Konsep Kepemimpinan dalam Islam




Islam amat menekankan soal kepemimpinan. Menurut Islam, kepemimpinan manusia yang dalam hal ini adalah seorang kepala negara merupakan perpanjangan kekuasaan Allah yang dibebankan di pundak para Nabi dan orang-orang pilihan-Nya. Oleh sebab itu, setiap kepala negara harus benar-benar mematuhi apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. Nabi Muhammad saw di samping sebagai Nabi dan Rasul, juga sebagai imam (pemimpin).

Namun apa jadinya, apabila seorang pemimpin yang kelak menjadi Junnah bagi rakyatnya, dengan sembarang dipilih dan ditunjuk. Atau membebankan ummat dengan pemahaman bahwa seorang pemimpin itu harus memiliki kualitas dan kapasitas sebagai seorang pemimpin, bukan urusan kesalehan personal seorang pemimpin. (Rmol.id, 10-5-2023). Lah, ga bahaya ta. Betulkan seorang calon pemimpin tidak harus saleh ? Artinya, ia boleh berasal dari kalangan fasik atau yang gemar bermaksiat (misalnya suka menonton film porno), atau mungkin seorang pemimpin itu cukup dengan joget gemoy diatas panggung tapi nol apabila diminta untuk membaca ayat-ayat Allah SWT. Benarkah pemimpin seperti ini tetap wajib ditaati?

Sebagai seorang muslim yang hidup di negeri mayoritas penduduknya beragama Islam, sudah menjadi kewajiban bagi kita menjadikan Islam atau Al Qur'an sebagai satu-satunya standar dalam memilih calon pemimpin, pun dalam menyikapi perilaku dan kebijakan mereka. 

Dalam banyak kitab fikih siyâsah, termasuk Kitab Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah karya Imam Al-Mawardi yang amat terkenal, telah banyak dibahas sejumlah kriteria yang wajib ada pada diri calon pemimpin. Secara umum kriterianya sama. Yang berbeda hanya dalam aspek tertentu dan rinciannya. Kriteria umum pemimpin (kepala negara) dalam Islam yang dimaksud adalah: (1) Muslim; (2) Laki-laki; (3) Balig; (4) Berakal; (5) Merdeka (bukan budak/berada dalam kekuasaan pihak lain); (6) Adil (bukan orang fasik/ahli maksiat); (7) Mampu (punya kapasitas untuk memimpin). Ketujuh kriteria ini disebut juga dengan syarat-syarat in’iqâd (pengangkatan). Ketujuh syarat ini tentu didasarkan pada dalil Al-Qur’an dan As-Sunah (Lebih rinci, lihat: Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 50-53; Kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 22-27).

Hal yang sama juga telah dibahas secara detail oleh al-‘Allamah al-Qadhi Syekh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M), dalam kitabnya, Al-Khilâfah dan Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Jilid 2). Syarat-syarat kepala negara (khalifah/imam) ini juga dijelaskan dengan panjang lebar oleh Imam An-Nawawi dalam kitabnya, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab. (Muslimahnews, 200523).

Oleh karena itu, sangatlah jelas, di antara kriteria calon pemimpin (kepala negara) haruslah dari kalangan orang yang adil (poin 6). Artinya, ia bukan orang fasik (ahli maksiat) atau orang zalim. Penyebabnya, kata adil memang sering dilawankan dengan kata fasik atau zalim. Di antara ciri utama orang fasik atau zalim adalah enggan berhukum dengan hukum-hukum Allah Swt. Dasarnya adalah firman Allah Swt.,

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

“Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah, mereka itulah kaum yang zalim.” (QS Al-Maidah [5]: 45).

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

“Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah, mereka itulah kaum yang fasik.” (QS Al-Maidah [5]: 47).

_Pemimpin yang Wajib Ditaati_

Allah Swt. memang telah mewajibkan kaum muslim untuk senantiasa menaati pemimpin mereka. 
Allah Swt. berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kalian.” (QS An-Nisa’ [4]: 59).

Ayat tersebut jelas menerangkan kewajiban menaati ululamri (pemegang kekuasaan) di antara umat Islam. Namun, kemudian, ada juga sebagian kalangan yang menafsirkan ketaatan kepada penguasa dalam ayat tersebut bersifat mutlak dan berlaku umum untuk setiap pemegang kekuasaan (penguasa); tidak dilihat lagi apakah ululamri itu khalifah dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), ataukah penguasa dalam sistem pemerintahan sekuler, seperti presiden dalam sistem republik, atau raja dalam sistem kerajaan (monarki) (Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 8-9).

Padahal yang dimaksud disini bukanlah sembarang penguasa, melainkan penguasa dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), yaitu imam (khalifah) dan para wakilnya (Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 17).

Ini sejalan dengan penjelasan Imam asy-Syaukani rahimahulLâh yang berkata,

وَ أُوْلِي اْلأَمْرِ هُمْ: اْلأَئِمَّةُ، وَ السَّلاَطِيْنُ، وَ الْقُضَاةُ، وَ كُلُّ مَنْ كَانَتْ لَهُ وِلاَيَةٌ شَرْعِيَّةٌ: لاَ وِلاَيَةً طَاغُوْتِيِّةً

“Ululamri adalah para imam, para sultan, para kadi (hakim), dan setiap orang yang memiliki kekuasaan syar’i, bukan kekuasaan bangsa tagut.” (Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 1/556).

Ketaatan kepada pemimpin (khalifah) dan para wakilnya tersebut juga terbatas pada perkara yang makruf (yang dibenarkan syariat Islam), bukan ketaatan pada segala perkara yang mungkar atau maksiat (Al-Mas’ari, Thâ’at Ulil Amri Hudûduhâ wa Quyûduhâ, hlm. 17).

Ini sejalan dengan penjelasan para mufasir terkait ayat di atas. Imam Al-Baghawi dalam Ma’âlim at-Tanzîl, misalnya, setelah menafsirkan ayat di atas.

Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Hak yang wajib ditunaikan oleh seorang pemimpin adalah memutuskan perkara (berhukum) dengan apa yang telah Allah turunkan (Al-Qur’an dan Sunah) dan menjalankan amanah. Jika pemimpin telah melakukan hal itu, maka hak yang wajib ditunaikan oleh rakyat adalah mendengar dan taat.” (Lihat: Tafsîr al-Baghawi, QS an-Nisa [4]: 59).

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm, setelah menafsirkan surah An-Nisa ayat 59 di atas, juga menukil hadis berikut,

وَعَنْ أُمِّ الْحُصَيْنِ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَخْطُبُ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ يَقُولُ: “وَلَوِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبَدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ، اسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا”

Dari Ummul Hushain bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw. berkhotbah pada Haji Wada’ bersabda, “Meskipun kalian diperintah oleh seorang budak, sementara ia memimpin kalian dengan Kitabullah (Al-Qur’an), maka dengar dan taatilah dia.” (HR Muslim).

Imam An-Nawawi menjelaskan maksud hadis di atas,

قَالَ الْعُلَمَاءُ: مَعْنَاهُ مَا دَامُوا مُتَمَسِّكِينَ بِالْإِسْلَامِ وَالدُّعَاءِ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى

Para ulama berkata, “Maksudnya adalah selama para pemimpin itu masih berpegang teguh dengan Islam dan menyeru pada Kitabullah (Al-Qur’an).” (An-Nawawi, Syarh ‘alâ Shahîh Muslim, 9/47).

_Wajib Menegakkan Sistem Pemerintahan Islam__

Jelas bahwa yang dituntut atas kaum muslim sesungguhnya bukan hanya sekadar memilih dan mengangkat pemimpin (kepala negara). Mereka pun dituntut untuk menegakkan atau menerapkan sistem pemerintahan Islam (Imamah/Khilafah).

Imam An-Nawawi menyatakan, “Umat wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, membela Sunah, menolong orang-orang yang dizalimi, serta memenuhi hak dan mengembalikannya pada posisinya. Saya tegaskan, pengangkatan Imamah (Khilafah) hukumnya fardu kifayah.”

Perlu dicatat, istilah Imam ini dinyatakan oleh Imam An-Nawawi dengan konotasi khalifah dan amirulmukminin. Beliau menyatakan, “Seorang imam boleh disebut khalifah, imam, dan amirulmukminin.” Ini dikuatkan oleh penjelasan Imam An-Nawawi dalam kitabnya, Al-Majmû’, “Imamah, Khilafah, dan Imârah al-Mu’minîn adalah sinonim (banyak kata dengan konotasi sama).”

Hal ini juga dikuatkan dengan penggunaan kata “Khilafah” dan “khalifah” dalam kitab Ar-Rawdhah secara bersamaan dengan kata “imam”, dan “imamah." Jadi, tidak benar jika imam yang dimaksud oleh Imam An-Nawawi di sini tidak harus khalifah, tetapi bisa presiden, raja, atau yang lain. Pernyataan seperti ini jelas sesat dan menyesatkan.

Masalah pengangkatan khalifah ini sebenarnya telah dibahas oleh para fukaha pada masa lalu, sebagaimana yang dibahas Imam Al-Mawardi (w. 463 H), Al-Juwaini (w. 478 H), Al-Ghazali (w. 505 H) hingga Imam An-Nawawi (w. 676 H). Imam An-Nawawi telah membahas masalah ini dalam kitabnya, Rawdhah ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, juga dalam Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab.

Jadi bagaimana mungkin mereka yang mengeklaim ahlusunah waljamaah, tetapi menolak Khilafah? Apalagi rukun kedua belas, sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Qahir al-Baghdadi (w. 429 H), dalam kitabnya, Al-Farqu bayna al-Firaq, adalah meyakini perkara pokok, yaitu kewajiban menegakkan Khilafah (Imamah).

Wallahualam bissawab.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم