Peran Tusuk Lidi Dalam Demokrasi



Penulis: Suryani


Ibarat pepatah ketika ingin membuat makanan pepes ikan. Akan diperlukan tusuk lidi untuk merapatkan bungkus daun pisang sebelum dikukus. Namun ketika pepes ikan sudah matang dan siap dimakan, tusuk lidi itu pula yang pertama kali akan dibuang.


Sebuah filosofi untuk rakyat kecil di moment menjelang pemilu. Rakyat akan begitu dibutuhkan untuk memberikan hak suaranya. Para elit terlihat sedang berusaha keras merebut hati rakyat dengan berbagai cara. Dan ketika hak konstitusional yang dimiliki rakyat diserahkan pada saat pemilu, yang diuntungkan adalah penerima hak konstitusional.


Rakyat hanya mendapatkan kata terima kasih karena demokrasi berjalan dengan baik. Namun dalam perekonomian dan hukum sejatinya rakyat tetap menjadi korban utama. Ya seperti tusuk lidi tadi, begitu pepes ikan matang dan siap makan maka tusuk lidilah yang pertama kali akan dibuang.


Seharusnya, rakyat lebih peka dan sadar dengan apa yang telah dilakukan para elit politik. Pasalnya, rakyat adalah pemilik kedaulatan. Jadi, jangan sampai dimanfaatkan oleh para elit politik. Sebagai pemilik hak konstitusional mari kita bersama-sama menjaga hak kita pada pemilu berikutnya agar cita-cita kita dapat tercapai, sehingga tercipta perubahan yang nyata dalam kehidupan bernegara.


Kecacatan Demokrasi


Kehadiran demokrasi yang 'katanya' menganut prinsip kebebasan, keadilan, dan partisipasi rakyat, menuai banyak masalah ketika diterapkan.


Belakangan ini di negeri kita terjadi pembangkangan terhadap konstitusi yang dilakukan oleh pengawas konstitusi. Seperti yang diketahui bahwa beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi telah merubah kebijakan batas minimal umur capres dan cawapres menjadi 35 tahun dari yang awalnya 40 tahun. 


Publik beranggapan bahwa perubahan tersebut bertujuan agar salah satu anak dari petinggi negara saat ini bisa mencalonkan diri pada Pemilu 2024. Hal tersebut tentu saja menimbulkan polemik menjelang Pilpres.


Salah satu contoh yang mencolok adalah fenomena kampanye yang mengedepankan citra personalitas dan kehidupan sehari-hari para kandidat. Dibandingkan dengan penyampaian visi misi yang substansial, beberapa politisi terlihat lebih fokus pada pencitraan melalui media sosial, reality show, dan aktivitas-aktivitas publik yang menarik perhatian daripada merinci rencana kerja dan solusi konkrit untuk permasalahan bangsa.


Inilah persoalan yang selalu muncul setiap kali pilpres. Politik yang berkeadaban hanya sebatas harapan. Rakyat yang akhirnya jadi korban, belum lagi permasalahan gontok-gontokan di antara sesama rakyat sendiri, hanya untuk membela capresnya.


Pemilu dalam Islam


Berbeda halnya dengan sistem Islam yang menjadikan politik sebagai jalan untuk melayani kepentingan umat. Sebab, politik di dalam Islam bermakna mengurusi urusan umat. Pemilu pun dalam sistem Islam hanyalah sebagai cara alternatif memilih kepala negara, bukan metode baku pengangkatan kepala negara.


Adapun mekanisme pengangkatan pemimpin dalam Islam, efektif dan efisien serta mampu mensejahterahkan hingga level individu. Dan berbiaya sangat murah.


Dalam Islam metode baku pengangkatan kepala negara adalah bay’at syar'i. Sebagai sebuah cara (uslub) pemilu wajib tetap terikat dengan nas-nas syariat tanpa menyelisihinya. Pemilu akan dilaksanakan bila dipandang tepat dan dibutuhkan pada keadaan tertentu. 


Sebab, masa jabatan dalam Khilafah Islamiyah tidak ada periodeisasi, diganti ketika hanya melanggar syariat atau berhalangan menegakkan syariat. Selain itu ada pula cara lain untuk memilih kepala negara (Khalifah), seperti melalui ahlu halli wal aqdi, yang nanti Khalifah terpilih juga akan dibaiat oleh umat. Fiqih Islam cukup rinci dalam mengatur pemilihan Khalifah, hal ini bisa kita pelajari dari kitab-kitab muktabar para ulama. Calon Khalifah harus memenuhi syarat yang ditetapkan syariat. Yakni :

1. Muslim.

2. Laki-laki.

3. Berakal sehat.

4. Baligh.

5. Merdeka.

6. Adil.

7. Dan memiliki kapabilitas mengemban amanah sebagai khalifah, yaitu memahami bagaimana menerapkan syariat Islam dengan benar.


Tugas dan wewenang khalifah juga dibatasi oleh syariat, hanya untuk menerapkan hukum Allah SWT (syariat Islam) secara kaffah. Khalifah tidak punya wewenang membuat hukum, sebab hak membuat hukum hanyalah milik Allah SWT.


Sehingga wajar jika pemilu di dalam Islam tidak memerlukan biaya fantastis dan penyelenggaraannya cukup sederhana. Tidak perlu ada dana kampanye untuk memasang baliho, dana relawan dan obral janji. 


Menyediakan sekolah gratis, kesehatan gratis, BBM murah, infrastruktur yang layak, harga sembako yang terjangkau dan lainnya adalah memang kewajiban khalifah siapapun orangnya. Termasuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok individu per individu adalah tugas negara. 


Mengkomersilkan kebutuhan publik kepada rakyat adalah haram. Khalifah yang sedang menjabat haruslah benar-benar fokus mengurusi urusan rakyat. Kalaupun harus terjadi pergantian pemimpin dengan alasan yang dibenarkan syariat maka proses pemilihan berlangsung dengan sangat singkat, maksimal tiga hari. Setelah itu, khalifah terpilih akan langsung menjalankan tanggung jawabnya mengurusi kemaslahatan rakyat. Sebab, Islam menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari. Dalilnya adalah ijma sahabat pada pembaitan Abu Bakar ra yang sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah SAW.


Maka dari itu, untuk menghadapi konteks ini umat Islam haruslah berjuang agar sistem tata kelola negeri dapat diubah dari kapitalisme yang merusak, diganti dengan sistem yang jauh lebih baik, yaitu Islam. Sistem ini terbukti memberikan kebaikan bagi umat manusia. Inilah sistem yang mampu menghasilkan pemimpin yang berkualitas, yakni pemimpin yang akan menerapkan seluruh aturan Allah SWT dan akan membawa rahmat untuk seluruh alam.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم