Mengukur Netralitas Pemilu dalam Demokrasi




Oleh: Mia Annisa
 
10 camat terancam dipecat karena telah menampilkan kaos jersey dengan nomor yang sama saat laga persahabatan di stadion Chandrabaga. Hal ini terjadi lantaran setelah foto 10 camat itu tersebar. Akibatnya banyak publik menilai bahwa para pejabat itu diragukan netralitasnya karena keberpihakan Paslon tertentu menjelang pemilu 2024 ini. 

Seperti yang sudah disebarkan sebelumnya bahwa ASN maupun TNI harus netral dan tidak boleh menampilkan keberpihakan terhadap calon legislatif maupun yudikatif bahkan presiden di depan umum. Bahkan dijelaskan gerakan dan simbol-simbol apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh ASN maupun TNI. 
Asas netral itu sendiri dimaksudkan agar ASN/TNI bisa melaksanakan tugasnya dengan netral yaitu adil dan tidak memihak siapa pun. 

Hal ini sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 huruf n PP Nomor 94/2021 disebutkan ASN dilarang memberikan dukungan dalam pemilu dengan cara antara lain :

Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye; dan Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.

Diancam sanksi administratif berat, pemberhentian jabatan sampai kurungan pidana. 

Lantas seperti apa dengan fakta dilapangannya selama ini? Apakah benar jika netralitas ini berpengaruh terhadap kerja mereka secara signifikan?

Menurut Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lingkar Madani, banyaknya ASN yang tidak netral menjelang pemilu 2024 sedikit banyak karena alasan pragmatis, sudah menjadi rahasia umum jika mereka memilih, mendukung orang-orang yang berkuasa nantinya akan mendapatkan hal serupa, misal promosi/kenaikan jabatan, dsb. Berikutnya karena adanya tekanan dari kekuatan tertentu yang memiliki potensi untuk melakukan pelanggaran asas pemilu.  

Hal ini wajar sebab dalam pesta demokrasi mereka akan menggunakan cara-cara terselubung agar kelompoknya/paslonnya terpilih pada periode yang akan datang mengingat  kubu petahana memiliki modal yang lebih besar tidak hanya bicara finansial, tapi dengan kewenangan dan kekuasaan yang masih berlangsung. Tidak lagi kenal halal dan haram, semua diterabas untuk melanggengkan kekuasaannya. 

Termasuk dengan menggunaan atribut  artifisial semakin menunjukkan bahwa  masyarakat hari ini memiliki kesadaran politik yang lemah dan taraf berpikir yang rendah. Oleh karena itu cara memperkenalkan paslon hanya dengan wajah, nomor, warna, dan slogan pendek. 

Berbeda dalam sistem Islam tidak ada asas netralitas, karena memang dari awal dipilihnya jajaran-jajaran pemimpin dari paling atas sampai bawah semuanya memang untuk melayani umat. Sedangkan kepemimpinannya tidak diraih hanya dengan poster, kaos, sembako murah dan uang saku maupun nasi bungkus. Tapi semua itu diraih dengan bukti kepedulian, riayah, dan pengabdian nyata yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Dengan demikian, secara alami masyarakat mengenal siapa pemimpinnya.

Itulah yang terjadi saat suara pemilihan pengganti Rasul juga mengerucut pada Saad bin Ubadah dan Abu Bakar. Karena Saad bin Ubadah adalah orang yang diakui kepemimpinannya di kalangan Anshor, sedangkan Abu Bakar kepemimpinannya sudah diakui oleh kaum muhajirin. Wallahu'alam bi shawab.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم