Oleh Nahida Ilma (Mahasiswa)
Berkaca dari kasus di pemilu sebelumnya, dimana terdapat calon anggota legislatif (caleg) yang kalah bersaing memperebutkan kursi mengalami depresi berat dengan tanda gejala lebih banyak diam, melamun bahkan insomnia. Karena itu untuk Pemilu 2024, sejumlah Rumah Sakit mengatakan siap untuk melayani para caleg yang gagal. Rumah sakit sudah mulai prepare jauh sebelum bulan pemilu.
RSUD Kabupaten Bandung siapkan ruangan khusus untuk caleg gagal yang kejiwaannya terganggu (Jawapos.com, 27 November 2023). RSJ Menur siapkan kamar untuk caleg yang gagal dan depresi (Detik.com, 30 November 2023). Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Maluku di Desa Nania, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon menyiapkan kamar untuk caleg yang menderita kejiwaan setelah gagal mendapatkan kursi parlemen di Pemilu 2024 (CNNIndonesia.com, 11 Januari 2024).
Fenomena stress hingga depresi ini menambahkan sederet masalah yang berpotensi timbul diakibatkan oleh pemilu dalam bingkai demokrasi. Ketua Bawaslu sendiri mengungkapkan potensi permasalahan pada Pemilu 2024 ada tiga, yaitu penyelenggara, peserta serta pemilih. Risiko gangguan mental menjadi suatu hal yang menghantui peserta pemilu yaitu para calon-calon yang akan dipilih oleh masyarakat. Analisa terkait berbagai problematika baik pra dan pasca pemilu sejatinya sudah banyak beredar di media massa. Sejatinya, sudah menjadi keniscayaan pemilu dalam demokrasi mengundang berbagai masalah. Bagai peribahasa sudah jatuh tertimpa tanggam, karena masalah yang muncul akan beruntun dan terus menerus.
Terdapat dua hal yang menyebabkan demokrasi terus dilingkupi oleh masalah. Pertama, demokrasi berasal dari sekulerisme yang mengabaikan peran agama dalam mengatur kehidupan termasuk urusan politik. Kedua, politik demokrasi yang berbiaya mahal. Hal ini seperti menjadi rahasia umum dalam sistem demokrasi. Legalitas kekuasaan dalam sistem demokrasi mengharuskan calon memiliki suara terbanyak, sehingga untuk menggaet hati para pemilih membutuhkan skema kampanye, serangan fajar dan intrik lainnya. Bahkan para calon penguasa bisa membeli kekuasaan dengan “ongkos” tersebut.
Jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sejatinya lahir dari sekulerisme yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Pembuat aturan hidup selain persoalan ritual adalah rakyat atau manusia yang dipilih melalui proses pemilu. Aturan yang dibuat manusia inilah yang menyebabkan munculnya berbagai persoalan di tengah masyarakat. Hasil buah pikir mereka hanya tidak dapat mengakomodir urusan rakyat, hanya mengakomodir kepentingan segelintir orang yaitu para penguasa yang duduk di kursi pemerintahan dan para pemilik modal yang mendukung mereka sebelum terpilih. Bukan menjadi suatu hal yang aneh, ketika kebijakan-kebijakan yang lahir justru abai terhadap kepentingan rakyat.
Sistem demokrasi juga sarat dengan ongkos besar, dimana pemilu berposisi sebagai salah satu peluang industri. Pihak manapun yang memiliki modal besar, juga akan mendapatkan peluang besar untuk memenangkan pesta demokrasi. Pemilu hanya jadi ajang adu kuat modal politik yang sumbernya berasal dari oligarki. Politik balas budi pun mewarnai masa kepemimpinan calon yang terpilih. Tak ketinggalan, praktik korupsi menjadi incaran jalan alternatif sebagai upaya balik modal dana selama masa pencalonan.
Berbanding terbalik dengan kondisi yang akan ditemukan dalam negara yang menerapkan Islam Kaffah. Islam tidak melarang adanya pemilu. Posisi pemilu adalah salah satu uslub atau cara untuk memilih pemimpin dalam Khilafah. Namun, pemilu yang berlangsung tegak diatas aqidah Islam dimana segala praktik pemilu harus memenuhi syarat yang ditetapkan Islam. Landasan aqidah dalam politik islam inilah yang menjaga pemilu tetap berjalan lancar, aman, tertib dan jauh dari kecurangan.
Pemilu dalam negara Islam hanya sebagai uslub memilih pemimpin yang akan menjalankan syariat Islam, tidak dijadikan sebagai metode baku. Metode baku pengangkatan kepala negara adalah dengan bai’at syar’I yang tentunya proses pemilihan pemimpin akan berjalan dengan sederhana, efektif efisien dan hemat biaya.
Wallahua'lam bish-showab[]