Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.
Palestina masih membara. Pejabat kesehatan Gaza mengatakan bahwa lebih dari 27.000 orang (CNBC Indonesia, 8-2-2024), yang mayoritasnya adalah perempuan dan anak-anak, tewas dalam agresi brutal Israel ke jalur Gaza Palestina sejak 7 Oktober 2023. Agresi ini kemudian memicu reaksi dari sekutu Hamas di wilayah Timur Tengah untuk melakukan serangan kepada Israel dan sekutunya.
Alih-alih mereda, Israel justru makin menggila karena serangannya mulai menyasar kamp pengungsian warga Palestina di Rafah (wilayah Gaza dekat perbatasan dengan Mesir), juga kamp-kamp di Gaza tengah. Kawasan tersebut dinyatakan oleh Israel sebagai "benteng terakhir Hamas yang tersisa".
Juru bicara Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB Jens Laerke menyatakan serangan ke Rafah dapat memperburuk situasi kemanusiaan di sana. Hal ini dapat menyebabkan kehilangan nyawa warga sipil dalam skala besar. Tidak pelak, banyak warga Palestina mengatakan bahwa Rafah atau bagian mana pun dari Gaza, tidak lagi aman.
Parahnya lagi, pendanaan untuk badan PBB yang menangani warga Palestina di Gaza, UNRWA, telah ditangguhkan. Padahal, sejak Israel melancarkan serangan di Gaza, UNRWA adalah satu dari sedikit lembaga bantuan internasional yang masih bisa beroperasi di kawasan itu.
Dua Malapetaka Besar
Pencangkokan entitas Yahudi di tanah Palestina adalah salah satu dari dua malapetaka besar buah kemunduran dunia Islam. Keruntuhan Khilafah bagi dunia Islam dan kaum muslim adalah malapetaka pertama. Konspirasi kafir Barat beserta agen-agennya—yang telah berlangsung selama bertahun-tahun—sungguh membuahkan hasil yang sepadan dengan yang mereka harapkan, yakni keruntuhan Khilafah Islamiah pada 3 Maret 1924 di Turki.
Melalui tangan keji seorang agen Inggris keturunan Yahudi, Mustafa Kemal, Khilafah yang telah tegak 13 abad lamanya harus rela luluh lantak. Ketika peran Mustafa Kemal mulai dominan dengan karisma politiknya, tampil pula sejumlah perjanjian dan agenda internasional yang makin menikam Khilafah menuju keruntuhannya. Beberapa di antaranya yaitu Perjanjian Sykes-Picot, Konferensi Ardh Rum, Konferensi Sivas, Konferensi Amasia, penetapan Piagam Mili, Perjanjian Sevres, Perundingan London, serta Perjanjian Lausanne I dan II. Di antara perjanjian yang paling berbahaya bagi Khilafah adalah Perjanjian Sykes-Picot dan Perjanjian Lausanne.
Perjanjian Sykes-Picot adalah upaya Inggris untuk menagih konsekuensi bagi Daulah Khilafah akibat kalah perang, yakni pada Perang Dunia I. Melalui perjanjian tersebut, Inggris membagi-bagi wilayah Khilafah sebagai jajahan bagi negara-negara Eropa lainnya. Pada saat yang sama, secara iklim politik, Inggris telah berhasil menanamkan nasionalisme dan chauvinisme patriotik di wilayah-wilayah penting dunia Islam.
Sementara Perjanjian Lausanne adalah perjanjian yang dilaksanakan dua kali, yakni pada 17 Oktober 1922 dan 20 November 1922. Perjanjian Lausanne adalah momentum ketika Inggris tampak jelas memainkan peran paling licik dan kotor untuk menghancurkan Khilafah. Konsekuensi dari Perjanjian Lausanne ini adalah pemisahan kesultanan dari Khilafah—karena Khilafah akan dihancurkan—dan pengakuan terhadap kemerdekaan Turki.
Konsekuensi lainnya yang tidak kalah telak adalah adanya empat syarat yang ditetapkan Inggris sebagai bukti nyata penghapusan Khilafah sekaligus sekularisasi negara. Penetapan empat syarat tersebut disampaikan oleh Lord Curzon, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, sebelum memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Turki. Empat syarat tersebut meliputi: (1) Penghapusan Khilafah secara total; (2) Pengusiran Khalifah sampai ke luar batas-batas negara; (3) Penyitaan kekayaan Khalifah; dan (4) Pernyataan sekularisasi negara.
Tegaknya “Negara” Zionis
Tegaknya “negara” Zionis Yahudi, Israel, dengan cara merampas tanah dan rumah milik penduduk muslim Palestina, adalah tikaman keji berikutnya sebagai hasil konspirasi Barat (Inggris) kepada dunia Islam, melalui Deklarasi Balfour.
Deklarasi Balfour adalah pernyataan terbuka yang dikeluarkan Pemerintah Inggris pada tahun 1917 semasa Perang Dunia I untuk mengumumkan dukungan bagi pembentukan sebuah “kediaman nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina. Saat itu Palestina adalah salah satu daerah di dalam wilayah negara Khilafah Utsmaniyah dan warga Yahudi di Palestina masih menjadi kaum minoritas.
Deklarasi Balfour tercantum di dalam sepucuk surat tertanggal 2 November 1917 dari Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, kepada Lord Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk diberitahukan kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia. Deklarasi Balfour disiarkan lewat media massa pada 9 November 1917.
Deklarasi Balfour memunculkan berbagai konsekuensi jangka panjang. Deklarasi ini membuat dukungan terhadap gerakan zionisme di kalangan komunitas Yahudi sedunia meningkat pesat. Deklarasi ini juga menjadi unsur pokok di dalam penyusunan Memorandum Penyerahan Mandat atas Palestina kepada Inggris, yakni dokumen yang mendasari pembentukan Wilayah Mandat Palestina, cikal bakal dari teritorial Israel dan Palestina sekarang ini. Oleh karena itu Deklarasi Balfour dianggap sebagai sebab utama berlarut-larutnya konflik Israel–Palestina, yang kerap disifatkan sebagai konflik teralot di muka bumi.
Dengan begitu, dunia Islam yang sudah sakit dengan peristiwa keruntuhan Khilafah, tentu saja keberadaan Israel sebagai “negara” yang mencaplok Palestina adalah rasa sakit yang bertambah-tambah. Ibarat kata, kaum muslim sudah jatuh tertimpa tangga.
Agresi dan Penjajahan
Sungguh, masalah Palestina telah dirancang oleh orang-orang kafir sejak lama, dengan mendirikan negara Yahudi di jantung wilayah Daulah Khilafah Islamiah. Tujuannya adalah menghancurkan Khilafah Islamiah, dan memecah belahnya menjadi negeri-negeri kecil yang tidak berdaya.
Sementara itu, cita-cita pembentukan negara Israel berawal dari Gerakan Z10n15 yang didirikan oleh Theodore Herzl pada 1896 M, dan telah dirintis sejak 1717 oleh tokoh-tokoh Yahudi Prancis. Tujuannya untuk mempersatukan Yahudi sedunia dengan mendirikan negara Yahudi Raya (Israel) yang berpusat di bukit Zion (Palestina).
Mencermati jejak sejarah di atas, jelas akar masalah Palestina adalah keberadaan Israel yang telah menyerobot, merampok dan menduduki tanah Palestina dengan mengusir penduduk dan pemilik aslinya. Dengan kata lain akar masalah Palestina adalah agresi, pendudukan dan penjajahan Israel atas Palestina dan penduduknya, bukan masalah tapal batas antara Israel dan negara-negara tetangganya seperti Suriah, Libanon, Yordania, dan termasuk Palestina.
Lebih buruknya lagi, dengan berakhirnya Perang Dunia II PBB memutuskan pembagian Palestina menjadi dua, yaitu untuk penduduk Palestina dan Yahudi, melalui resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum nomor 181, pada tanggal 29 Oktober 1947. Setelah itu Inggris menyerahkan sebagian besar wilayah Palestina ke Yahudi dan mendirikan sebuah negara Israel yang dideklarasikan pada 1948.
Sejak saat itu, Palestina tidak pernah berhenti mengalami huru-hara. Entitas Z10n15 Yahudi terus saja menggerogoti tanah Palestina hingga detik ini. Sudah tidak terhitung banyaknya darah syuhada yang membanjiri negeri para Nabi itu. Namun, perjuangan kaum muslim di Palestina tidak pernah berhenti.
Persatuan Umat
Dengan demikian, krisis Palestina adalah masalah umat Islam, bukan hanya masalah penduduk Palestina atau dunia Arab. Ini juga ditegaskan oleh Sultan Abdul Hamid II, “Sampaikan oleh kalian peringatan kepada Dr. Herzl, agar dia tidak mencoba-coba untuk mengambil langkah-langkah baru apapun dalam persoalan ini. Sungguh aku tidak bisa melepaskan bumi Palestina walau hanya sejengkal. Bumi ini bukanlah milikku, melainkan milik umat Islam. Bangsaku telah berjihad dalam mempertahankan bumi tersebut dan telah menyiraminya dengan darah-darah mereka. Silakan Yahudi menyimpan kembali uang mereka. Jika Khilafah Islam suatu hari nanti berhasil dihancurkan, mereka boleh mengambil tanah Palestina dengan cuma-cuma. Tetapi, selama aku masih hidup, aku lebih memilih menusukkan pedang ke dalam tubuhku daripada harus melihat tanah Palestina dipotong dan dilepaskan dari Khilafah Islam.”
Krisis Palestina nyata menyangkut tanah suci yang dijajah dan pembantaian muslim secara sistemis. Untuk itu, Palestina membutuhkan persatuan umat di bawah satu komando serta pelaksanaan perintah syariat berupa seruan jihad untuk membebaskan tanah suci tersebut dan menolong kaum muslim yang terzalimi.
Allah Taala berfirman, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat [49]: 10).
Palestina pertama kali dibebaskan oleh Khalifah Umar ra., kemudian dibebaskan untuk kedua kalinya oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Begitu pula saat ini, Palestina membutuhkan pemimpin yang membebaskannya, yakni seorang Khalifah, selaku pemimpin kaum muslim sedunia, yang perannya sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw., “Imam (Khalifah) adalah perisai, di belakangnya kaum muslim berperang dan berlindung.” (HR Bukhari-Muslim).
Kaum muslim sendiri saat ini terbukti berada di titik terlemah akibat ide kufur nasionalisme yang telah nyata memecah belah mereka. Akibatnya, para pemimpin negeri muslim begitu abai dan tidak peduli dengan nasib Palestina, alih-alih memikirkan nasib dan masa depan kaum muslim di seluruh dunia.
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang memecah-belah jamaah dan keluar dari ketaatan, lalu mati, maka dia mati jahiliah. Siapa saja yang keluar menyerang umatku dengan pedangnya, ia memerangi orang baik dan orang jahatnya, tidak takut akibat perbuatannya menimpa orang Mukmin karena keimanannya dan tidak memenuhi perjanjiannya, dia bukan bagian dari umatku. Siapa saja yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah karena ‘ashabiyah, atau berperang untuk ‘ashabiyah atau menyerukan ‘ashabiyah, maka dia mati jahiliah.” (HR Ahmad).
Jihad dan Khilafah
Syariat Islam telah mewajibkan jihad fi sabilillah atas kaum muslim ketika mereka diperangi musuh. Allah Taala berfirman, "Siapa saja yang menyerang kalian, seranglah dia seimbang dengan serangannya terhadap kalian." (QS Al-Baqarah [2]: 194). Juga dalam ayat, "Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian." (QS Al-Baqarah [2]: 191).
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLâh dalam kitab Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah Jilid 2 menyatakan bahwa jihad adalah fardhu ’ain jika kaum muslim diserang oleh musuh. Fardhu 'ain ini bukan hanya berlaku untuk muslim Palestina, tetapi juga bisa meluas bagi kaum muslim di sekitar wilayah Palestina jika agresi musuh tidak bisa dihadang warga setempat.
Ini juga sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Said bin Ali Wahf al-Qahthani dalam kitab Al-Jihâd fî SabîlilLâh, “Jika musuh telah memasuki salah satu negeri kaum muslim maka fardhu ’ain atas penduduk negeri tersebut untuk memerangi musuh dan mengusir mereka. Juga wajib atas kaum muslim untuk menolong negeri itu jika penduduknya tidak mampu mengusir musuh. Hal itu dimulai dari yang terdekat kemudian yang terdekat.” (Al-Qahthani, Al-Jihâd fî SabîlilLâh Ta’âla, hlm. 7, Maktabah Syamilah).
Berdasarkan hukum ini, wajib bagi kaum muslim di wilayah terdekat Palestina seperti Yordania, Mesir, Libanon dan Suriah untuk mengirimkan pasukan untuk mengusir kaum Yahudi sampai mereka benar-benar terusir dari sana. Haram bagi mereka berdiam diri atau hanya sekadar mengecam.
Selain jihad, solusi nyata bagi Palestina adalah dengan tegaknya Khilafah. Melihat realitas politik hari ini, jelas tidak mungkin kaum muslim mengharapkan pihak lain, termasuk PBB untuk menolong mereka. PBB justru turut terlibat dalam kelahiran dan pengakuan negara Yahudi tersebut. Mustahil pula meminta bantuan kepada negara-negara Barat karena mereka, baik AS maupun Uni Eropa, mendukung kaum Yahudi penjajah.
Oleh sebab itu, Palestina hanya bisa dibebaskan jika Khilafah berdiri untuk melindungi tanah yang Allah berkahi tersebut. Khilafah juga akan mengusir para penjajah dari dunia Islam. Dahulu saat Palestina masuk ke dalam pelukan dan perlindungan kaum muslim pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., beliau menandatangani Perjanjian Umariyah bersama Uskup Yerusalem Sofronius. Di antara klausulnya adalah tidak mengizinkan seorang Yahudi pun tinggal di tanah Palestina.
Khilafah pula yang membentengi Palestina untuk terakhir kalinya dari tipu daya gembong Yahudi Theodore Herzl yang mencoba menyogok Sultan Abdul Hamid II, namun beliau menolaknya. Oleh karena itu, eksistensi Khilafah Islamiah adalah vital dan wajib bagi kaum muslim karena ia akan menjadi perisai yang melindungi umat. Dengan Khilafah, harta, darah dan jiwa umat tidak akan tumpah sia-sia. Sebaliknya, akan ada pembelaan dan pembalasan untuk itu semua. Wallahu'alam bishshawab. []
[*disarikan dari berbagai sumber.]