Oleh: Ayu Fitria Hasanah S.Pd
Kerusakan demokrasi sesungguhnya telah lama di depan mata, sehingga sikap civitas akademika baru-baru ini yang mengkritik beramai-ramai atas Presiden yang dinilai melanggar koridor nilai-nilai demokrasi dapat dikatakan terlambat. Bahkan jika didalami seruan kritik atau petisi yang disampaikan para guru besar tersebut sebenarnya kurang mendalam dalam memandang demokrasi itu sendiri. Pasalnya, seruannya sebatas mengkritik sikap Bapak Jokowi yang dinilai menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan cawapres yang merupakan anaknya, dan menuntut agar segera ada tindakan dari aparat penegak hukum, semua pejabat negara, dan aktor politik yang berada di belakang presiden untuk segera kembali pada koridor demokrasi (nasional.tempo.co, 03/02/2024).
Tuntutan yang sebatas meminta sikap netral Presiden dalam pemilu tahun ini tidak mampu mengubah rusaknya demokrasi, sebab demokrasi adalah sistem yang merusak dan meniscayakan kerusakan, dengan kata lain siapapun pemainnya, demokrasi akan selalu melahirkan kerusakan. Sikap Presiden yang dinilai menyimpang dari jalur demokrasi adalah satu fakta dari banyak fakta rusaknya demokrasi yang lain.
Oleh karena itu, tuntutan isi petisi dari civitas akademika tak cukup untuk memperbaiki kondisi negeri, para civitas akademika harus memahami bahwa perubahan untuk menyelesaikan krisis negeri adalah dengan membuang atau mengganti sistem demokrasi dengan sistem pemerintahan yang kredibel dan menjamin keadilan dan kesejahteraan yaitu sistem pemerintahan Islam.
Kerusakan demokrasi sesungguhnya tampak jelas dari ide dasarnya yang menjadikan kedaulatan tertinggi di tangan manusia, sehingga yang berhak membuat hukum adalah manusia, pemikiran batil demokrasi tersebutlah yang menjadikan penguasa bebas dengan kekuasaannya untuk membuat hukum sesuai kepentingan mereka sekalipun harus mendzalimi rakyat. Selain itu politik dalam demokrasi adalah seni meraih kekuasaan, kekuasaan menjadi segala-galanya dalam demokrasi, karena dalam demokrasi hukum dapat diubah atau dimainkan dengan kekuasaan, atau kekuasaan dapat mengubah hukum. Inilah akibat ketika pembuatan hukum disandarkan atas manusia, hukum bisa berubah-ubah, hukum bersandar pada kekuasaan, bukan kekuasaan yang bersandar pada hukum. Dalam praktik meraih kekuasaan, demokrasi menggunakan perolehan jumlah suara yang terbanyak sebagai pemenangnya tanpa memperhatikan kualifikasi orang yang memberi suara.
Inilah kebatilan dan kebodohan lain dari ide demokrasi, bagaimana suara professor atau pakar politik, aktivis sosial politik, pengamat ekonomi, disamakan suaranya dengan masyarakat sipil yang tak melakukan pengkajian atas calon pemimpinnya ataupun memahami konstalasi politik, bahkan memilih karena dapat uang suap. Bahkan ide perolehan banyak suara inilah yang menjadi praktik many politik niscaya terus menggejala yang dampak kerusakannya meluas sampai saat peraihan dan pelaksanaan kekuasaan.
Sebab, dalam praktik money politik tersebut penguasa membutuhkan uang dengan jumlah besar yang disokong oleh para pengusaha yang juga memiliki kepentingan bisnis. Sehingga dalam praktek kekuasaannya, penguasa akan melayani para pengusaha yang telah dianggapnya berjasa dalam usaha meraih kekuasaan. Demokrasi selamanya tidak akan menjadikan rakyat sebagai prioritas untuk disejahterakan.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam, kedaulatan tertinggi ada pada Allah, hukum syariat, sehingga kekuasaan harus disandarkan pada syariat. Hukum tidak dapat diubah-ubah sesuai kehendak pemimpinnya. Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum, sedangkan pemimpinnya sekedar mengambil dan melaksanakannya bukan menjadi pembuatnya.
Maka dari itu, hukum-hukum yang ada tentulah jauh dari kepentingan pribadi penguasa, melainkan hukum yang telah Allah tetapkan untuk manusia. Islam memiliki pengaturan dalam berbagai urusan hidup, ekonomi, politik, Pendidikan, sanksi pidana, kesehatan, semua ada, tinggal dilaksanakan dan meniscayakan keadilan dan kesejahteraan. Selain itu politik dalam Islam adalah pengaturan segala urusan umat dengan aturan Islam, sangat jauh dari kepentingan meraih keuntungan dengan kekuasaan. Pemilihan pemimpin dalam Islam pun sangat diperhatikan kualifikasinya, ada syarat-syarat yang jelas dan memperhatikan suara atau pendapat para tokoh atau ulama’ yang terpercaya. []