Ganti Rugi Ditolak, Pengadilan pun Bertindak

 



Oleh: Fatimah Abdul (Pemerhati Sosial dan Generasi)


Menjelang akhir masa jabatan presiden Jokowi, pemerintah menggenjot pembangunan di berbagai daerah di seluruh Nusantara. Pembangunan besar-besaran ini disebut dengan Proyek Strategis Nasional atau PSN. Di Tulungagung, Proyek Strategis Nasional yang saat ini tengah berlangsung adalah pembangunan jalan Tol Kediri-Tulungagung dimana jalan ini merupakan akses menuju Bandara Internasional Dhoho di Kediri. Ada 14 desa yang terdampak pembangunan tersebut diantaranya desa Simo, Tulungrejo, Bungur, Sukowidodo, Sukowiyono, Sembon, Panggungrejo, Kutoanyar, Batangsaren dan masih banyak yang lainnya. Pembangunan jalan Tol ini diprakarsai oleh PT Gudang Garam dengan dana sebesar Rp 2,7 Triliun untuk pengadaan tanahnya.


Dilansir dari mataram.tribunnews.com, menurut Zulfawardi (Ketua Tim Pengadaan Tanah) mayoritas daerah Tulungagung yang dilewati oleh proyek ini adalah kawasan persawahan sehingga harga tanah yang dipatok lebih murah dibandingkan dengan wilayah Kediri yang kebanyakan merupakan tanah permukiman penduduk.


Meskipun pembangunan jalan ini tengah berlangsung, namun masalah pengadaan tanah masih tetap bermasalah. Hal ini dikarenakan ada 21 bidang tanah yang mana pemiliknya masih belum bersedia menerima uang ganti rugi yang telah ditetapkan. 


Meskipun masih ada penolakan dari warga terkait harga tanah, namun pembangunan jalan akan tetap dilanjutkan. Pihak Pengadilan Negeri Tulungagung akan menyiapkan ruang persidangan khusus untuk menindaklanjuti masalah penolakan dari warga tersebut.


Ketua PN Tulungagung, Cyrilla Nur Endah Sulistyaningrum menjelaskan bahwa ketika ada masyarakat yang enggan menerima ganti rugi tanahnya, tentu tim pengadaan tanah jalan tol Kediri-Tulungagung akan menitipkan uang ganti ruginya ke PN Tulungagung. Namun, hingga Selasa (6/2) pagi, ternyata belum ada satu pun uang ganti rugi yang dititipkan. "Tapi, sampai dengan tadi pagi, belum ada (uang yang dititipkan)," kata Cyrilla, seperti dikutip dari Radar Tulungagung (jawapos.com, 10/02/2024)


Ketika negara mengadopsi sistem Kapitalisme, konflik agraria jelas tidak bisa dihindarkan dan sangat lazim terjadi. Hal ini disebabkan karena dalam sistem Kapitalisme konsep kepemilikan atas harta tidak diatur dengan baik. Ditambah dengan liberalisasi atas Sumber Daya Alam yang ada di negeri ini. Akhirnya rakyatlah yang paling dirugikan. Apalagi di saat gencar-gencarnya pembangunan berbagai infrastruktur dalam Proyek Strategis Nasional seperti ini, perampasan tanah warga akan semakin banyak terjadi dan tentu saja rakyat akan semakin terzalimi.


Berbanding terbalik dengan sistem pemerintahan Islam dimana negara mengatur kepemilikan atas harta dengan sangat jelas. Ada harta milik individu yaitu harta yang dimiliki oleh setiap pribadi yang biasa diperoleh melalui bekerja, warisan, hadiah, wasiat, hibah atau pun sedekah. Kemudian ada harta milik umum dimana harta tersebut diperuntukkan untuk umum atau milik bersama, contohnya jalan, air, listrik, danau, lautan, emas, perak, tambang dan mineral serta masih banyak lagi yang lainnya. Lalu ada harta milik negara contohnya ghanimah, fai, kharaj, rikaz, usyur dan lain-lain. Ketiga kepemilikan atas harta tersebut tidak dibenarkan saling merampas antara yang satu dengan lainnya. Seperti yang terjadi hari ini dimana penguasa sering kali menggusur warga dari tempat tinggal mereka karena tempat tinggal mereka tersebut akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Mirisnya, kompensasi atas penggusuran tanah nilainya tidak sesuai dengan harapan warga. Tidak adanya titik temu atau kesepakatan inilah yang menyebabkan terjadinya konflik lahan yang berujung diatas meja hijau.


Jadi tidak dibenarkan apabila penguasa yang seharusnya mengayomi dan membantu segala urusan rakyat justru malah merampas tanah mereka, merampas ruang hidup mereka, merampas mata pencaharian mereka di saat kondisi ekonomi rakyat tengah terpuruk. Bagaimana tidak, pasca pandemi Covid-19 yang memporak-porandakan ekonomi dan membuat hidup susah, rakyat kemudian dihantam lagi dengan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Kini dengan hadirnya Proyek Strategis Nasional, rakyat kembali dihadapkan lagi pada masalah penggusuran lahan.


Dalam islam negara memiliki fungsi sebagai "pemelihara" urusan rakyat serta sebagai "pelindung" dari segala kezaliman dan kejahatan. Negara wajib untuk melindungi  rakyatnya karena seorang pemimpin dalam islam dituntut untuk bertanggung jawab atas apapun yang terjadi pada mereka. Kelak amanah yang ada di pundaknya akan dimintai pertanggungjawaban, itulah sebabnya seorang pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam dengan Khilafah sebagai institusi negara akan berbuat adil dan tunduk pada aturan/syariat Allah SWT. 


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّا مِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَآءَ بِا لْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰ نُ قَوْمٍ عَلٰۤى اَ لَّا تَعْدِلُوْا ۗ اِعْدِلُوْا ۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰى ۖ وَا تَّقُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ بِۢمَا تَعْمَلُوْنَ


"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian mu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil lah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan."(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 8)


Maka dengan diterapkan hukum-hukum Allah, maka keadilan dan kesejahteraan akan terwujud karena hukum Allah SWT adalah hukum terbaik yang diturunkan melalui Rasulullah SAW untuk mengatur kehidupan umat manusia agar selamat dunia akhirat. Wallahu'alam bishshawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم