik?


2. Dampak apa saja yang bisa ditimbulkan dari suhu politik yang terlalu panas jelang pemilu sehingga bisa memicu kanibalisme politik?


3. Bagaimana strategi Islam meredam suhu politik supaya tidak terlalu panas sehingga tidak terjadi kanibalisme politik?


Faktor-Faktor yang Menyebabkan Suhu Politik Terlalu Panas Jelang Pemilu Sehingga Bisa Memicu Kanibalisme Politik


Merasa seram, bergidik, begitulah ketika baru sekedar mendengar kata kanibal-isme. Kanibalisme merupakan sebuah fenomena di mana satu makhluk hidup makan makhluk sejenis lainnya.


Dikutip dari laman wikipedia, secara etimologis, kata “kanibal” adalah kumpulan kata Belanda yang diambil dari bahasa Spanyol; _canibal_ berarti orang-orang dari Karibia. Fenomena ini ditemukan oleh penjelajah di daerah ini.


Dalam catatan sejarah, manusia yang saling makan daging sesamanya itu bisa merupakan bagian dari perang untuk mendapatkan kekuatan musuh, atau alat menakut-nakuti lawan, dendam membara, ataupun karena kehabisan bahan makanan. Kanibalisme pernah terjadi hampir di seluruh benua pada peradaban manusia, bahkan tak terkecuali di Indonesia.


Pada sisi kesehatan, fakta pilu tentang kanibalisme sendiri adalah dapat menyebabkan merebaknya wabah penyakit. Di Papua Nugini di antara suku Fore, kanibalisme menimbulkan penyakit kuru.


Diduga wabah dimulai ketika terdapat warga yang memiliki penyakit _Creutzfeldt-Jacob_ meninggal. Ketika masyarakat memakan otaknya, mereka terjangkit penyakit, dan kemudian menyebar ke warga lain yang memakan otak mereka.


Meskipun masyarakat Fore berhenti mengonsumsi daging manusia pada tahun 1960-an, ketika terdapat dugaan penularan karena kanibalisme, penyakit kuru belum hilang karena masa inkubasi yang lama, dari 10 hingga 50 tahun. Wabah menurun dengan drastis setelah masyarakat menghentikan kanibalisme, dari 200 kematian per tahun pada 1957 menjadi tidak ada kematian pada 2010 dan seterusnya, dengan perdebatan apakah pasien kuru terakhir meninggal pada tahun 2005 atau 2009.


Tentu kita juga pernah membaca sejarah seorang Hindun binti Uthbah bin Robi’ah. Jauh sebelum ia mendapat hidayah, sebelum menganut ajaran Islam yang mulia, kisah penuh kegelapan menyelimuti perjalanan hidupnya.


Dalam kehidupan rumah tangganya, ia merupakan istri dari Abu Sufyan ibn Harb yang cukup berkuasa di Mekah. Mereka dulunya sama-sama sangat menentang ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Hindun terkenal sebagai wanita yang ambisius nan sombong.


Dikisahkan, Hindun binti Uthbah memiliki dendam kepada Hamzah bin Abdul Muthalib karena telah membunuh ayah dan sanak saudaranya saat Perang Badar. Dendam yang begitu dalam inilah yang mengubahnya menjadi perempuan yang jahat. Hindun yang telah dikuasai oleh amarah, bersama dengan suaminya, tepat pada Perang Uhud niatnya untuk membunuh Hamzah pun terlaksana.


Dia menyuruh budak yang bernama Wahsyi untuk membunuh Hamzah dengan dijanjikan kebebasan bila hal itu berhasil. Hindun didampingi suaminya memimpin barisan kaum musyrikin untuk menghadapi kaum Muslimin.


Ketika Wahsyi berjaya membunuh Hamzah, datanglah Hindun dan menganiaya jenazah mujahid itu. Dirobeknya lah perut Hamzah yang sudah tak bernyawa. Dikeluarkannya jantung Singa Allah itu dan dikunyah dengan giginya. Namun, dia tak bisa menelannya. Selain itu, Hindun bahkan mengambil hidung dan telinganya dan dijadikan sebagai kalung. Hingga ia jugalah wanita yang dikenal dengan julukan 'Akilatul Kidbah' atau si pemakan jantung.


Namun, setelah Hindun memeluk Islam, namanya tercatat dalam sejarah karena memiliki peran besar dalam perkembangan Islam. Anaknya, Muawiyah bin Abu Sufyan, sangat dikenal dalam sejarah Islam sebagai penggagas Dinasti Umayyah. Dia juga pernah berkata, "Ibuku adalah wanita yang sangat berbahaya di zaman Jahiliyah, tetapi di dalam Islam, beliau menjadi seorang wanita yang mulia dan baik."


Pada dasarnya, kita sebagai manusia, didesain oleh Allah Yang Maha Pencipta sebagai salah satu makhluk omnivora dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Omnivora sendiri dari bahasa Latin: omne yang berarti semua/semuanya; dan vorare yang berarti melahap. Jadi, Omnivora berarti pemakan segalanya. Tetapi ada sebuah nilai dari ajaran hidup kita yakni cahaya islam, mengajarkan bahwa meskipun kita tercipta sebagai makhluk omnivora, tidaklah patut untuk merusak kualitas _ahsani taqwiim_ tersebut. Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk senantiasa menjaga kesehatan jiwa dan raga dari mengonsumsi makanan-makanan yang tidak berkualitas bahkan bisa menjatuhkan martabatnya, termasuk melarang kanibalisme.


Kembali pada pembahasan diskusi, istilah kanibalisme menjadi meluas, tidak hanya sebuah proses manusia memangsa dan memakan daging sesama manusia, ayam mematuk dan bahkan memakan daging ayam lainnya saja atau secara umum, hewan yang memakan bagian individu dari spesies yang sama. Tetapi kanibalisme dapat terjadi pada peristiwa politik praktis.


Kanibalisme politik dalam arti sempit dapat dimaknai sebagai praktik saling berebut sumber daya diantara pelaku politik yang terjadi di lingkungan internal masing-masing kelompok. Rebutan sumber daya dimaksud adalah suara yang dimiliki oleh para pemilih. Terdapat seorang politisi yang berusaha mengambil suara politisi lain yang notabene merupakan teman sendiri di satu partai.


Dalam arti luas, Amich Alhumami (Alhumami, 2014) seorang antropolog, peneliti senior lembaga studi pengembangan etika usaha (LSPEU) Indonesia, menyatakan kanibalisme politik adalah praktik saling memangsa di antara aktor-aktor politik dalam perebutan sumber daya ekonomi-politik, untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan atau pertarungan merebut kekuasaan.


Kanibalisme politik memang sudah sering terjadi dalam praktik demokrasi di negara ini. Saling jegal, saling menjatuhkan dalam persaingan di laga-laga politik, baik antar pihak yang memang berbeda ideologi atau asas dasarnya, berbeda tujuan/orientasinya, bahkan bisa juga terjadi di dalam kubu pihak sendiri.


Perilaku saling memangsa di antara aktor-aktor politik ini mencerminkan mentalitas purba dan naluri primitif, merujuk doktrin kuno yang dipopulerkan oleh ahli filsafat sosial Herbert Marcuse: homo homini lupus (man is a wolf to man)—manusia adalah serigala pemangsa manusia lain. Ungkapan ini menggambarkan bahwa dalam peradaban pri-mitif, manusia acap memakan—dalam pengertian harfiah—manusia lain, yang dikenal dengan tradisi kanibalisme. Dalam konteks peradaban modern, pertarungan merebut kekuasaan melahirkan kanibalisme politik dalam wujud korupsi di kalangan pemangku kekuasaan. 


Kanibalisme politik jelas bertentangan dengan civic morality, yang menjadi basis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang beradab. Penting dicatat, kanibalisme politik dalam konteks pertarungan dan perburuan kekuasaan selalu bersifat nihilistik dengan prinsip zero sum game.


Bagi pihak yang punya kuasa, mereka akan memangsa habis apa pun/siapa pun tanpa meninggalkan sisa. Skandal korupsi di Mahkamah Konstitusi (MK) yang melibatkan Hakim Konstitusi Akil Mochtar, Tubagus Chaeri Wardhana, Chairunnisa, dan Ratu Atut Chosyiah adalah contoh sempurna praktik kanibalisme politik. Betapa tidak, mereka berempat adalah aktor-aktor politik yang memangku jabatan publik pada cabang kekuasaan yang berbeda: eksekutif, legislatif, yudikatif, namun berafiliasi dengan sebuah partai politik yang sama. Praktik kanibalisme politik dalam skandal korupsi di MK tampak nyata ketika Akil Mochtar 'memperdagangkan' vonis MK kepada pihak-pihak yang beperkara dalam sengketa pilkada ketika itu.


Di lain sisi, perdebatan mengenai sistem pemilu yang berlaku di Indonesia masih senantiasa terjadi di setiap revisi UU Pemilu. Yaitu pada pasal mengenai sistem proporsional terbuka (terdapat pada pasal 168 ayat 2 UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu). Sebagian pihak lain, menginginkan kembali kepada sistem proporsional tertutup.


Perdebatan tersebut juga sampai diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2023 lalu untuk diuji. Namun, akhirnya di dalam amar Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022, dalam pokok permohonan, MK menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Dengan ditolaknya permohonan ini, maka pemilu anggota DPR dan DPRD 2024 tetap menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka.


Kelebihan dari sistem proporsional terbuka, masyarakat pemilih memiliki kebebasan langsung untuk memilih calon anggota legislatif (calon yang telah ditentukan oleh sebuah partai politik tertentu tanpa terikat pada urutan daftar calon yang telah ditetapkan oleh partai tersebut) yang mereka anggap paling mewakili kepentingan dan aspirasi mereka. Kelebihan lainnya adalah pemilih dapat berpartisipasi langsung dalam mengawasi wakilnya di lembaga perwakilan.


Sebaliknya, sistem proporsional dengan daftar terbuka juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain, sistem ini memberikan peluang terjadinya politik uang (money politics). Kandidat/caleg yang memiliki sumber daya finansial yang besar dapat memanfaatkannya untuk memengaruhi pemilih. Di sinilah besar kemungkinan terjadinya kanibalisme politik tersebut. Selanjutnya, sistem proporsional dengan daftar terbuka mengharuskan modal politik yang besar untuk proses pencalonan.


Hal ini senada dengan pernyataan Presiden Jokowi pada Pembukaan Rakernas Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), di Medan, Sumatera Utara, Sabtu (19/8/2023). Ia menilai situasi di tahun politik sudah cenderung menghangat, bahkan sudah saling memanasi antar kawan sendiri jelang Pemilu 2024.


Tak kalah krusial juga, ketidak harmonisan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ketentuan pengajuan calon pasangan presiden dan wakil presiden oleh segelintir kepentingan dan otoritas (gabungan) partai politik masih terjadi dan berpotensi menimbulkan konflik serta perdebatan yang tidak ada ujungnya. Betapa ironisnya dengan semangat demokratisasi pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, ketika dari beberapa kali gelaran momen pilpres yang telah dilaksanakan mulai 2014-2024, terlihat ada beberapa pasangan calon presiden dan calon wakilnya yang salah seorang diantaranya justru masih merupakan pejabat aktif dari kepala/wakil kepala daerah terpilih melalui proses pilkada secara langsung oleh masyarakat di daerah pemilihannya tersebut. Bukankah justru sebuah tindakan kanibalisme politik juga, yakni memangsa pemberian amanat/suara masyarakat daerah tersebut kepadanya yang dilakukan oleh (gabungan) parpol pengusungnya itu?


Contoh nyata yang menarik dan peristiwa terbaru, yakni usulan atau pengusungan walikota aktif Surakarta Gibran Rakabuming Raka (periode 2021-2024) sebagai cawapres Prabowo Subianto yang juga diketahui sebagai seorang pejabat negara, yakni Menteri Pertahanan RI oleh gabungan beberapa parpol yang bernama Koalisi Indonesia Maju, antara lain: Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, Prima, Garuda, Gelora, dan PSI. Perjalanan menjadi walikota Surakarta, kala itu secara resmi, Gibran diusulkan oleh PDIP yang merupakan parpol terkuat atau terbanyak meraih kursi di DPRD Kota Surakarta (24 kursi dari 45 kursi yang tersedia pada periode legislatif 2014-2019 dan 30 kursi dari 45 kursi yang tersedia pada periode legislatif 2019-2024).


Sementara itu, perolehan kursi dari gabungan partai Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, Prima, Garuda, Gelora, dan PSI sendiri di DPRD Kota Surakarta dari hasil pemilu DPRD Kota/Kabupaten 2019-2024, berurutan sebagai berikut: 3 kursi, 3 kursi, 3 kursi, 0 kursi, 0 kursi, 0 kursi, 0 kursi, 0 kursi, dan 1 kursi. Hanya 1/3 dari perolehan kursi PDIP.


Nampak jelas, meskipun gabungan koalisi tersebut kecil atau hanya segelintir saja di tingkat daerah Surakarta khususnya, namun bagi pihak yang punya kuasa, mereka akan memangsa habis apa pun/siapa pun tanpa meninggalkan sisa hanya untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Siapa pihak yang punya kuasa pada kasus ini? Tentulah Presiden Joko Widodo yang sekaligus ayahanda dari Gibran Rakabuming Raka.


Ternyata, tak hanya _pitik_ saja yang peka terhadap perubahan suhu. Jika kandangnya terlalu panas, stres dapat muncul diantara _pitik_, memicu perilaku kanibalisme sebagai reaksi terhadap ketidaknyamanan dan kecemasan.


Kandidat/caleg yang sedang berkompetisi berebut suara di Pemilu 2024, pun juga peka terhadap perubahan suhu politik baik di dalam 'kandang'nya sendiri maupun suhu di 'lingkungan sekitarnya'. Praktik saling memangsa di antara aktor-aktor politik dalam perebutan sumber daya ekonomi-politik, untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan atau pertarungan merebut kekuasaan sudah terasa jauh-jauh hari. Terlihat saling mematuk, menyikut dan bahkan sampai ada yang pindah atau malah mendirikan 'kandang' yang baru (parpol baru).


Dampak yang Bisa Ditimbulkan dari Suhu Politik Terlalu Panas Jelang Pemilu Sehingga Bisa Memicu Kanibalisme Politik


_Pitik_ adalah hewan domestik yang rentan terhadap perubahan lingkungan, terutama suhu kandang. Suhu yang terlalu panas dapat menimbulkan dampak negatif pada kesejahteraan _pitik_, bahkan mencapai tingkat yang mengkhawatirkan seperti kanibalisme. 


Suhu kandang yang terlalu panas dapat menyebabkan stres pada _pitik_. Stres dapat mengakibatkan penurunan produksi, pertumbuhan yang tidak normal, dan bahkan perilaku kanibalisme sebagai respons terhadap tekanan lingkungan yang tinggi.


Perilaku kanibalisme dapat muncul sebagai bentuk respons _pitik_ terhadap stres yang berlebihan. _Pitik_ yang merasa tidak nyaman atau tertekan oleh panas dapat mulai menyerang pitik lainnya, yang dapat menyebabkan cedera serius atau kematian. 


Dalam konteks pemeliharaan _pitik_, suhu kandang yang terlalu panas bukan hanya menjadi ancaman terhadap produktivitas, tetapi juga dapat memicu perilaku kanibalisme yang merugikan.


Seperti telah dipaparkan pada poin A pembahasan di atas, suhu politik yang terlalu panas ternyata dapat menciptakan stres dan ketidaknyamanan di antara para pemangku kepentingan politik. Persaingan yang ketat, retorika keras, dan polarisasi dapat menjadi faktor-faktor pemicu ketegangan yang mirip dengan suhu panas di kandang _pitik_.


Jelang pemilu, suhu politik cenderung meningkat seiring dengan intensitas persaingan dan polarisasi antara berbagai pihak. Dalam atmosfer yang terlalu panas ini, terdapat potensi dampak negatif yang signifikan, bahkan dapat mencapai tingkat yang disebut sebagai "kanibalisme politik." 


Beberapa dampak yang bisa ditimbulkan dari suhu politik yang terlalu panas menjelang pemilu, yang pada akhirnya dapat memicu kanibalisme politik antara lain:


1. Peningkatan Ketegangan Sosial


Suhu politik yang sangat panas dapat menyebabkan peningkatan ketegangan sosial di antara pendukung berbagai pihak politik. Perpecahan dalam masyarakat bisa semakin dalam, menciptakan pemisahan yang sulit untuk dipulihkan.


Pertanda dugaan kecurangan dalam pemilihan umum, seperti yang tengah terjadi, telah mencuat. Beberapa pengamat menyuarakan keprihatinan bahwa gejolak ini berpotensi memicu ketegangan yang berujung pada konflik di tengah masyarakat.


Dampak dari saling menyerang dengan memanfaatkan isu-isu identitas sebagai salah satu elemen non-elektoral untuk mendapatkan dukungan dan memenangkan kontestasi, ternyata telah menciptakan kekacauan dan pertengkaran di kalangan masyarakat, baik dalam dunia digital maupun kehidupan sehari-hari. Dampaknya tampak dalam banyak kasus di mana anggota keluarga atau tetangga terlibat dalam pertengkaran karena perbedaan dukungan dan pilihan politik. Penyebaran isu-isu identitas yang dimanfaatkan dan berdampak pada persepsi serta perilaku pemilih dari kedua belah pihak ini akhirnya menyebabkan masyarakat Indonesia menghadapi situasi polarisasi sosial-politik di berbagai wilayah.


2. Melemahnya Kepercayaan Publik


Persaingan politik yang agresif dan penuh ketegangan dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses demokratis. Keputusan yang diambil mungkin dipandang dengan skeptisisme, dan keyakinan pada integritas sistem politik bisa terkikis.


Pada hari Minggu, 10 Desember 2023, Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkapkan bahwa terdapat peluang kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu. Temuan ini berdasarkan hasil survei LSI, yang mencatat bahwa sekitar 50,2% dari masyarakat menilai bahwa terdapat potensi kecurangan pada Pemilu 2024.


3. Penurunan Partisipasi Pemilih


Suhu politik yang terlalu panas dapat membuat masyarakat menjadi apatis atau merasa putus asa terhadap proses pemilihan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan partisipasi pemilih, yang berpotensi merugikan legitimasi hasil pemilu.


Devi Darmawan, seorang pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), memproyeksikan tingkat golongan putih (golput) dalam Pemilu 2024 diperkirakan berada dalam rentang 18%-20%, setara dengan perolehan suara peringkat ketiga calon presiden dan wakil presiden. Prediksi ini muncul seiring pelaksanaan pemilu yang diliputi tuduhan kecurangan, yang berdampak pada penurunan kepercayaan terhadap institusi demokrasi, termasuk partai politik dan aparat hukum. Faktor lain yang memengaruhi kecenderungan golput adalah dominasi strategi politik yang bersifat hiburan dibandingkan dengan adu gagasan, yang dapat memengaruhi perilaku pemilih, khususnya pemilih muda, untuk memilih golput.


4. Tindakan Kekerasan Politik


Dalam situasi ekstrem, suhu politik yang sangat tinggi dapat memicu tindakan kekerasan politik. Pergesekan fisik, kerusuhan, atau ancaman terhadap lawan politik dapat muncul sebagai dampak dari ketegangan yang berlebihan.


Pemilik akun yang diduga mengancam calon presiden nomor urut 1, Anies R Baswedan, di kolom komentar Instagram sedang menjalani pemeriksaan oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Timur. Pelaku pengancaman penembakan secara sukarela menyerahkan diri ke Polda Kalimantan Timur pada tanggal 13 Januari 2024.


Pelaku yang mengancam dengan penembakan terhadap Anies Baswedan juga telah ditangkap oleh Bareskrim Polri di Jember, Jawa Timur. Ancaman penembakan tersebut dialamatkan kepada Anies Baswedan ketika ia melakukan siaran langsung melalui akun TikTok pribadinya. Saat Anies sedang berbagi momen rutinnya sebagai calon presiden, muncul ancaman ditembak dari salah satu akun di kolom komentar secara daring.


5. Kerugian Ekonomi


Ketidakpastian politik yang tinggi dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Investor mungkin enggan untuk berinvestasi, dan kondisi bisnis bisa terpengaruh, mengakibatkan kerugian ekonomi yang signifikan.


Perekonomian Indonesia pada tahun 2024 berada dalam situasi yang tidak pasti. Hal ini disebabkan oleh tekanan ekonomi global yang signifikan, di mana belanja fiskal untuk merangsang pertumbuhan ekonomi cenderung minim.


Selain itu, adanya alokasi anggaran untuk Pemilu atau Pilpres 2024 juga menjadi faktor yang membatasi. Hasil dari pemilihan tersebut memiliki potensi untuk menambah tingkat ketidakpastian politik yang dapat berdampak negatif pada ekonomi Indonesia. Situasi ini dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap Indonesia dan menimbulkan risiko-risiko tambahan.


6. Perpecahan dalam Kepemimpinan


Suhu politik yang terlalu panas dapat menciptakan perpecahan di antara para pemimpin politik. Ini bisa mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk membuat keputusan yang efektif dan merumitkan proses legislatif.


Sebelumnya, Presiden Jokowi menegaskan bahwa seorang presiden dapat mendukung dan berpartisipasi dalam kampanye pemilihan presiden asalkan mematuhi aturan waktu kampanye dan tidak menggunakan fasilitas negara. Jokowi menyatakan bahwa seorang presiden tidak hanya memiliki status sebagai pejabat publik, tetapi juga sebagai pejabat politik. Hal ini menimbulkan perdebatan mengenai etika politik disamping aturan politik.


Berikutnya Mahfud MD, yang juga mencalonkan diri sebagai wakil presiden nomor urut tiga, mengumumkan pengunduran dirinya dari kabinet Presiden Joko Widodo pada Kamis (1/2/2024). Pada hari yang sama, seorang pejabat senior dari Kantor Staf Presiden juga mengundurkan diri, dan ada spekulasi mengenai suasana 'tidak nyaman' di dalam Istana menjelang Pemilihan Presiden 2024. Kabar tentang kemungkinan Sri Mulyani keluar bahkan menyebabkan depresiasi rupiah pekan lalu, memaksa bank sentral untuk ikut campur di pasar mata uang.


Pada Sabtu (3/2/2024) Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, menghadiri kampanye besar Ganjar Pranowo-Mahfud Md di Gelora Bung Karno bersama dengan Plt Ketua Umum PPP, M. Mardiono, Ketua Umum Perindo, Hary Tanoesoedibjo, dan Ketua Umum Partai Hanura, Osman Sapta. Sejumlah menteri dari PDIP juga mendampingi. Tentu saja ketua partai politik dan Menteri dari partai yang mendukung capres-cawapres lain pun ikut kampanye serupa. Hal ini tentu saja membuat terjadinya perpecahan dalam kepemimpinan.


7. Kekuatan Politik yang Dipolarisasi


Polarisasi yang tinggi dalam suhu politik dapat menciptakan kedua kutub politik yang sangat kuat dan saling bersaing. Hal ini dapat menghambat kemampuan untuk mencapai konsensus dan merugikan semangat kerja sama.


Polarisasi politik tetap menjadi kekhawatiran masyarakat seiring mendekatnya Pemilu 2024. Perhatian publik tertuju pada perilaku elit politik yang cenderung memecah belah masyarakat. Polarisasi politik sering kali dipicu oleh tindakan provokatif para politisi, yang semakin diperparah oleh fanatisme politik yang berlebihan.


8. Menurunnya Kualitas Diskusi Publik


Dalam suasana politik yang panas, diskusi publik seringkali lebih didominasi oleh retorika yang emosional dan serangan personal daripada pada substansi dan ide-ide konkret. Ini dapat menurunkan kualitas debat publik.


Pelaksanaan Debat Pilpres 2024 mendapat kritik dari beberapa pihak, terutama terkait dengan ketidakefektifan teknis debat dalam memberikan informasi substansial kepada pemilih. Beberapa kelemahan yang diidentifikasi dalam pelaksanaan Debat Pilpres 2024 meliputi masih diterimanya gimmick politik dalam sesi-sesi debat, ketidakpatuhan terhadap etika debat, sistem debat yang cenderung satu arah, belum optimalnya peran pakar dalam memberikan analisis terhadap program-program dari Capres-Cawapres, dan kekurangan dalam regulasi teknis pelaksanaan Debat Pilpres.


Strategi Islam Meredam Suhu Politik Supaya Tidak Terlalu Panas Dan Tidak Terjadi Kanibalisme Politik


Dalam negara dengan sistem kapitalis, kanibalisme sepertinya menjadi hal yang biasa. Dalam kapitalis demokrasi tidak ada kawan ataupun lawan yang abadi. Karena yang ada adalah kepentingan abadi.


Musim pemilu tahun ini rival, pemilu lima tahun yang akan datang bisa menjadi besanan. Menjilat ludah sendiri pun perkara yang biasa. Termasuk omongan "isuk dele sore tempe". Tidak bisa dipegang. Saling serang, saling tikam. Inilah yang menjadi suhu politik jelang pemilu selalu meningkat tajam.


Masing-masing kubu terlihat tidak lagi mementingkan etika ketika sedang mengkampanyekan calonnya. Pasca pencoblosan, tensi itu semakin naik dan kalau tidak segera dicari solusinya bisa menyebabkan chaos (rusuh). 


Padahal, kedua kubu didukung oleh para kiyai, para ustad dan para habaib yang semestinya mampu meredam suasana panas ini. Namun, kenyataannya malah para pemuka agama ini sebagian bersikap 'ekstrim' dengan perkataan-perkataan yang memancing situasi makin tak menentu.


Tentu hal tersebut membuat umat bingung. Memang tak ada asap kalau tidak ada api. Akan tetapi sebagai orang yang berpengetahuan agama, mengetahui adab dan sopan santun, seyogyanya para ulama ini memberikan kesejukan kepada masing-masing pengikutnya.


Dalam Islam, al-Quran dan Hadits harus menjadi pijakan dalam segala urusan, tidak terkecuali dalam berpolitik. Al-Quran telah memberikan rambu-rambu pada umatnya supaya beretika dalam politik. Karena Islam memandang bahwa politik adalah mengurusi urusan umat. Bukan sekedar meraih kekuasaan dan mendapatkan penghasilan.


Di dalam Islam, jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan pada hari akhir. Pemimpin akan ditanya tentang amanah kepemimpinan yang ada padanya, apakah digunakan dengan benar ataukah tidak. Islam melarang seorang pemimpin mengkhianati amanah yang dia emban.


Allah Swt. berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal: 27).


Sistem Islam akan mewujudkan para pemimpin yang amanah, karena Islam memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang terbaik. Asas pemilihan pemimpin dalam Islam adalah akidah Islam. Akidah ini akan menuntun perilaku politik para politisi sehingga sesuai syariat dan tidak menghalalkan segala cara.


Para politisi dalam Islam sadar bahwa setiap tingkah lakunya dalam politik akan ia pertanggungjawabkan, bukan semata pada manusia, tetapi pada Allah Swt. Itulah sebabnya, politisi dalam sistem Islam akan memiliki profil jujur, bertakwa, dan hati-hati (warak) dalam melakukan segala sesuatu. Mereka tidak akan berbohong dan melakukan fitnah terhadap lawan politiknya.


Dengan adanya asas akidah Islam, pelaksanaan pemilihan pemimpin akan berjalan tertib, lancar, dan penuh kebaikan, termasuk dalam interaksi warga. Tidak ada konflik maupun perpecahan antarpendukung calon penguasa. Dengan demikian, pemilihan pemimpin dalam Islam akan mewujudkan keberkahan, yaitu bertambahnya kebaikan bagi umat.


Terlebih pemilu hanyalah sebuah uslub. Artinya bisa dipakai bisa tidak.


Dalam Islam metode baku pengangkatan kepala negara adalah bai’at syar'i. Sebagai sebuah cara (uslub) pemilu wajib tetap terikat dengan nash-nash syariat tanpa menyelisihinya. Pemilu akan dilaksanakan bila dipandang tepat dan dibutuhkan pada keadaan tertentu.


Sebab, masa jabatan pemimpin (Khalifah) dalam Khilafah Islamiyah tidak ada periodisasi, diganti ketika hanya melanggar syariat atau berhalangan menegakkan syariat. Selain itu ada pula cara lain untuk memilih kepala negara (khalifah), seperti melalui ahlu halli wal aqdi. Fiqih Islam cukup rinci dalam mengatur pemilihan khalifah, hal ini bisa kita pelajari dari kitab-kitab muktabar para ulama. Calon khalifah harus memenuhi syarat yang ditetapkan syariat, yaitu:


1. Muslim.


2. Laki-laki.


3. Berakal sehat.


4. Baligh.


5. Merdeka.


6. Adil.


7. Dan memiliki kapabilitas mengemban amanah sebagai khalifah, yaitu memahami bagaimana menerapkan syariat Islam dengan benar.


Tugas dan wewenang khalifah juga dibatasi oleh syariat, hanya untuk menerapkan hukum Allah SWT (syariat Islam) secara kaffah. Khalifah tidak punya wewenang membuat hukum, sebab hak membuat hukum hanyalah milik Allah SWT.


Sehingga wajar jika pemilu di dalam Islam tidak memerlukan biaya fantastis dan penyelenggaraannya cukup sederhana. Tidak perlu ada dana kampanye untuk memasang baliho, dana relawan dan obral janji.


Sehingga gesekan kepentingan, perpecahan karena beda dukungan pun tidak akan terjadi. Suhu politik pun tidak pernah memanas selama 13 abad penerapan sistem Islam dalam kekhilafahan, bahkan kesejahteraan rakyatnya bisa disaksikan sendiri dalam berbagai catatan sejarah.


Khatimah 


Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapatlah penulis tarik kesimpulan, antara lain sebagai berikut:


1. Perdebatan mengenai sistem pemilu yang berlaku di Indonesia masih senantiasa terjadi di setiap revisi UU Pemilu. Yaitu pada pasal mengenai sistem proporsional terbuka (terdapat pada pasal 168 ayat 2 UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu). Sebagian pihak lain, menginginkan kembali kepada sistem proporsional tertutup. Dan pemilu anggota DPR dan DPRD 2024 tetap menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka.


Salah satu kekurangan dari sistem proporsional terbuka, sistem ini memberikan peluang terjadinya politik uang (money politics). Kandidat/caleg yang memiliki sumber daya finansial yang besar dapat memanfaatkannya untuk memengaruhi pemilih. Di sinilah besar kemungkinan terjadinya kanibalisme politik tersebut. Selanjutnya, sistem proporsional dengan daftar terbuka mengharuskan modal politik yang besar untuk proses pencalonan.


Tak kalah krusial juga, ketidak harmonisan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ketentuan pengajuan calon pasangan presiden dan wakil presiden oleh segelintir kepentingan dan otoritas (gabungan) partai politik masih terjadi dan berpotensi menimbulkan konflik serta perdebatan yang tidak ada ujungnya. Betapa ironisnya dengan semangat demokratisasi pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, ketika dari beberapa kali gelaran momen pilpres yang telah dilaksanakan mulai 2014-2024, terlihat ada beberapa pasangan calon presiden dan calon wakilnya yang salah seorang diantaranya justru masih merupakan pejabat aktif dari kepala/wakil kepala daerah terpilih melalui proses pilkada secara langsung oleh masyarakat di daerah pemilihannya tersebut. Bukankah justru sebuah tindakan kanibalisme politik juga, yakni memangsa pemberian amanat/suara masyarakat daerah tersebut kepadanya yang dilakukan oleh (gabungan) parpol pengusungnya itu?


2. Beberapa dampak yang bisa ditimbulkan dari suhu politik yang terlalu panas menjelang pemilu, yang pada akhirnya dapat memicu kanibalisme politik antara lain:

1). Peningkatan ketegangan sosial.

2). Melemahnya kepercayaan publik.

3). Penurunan partisipasi pemilih.

4). Tindakan kekerasan politik.

5). Kerugian ekonomi.

6). Perpecahan dalam kepemimpinan.

7). Kekuatan politik yang dipolarisasi

8). Menurunnya kualitas diskusi publik.


3. Dalam Islam, al-Quran dan Hadits harus menjadi pijakan dalam segala urusan, tidak terkecuali dalam berpolitik. Al-Quran telah memberikan rambu-rambu pada umatnya supaya beretika dalam politik. Karena Islam memandang bahwa politik adalah mengurusi urusan umat. Bukan sekedar meraih kekuasaan dan mendapatkan penghasilan.


Di dalam Islam, jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan pada hari akhir. Pemimpin akan ditanya tentang amanah kepemimpinan yang ada padanya, apakah digunakan dengan benar ataukah tidak. Islam melarang seorang pemimpin mengkhianati amanah yang dia emban.


Allah Swt. berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal: 27).


*Referensi:*

- Berbagai sumber artikel dalam laman media online

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم