Oleh: Endah Sulistiowati, Tri Widodo _bukan_ Joko & A. M. Pamboedi
Teknologi kecerdasan buatan atau AI dinilai memiliki potensi besar mendorong peralihan jenis pekerjaan. Bagi negara dengan jumlah penduduk besar, seperti Indonesia, kondisi tersebut dapat terjadi pada skala besar. Sektor yang terdampak pada umumnya adalah jenis pekerjaan yang bisa dilakukan AI secara menyeluruh.
Merujuk laporan lembaga riset dan teknologi, McKinsey, bertajuk ”The state of AI in 2022–and a half decade in review”, adopsi AI di lingkungan bisnis perusahaan dunia melonjak lima tahun terakhir. Pada 2022, sebanyak 50 persen responden melaporkan mengadopsi AI di setidaknya satu area bisnis, tumbuh lebih dari 2,5 kali lipat dari tahun 2017 yang hanya 20 persen. Jumlah rata-rata kemampuan AI yang digunakan organisasi juga terus meningkat dari 1,9 pada 2018 menjadi 3,8 tahun 2022.
Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM), Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar seminar nasional dengan tema “Pro dan Kontra Pelaksanaan Tri Dharma dengan Kecerdasan Buatan”, bertempat di Aula Candradimuka, GKB Lt. 9, Kampus Merr-C, UNAIR, Selasa (19-12-2023). Salah satu pematerinya adalah Prof. Dr. Dwi Setyawan S.Si. M.Si. Apt. selaku Dekan FTMM yang membawakan sub-tema “Batasan Etik dan Kebijakan Penggunaan AI di Perguruan Tinggi”.
Prof. Dwi menyebut teknologi tanpa memperhatikan etika dan kebijakan penggunanya bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi dapat digunakan untuk melakukan sesuatu, di sisi lain bisa menimbulkan bahaya atau merugikan. “Peran AI ini begitu menguntungkan bagi berbagai pihak. Namun, kita tetap harus memastikan bahwa apa yang dihasilkan tidak melanggar etika. Oleh karena itu, peran dari dosen pembimbing dan penguji itu tetap diperlukan,” tuturnya.
Kecerdasan buatan atau AI ini memang di sisi lain memberikan kecemasan di tengah masyarakat karena ada beberapa pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja digantikan AI. Namun di sisi lain AI juga dibutuhkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi di tengah revolusi industri 4.0 dan revolusi sosial 5.0.
Dari pendahuluan singkat di atas, penulis mengajukan beberapa permasalahan yang hendak dibahas dan dijadikan bahan diskusi pada kesempatan ini, di antaranya sebagai berikut:
1. Sejauh mana kecerdasan buatan atau AI ini memberikan jawaban atas ancaman resesi di era new normal?
2. Bagaimana kecerdasan buatan atau AI ini dinilai memberi asa bagi masyarakat dalam memperoleh mata pencaharian?
3. Bagaimana Islam memandang perkembangan teknologi termasuk kecerdasan buatan atau AI dalam kehidupan?
Kecerdasan Buatan Atau AI Senyatanya Menjadi Salah Satu Faktor Terjadinya Resesi
Seperti yang telah kita bahas pada materi diskusi pekan kemarin, masih di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian seperti sekarang ini, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih terus menghantui perusahaan-perusahaan. Memasuki 6 bulan pertama 2023 lalu, 'korban' PHK ini semakin hari semakin merajalela.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa kemajuan teknologi telah menjadi salah satu faktor yang turut merubah peradaban manusia dan juga aktifitas kehidupan manusia sehari-hari. Kalaulah dulu, semua aktifitas atau pekerjaan manusia sehari-hari dilakukan secara manual dan melibatkan fisik manusia itu sendiri, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah berhasil ditemukan mesin-mesin ataupun robot-robot, menjadikan sebagian pekerjaan-pekerjaan manual tadi ganti dilakukan oleh teknologi itu.
Dikutip pada laman nationalgeographicdotgriddotid tertanggal 24 Januari 2016, para ahli ekonomi memperingatkan bahwa pekerjaan terampil akan segera tergeser karena munculnya robot-robot yang diciptakan dengan kecerdasan buatan yang dapat menggeser posisi manusia dari pekerjaan atau keahliannya sendiri. Sejauh ini, Robot sudah menggantikan beberapa tenaga kerja manual, melakukan tugas sehari-hari dan semakin intensif. Namun, seiring kemajuan teknologi, mesin cerdas ini akan diciptakan agar mampu melakukan profesi yang lebih terampil.
Robot cenderung akan menguasai sebesar 45% pekerjaan manufaktur pada tahun 2025 mendatang dibandingkan hanya 10% pada saat ini (2016), menurut sebuah penelitian dari Bank of America. Dan munculnya robot-robot cerdas yang sudah ada hanya dapat mempercepat proses tersebut seperti jumlah perangkat yang akan terhubung dengan internet sebanyak 50 miliar pada tahun 2020.
Masih menurut sumber yang sama, revolusi yang akan datang secara dramatis bisa mengubah ekonomi global, dan meningkatkan ketidaksetaraan. Hal tersebut karena sebagian besar pekerjaan diatur dengan biaya yang lebih sedikit, dengan keterampilan menengah, ekonom telah memperingatkan.
Dan entah sebuah kebenaran atau tidak, tentulah masih teringat ketika Covid 2019 melanda dunia termasuk paling lama mendera Indonesia, efisiensi biaya operasional pada sebagian besar bidang usaha mulai dilakukan, termasuk PHK mulai menyeruak di tanah air kala itu. Masyarakat dipaksa untuk mengurangi aktifitasnya di luar rumah, baik pelajar, karyawan, hingga pegawai pemerintahan itu sendiri. Jika memang terpaksa ke luar dari rumah, diwajibkan mematuhi protokol kesehatan yang ketat. Bekerja dari rumah dengan memanfaatkan teknologi informasi, yang di dalamnya termasuk penerapan kecerdasan buatan, mulai kokoh digalakkan.
Sebenarnya, resep tersebut merupakan resep dari WHO yang kemudian disebut sebagai _New Normal_. Intinya, setelah diajak “bersembunyi dalam goa” cukup lama, masyarakat kemudian diajak lagi keluar dari persembunyiannya secara pelan-pelan dan diberi kesempatan melakukan berbagai kegiatan sosial dan ekonomi lagi.
Pemerintah Indonesia tidak ketinggalan juga segera mengadopsi gagasan tersebut, meskipun sebenarnya Indonesia belum sepenuhnya memenuhi syarat untuk menerapkan _New Normal_ ini jika dilihat dari kurva COVID-19. Namun demikian karena berbagai pertimbangan seperti variasi penyebaran kurva COVID-19 yang berbeda-beda antardaerah dan juga perlunya segera memulihkan kembali aktivitas ekonomi untuk mencegah Indonesia terjerumus dalam jurang resesi, maka tidak ada pilihan, kebijakan _New Normal_ atau juga kemudian disebut sebagai adaptasi kebiasaan baru ini kemudian diterapkan.
Resesi ekonomi memang menjadi momok yang menyeramkan bagi seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Ekonomi dunia saat ini memang sedang tidak baik-baik saja, terutama selepas pandemi Covid-19 mereda.
Pasca Covid-19, perilaku konsumen tidak akan kembali normal sebagaimana sebelum pandemi. Konsumen akan lebih banyak melakukan aktivitas belanja secara online, sementara mereka yang bekerja akan lebih banyak mengerjakan tugasnya secara jarak jauh. Saat perusahaan mulai menavigasi dunia pasca Covid-19 dan ekonomi perlahan mulai pulih, penerapan AI akan sangat membantu dalam beradaptasi dengan New Normal.
Namun, seperti dikutip dari laman Forbes, terdapat beberapa hal yang bisa menimbulkan terjadinya resesi, mulai dari terjadinya guncangan hebat secara tiba-tiba, sampai dampak dari inflasi yang tidak bisa dikendalikan. Resesi ekonomi diartikan sebagai penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan dalam waktu stagnan dan lama, mulai dari berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
Resesi ekonomi bisa memicu penurunan keuntungan perusahaan, meningkatnya pengangguran, hingga kebangkrutan ekonomi. Penyebab terjadinya resesi adalah hal-hal terkait ekonomi dan teknologi yang saling berkaitan, antara lain:
1. Utang yang Berlebihan
Ketika individu atau bisnis mengajukan terlalu banyak utang, maka biaya untuk bisa melunasi utang tersebut bisa meningkat ke posisi di mana mereka sudah tidak sanggup lagi untuk membayar utangnya. Ketika mereka sudah tidak bisa lagi membayar utang hingga pada akhirnya mereka bangkrut, maka hal tersebut bisa membuat perekonomian menjadi buruk sampai terjadi resesi.
2. Terlalu Banyak Inflasi
Inflasi adalah suatu tren harga yang bergerak stabil dan naik seiring perkembangan waktu. Inflasi sebenarnya bukanlah hal yang buruk, tapi inflasi yang terjadi secara berlebihan bisa jadi sangat berbahaya. Inflasi terjadi dalam kurun waktu yang lama bisa menimbulkan gejolak resesi ekonomi. Untuk itu, bank sentral harus bisa mengendalikan inflasi dengan cara meningkatkan suku bunga guna menekan kegiatan ekonomi pada negaranya.
3. Guncangan Ekonomi Secara Mendadak
Hal pertama yang menjadi penyebab terjadinya resesi ekonomi adalah terjadinya guncangan ekonomi secara mendadak sehingga menimbulkan masalah keuangan yang sangat serius. Contohnya seperti guncangan ekonomi akibat pandemi Covid-2019 yang melanda dunia.
Sebagian besar negara di dunia merasakan dampak langsung dari pandemi tersebut pada ekonomi. Ini ditandai dengan lemahnya daya beli masyarakat di negara tersebut akibat kesulitan finansial. Kondisi tersebut telah membuat perekonomian negara menjadi buruk dan menghadapi resesi.
4. Terlalu Banyak Deflasi
Selain inflasi, sebenarnya deflasi juga mampu menyebabkan terjadinya penurunan ekonomi. Deflasi adalah saat harga mengalami penurunan dalam suatu periode waktu, sehingga akan menekan harga barang. Ketika deflasi menjadi tidak terkendali, maka bisnis bisa berhenti karena tidak ada orang yang mempunyai daya beli, walaupun harganya sudah diturunkan. Jika hal tersebut dibiarkan, maka penurunan ekonomi bisa terjadi kapan saja.
5. Perubahan Teknologi
Perubahan pada bidang teknologi pun ternyata bisa menyebabkan penurunan ekonomi. Penemuan teknologi terbaru memang bisa meningkatkan produktivitas dan membantu perekonomian dalam jangka waktu yang panjang. Namun, akan ada suatu periode penyesuaian dalam penggunaan teknologi terbaru, yang bisa memberikan dampak pada kegiatan ekonomi.
Hal tersebut sebelumnya pernah terjadi saat abad ke-19 lalu, ketika terjadi gelombang peningkatan teknologi yang membuat negara manusia menjadi tidak terlalu diperlukan lagi. Revolusi industri yang terjadi pada kala itu membuat banyak sekali profesi yang dibutuhkan oleh manusia menjadi tidak lagi dibutuhkan, sehingga bisa memicu penurunan ekonomi hingga menyebabkan masa-masa yang sulit.
Laman resmi Forbes menyatakan bahwa sudah cukup banyak ahli ekonomi saat ini yang mengkhawatirkan bahwa artificial intelligence atau AI atau kecerdasan buatan yang berasal dari robot bisa menyebabkan terjadinya penurunan. Kenapa? Karena hal tersebut bisa menghapuskan semua kategori pekerjaan yang memerlukan tenaga manusia.
Kehadiran AI Merisaukan Bagi Masyarakat Dalam Memperoleh Mata Pencaharian
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) memberikan dampak positif dan negatif pada kehidupan manusia secara keseluruhan. Kecerdasan buatan telah menjadikan kehidupan lebih mudah. Smartphone yang kita pegang seringkali berfungsi sebagai asisten pribadi yang terkadang memiliki pengetahuan lebih banyak daripada kita sendiri. Berbagai aplikasi di smartphone mampu mengingatkan kita jika kita lupa berolahraga atau memberikan saran tempat yang dapat memberikan penyegaran dan inspirasi baru. Algoritma-algoritma dalam media sosial semakin mampu mengenali penggunanya dengan menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi setiap pengguna. Seiring berjalannya waktu, algoritma ini menjadi semakin canggih dan dalam beberapa hal semakin cerdas.
Meskipun begitu, perlu diakui bahwa temuan yang mengagumkan ini membawa sejumlah tantangan yang berkaitan langsung dengan kehidupan manusia. Keberadaan kecerdasan buatan telah mengubah banyak sistem dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk yang paling dekat seperti ekonomi, pendidikan, ketenagakerjaan, dan pemerintahan. Kemajuan teknologi kecerdasan buatan yang digabungkan dengan Internet of Things (IoT) telah mengubah cara manusia berpikir, bertindak, dan menjalani aktivitas sehari-hari. Perubahan ini terjadi dengan cepat, lebih cepat daripada yang pernah dibayangkan sebelumnya, sehingga menciptakan disrupsi yang juga mengubah pandangan dan perilaku masyarakat di era kecerdasan buatan ini. Oleh karena itu, tidak heran jika sering kali kita mendengar istilah disrupsi AI atau disrupsi kecerdasan buatan.
Disrupsi adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari ketika terobosan baru mampu mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat dalam waktu singkat. Disrupsi akan semakin terasa signifikan jika inovasi atau ide baru itu memasuki pasar. Di pasar, persaingan menjadi sesuatu yang pasti. Dalam konteks kecerdasan buatan, disrupsi dalam pasar akan tercermin melalui persaingan antara manusia dan teknologi kecerdasan buatan itu sendiri dalam melaksanakan suatu pekerjaan, dengan pertimbangan untung-rugi bagi perusahaan atau pemberi kerja.
Secara otomatis, banyak pekerjaan akan beralih ke mesin cerdas. Meski begitu, peluang di bidang profesi baru akan muncul. Perlu usaha dan keterampilan untuk beradaptasi dengan tantangan yang ada. Banyak yang akan kehilangan pekerjaan mereka sekaligus ada kekhawatiran di kalangan generasi muda yang mungkin belum siap menghadapi dunia kerja baru yang menuntut kualifikasi lebih tinggi karena perkembangan kecerdasan buatan. Perubahan ini akan menciptakan kelas ekonomi dan sosial baru serta meningkatkan kesenjangan sosial karena ketidaksetaraan akses terhadap teknologi kecerdasan buatan.
Sepanjang sejarah, perkembangan teknologi telah memberikan dampak signifikan pada kehidupan manusia. Istilah "revolusi industri" telah digunakan untuk menggambarkan perubahan cepat dan radikal dalam waktu singkat. Revolusi Industri 1.0, yang melibatkan penemuan mesin uap, mengubah cara manusia bekerja dengan lebih cepat dan efisien, memungkinkan perjalanan jauh, dan membawa dampak besar melalui penemuan mesin. Revolusi 2.0, dengan ditemukannya listrik, memungkinkan produksi massal, membuat barang lebih mudah dan murah diperoleh, serta menyederhanakan banyak aspek kehidupan. Revolusi 3.0, yang diawali oleh penemuan komputer, semakin mempermudah produksi massal dan mengurangi batas sosial antarnegara dengan mempercepat aliran informasi melalui komputer.
Saat ini, kita memasuki era Revolusi Industri 4.0, di mana kecerdasan buatan menjadi kekuatan utama yang mendorong perubahan. Pekerjaan menjadi lebih mudah, dengan robot-robot yang dapat mengambil peran manusia dalam pekerjaan yang tidak lagi memerlukan kehadiran manusia secara langsung, terutama dalam pekerjaan yang dapat diotomatisasi. Kecerdasan buatan juga telah menggantikan peran manusia dalam layanan administrasi atau pelanggan, seperti halnya petugas administrasi atau customer service. Revolusi ini mengubah cara kita bekerja dan berinteraksi dengan teknologi secara signifikan.
Lonjakan tiba-tiba dalam penggunaan aplikasi kecerdasan buatan (AI) telah menimbulkan kekhawatiran akan perubahan teknologi yang cepat dan potensial untuk mengguncang pasar tenaga kerja dalam proporsi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kenaikan risiko pengangguran, yang dapat disebabkan oleh kehadiran robot atau inovasi seperti kecerdasan buatan, menciptakan tantangan baru. Meskipun inovasi ini dapat membawa efisiensi dan peningkatan produktivitas yang signifikan melalui penggunaan robot dan komputer, tetapi juga membawa dampak serius terhadap lapangan kerja manusia.
Sebuah studi terhadap organisasi nirlaba yang berpusat di London mencatat potensi pekerjaan di Amerika Serikat yang paling rentan terhadap penggantian oleh komputerisasi. Pekerjaan yang mungkin digantikan oleh komputer meliputi administrator kantor, staf pusat panggilan, pustakawan, peternak dan petani tanaman, penebang kayu, penambang, penjual mobil, serta staf hotel. Pekerjaan yang sangat kreatif juga diidentifikasi sebagai rentan terhadap perubahan akibat penggunaan teknologi.
Selain itu, laporan dari Bank of America Merrill Lynch pada tahun 2015 menunjukkan potensi peningkatan ketidaksetaraan sebagai dampak dari peningkatan otomatisasi. Laporan tersebut merujuk pada penelitian dari Universitas Oxford yang menyatakan bahwa hingga 35% dari seluruh pekerja di Inggris dan 47% di Amerika Serikat berisiko mengalami penggantian oleh teknologi dalam 20 tahun ke depan. Bank Dunia pada tahun 2016 juga melaporkan bahwa di negara-negara berkembang, persentase pekerjaan yang dapat digantikan oleh kecerdasan buatan adalah 69% di India, 72% di Thailand, 77% di Cina, dan 85% di Ethiopia.
Analisis mengenai dampak perubahan teknologi pada pekerjaan didasarkan pada tiga asumsi utama. Pertama, diasumsikan bahwa ketika tugas-tugas digantikan oleh mesin, seluruh pekerjaan secara instan hilang. Kedua, pasokan pekerjaan diasumsikan tidak elastis, mengakibatkan perubahan dalam permintaan tenaga kerja ketika pekerja tidak dapat mengoperasikan robot atau kecerdasan buatan yang menggunakan teknologi tinggi. Ketiga, peningkatan permintaan yang mungkin terjadi melalui produktivitas yang lebih tinggi seharusnya didistribusikan secara merata di seluruh sektor, tanpa memandang sejauh mana otomatisasi telah terjadi. Akibatnya, sektor-sektor dengan tingkat otomatisasi yang lebih tinggi dapat mengalami penurunan relatif.
Perkembangan Teknologi dan AI dalam Pandangan Islam
Islam sangat mendukung umatnya untuk menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Dalam hal pengembangan Iptek, umat Islam dapat mempelajarinya dari orang-orang no-Islam, disamping juga dapat mengembangkan Iptek dari spirit ajaran Islam sendiri. Oleh karena produk keilmuan yang datang dari orang-orang non-Islam –secara umum- bersifat sekuleristik, maka setelah dipelajari, sebelum diadopsi dan diterapkan di dunia Islam, penting untuk terlebih dahulu dikaji apakah mengandung ajaran/nilai dari peradaban atau ideologi lain ataukah tidak. Jika mengandung nilai dari peradaban lain maka kita tidak akan mengambilnya.
Jika berbicara tentang sejarah perkembangan teknologi sejak dulu hingga kini tidak terjadi secara kebetulan atau mendadak, melainkan terjadi secara bertahap, terstruktur dan evolutif. Artinya perkembangan teknologi terjadi dari masa ke masa. Dari masa nabi terdahulu, masa Rasulullah hingga di masa kejayaan Islam sebelum ke-Khilafahan Islam runtuh.
Sejarah perkembangan teknologi dalam dunia Islam pada tahun 700-an di masa Bani Umayyah, Ahli ilmu geografi Islam dan navigator-navigatornya mempelajari jarum magnet mungkin dari orang Cina, namun para navigator itulah yang pertama kali menggunakan jarum magnet dan menerapkannya di dalam pelayaran. Mereka menemukan kompas dan menguasai penggunaannya di dalam pelayaran menuju ke Barat. Navigator-navigator Eropa bergantung pada juru-juru mudi Muslim dan peralatannya ketika menjelajahi wilayah-wilayah yang tak dikenal. Gustav Le Bon mengakui bahwa jarum magnet dan kompas betul-betul ditemukan oleh Muslim dan orang Cina hanya berperan kecil.
Pada tahun 813, di masa Khalifah Maimun Ibnu Harun Al Rasyid, didirikanlah Daru Al-Hikmah atau Akademi Ilmu Pengetahuan pertama yang ada di dunia, yang mana terdiri dari perpustakaan, pusat pemerintahan, obsevatorium bintang dan Universitas.
Pada tahun 850, Ahli kimia Islam menghasilkan kerosin (minyak tanah murni) melalui penyulingan produk minyak dan gas bumi (Encyclopaedia Britannica, Petroleum) lebih dari 1.000 tahun sebelum Abraham Gesner, orang Inggris, mengaku sebagai yang pertama menghasilkan kerosin dari penyaringan aspal.
Perkembangan teknologi di dunia Islam memang tidak boleh dianggap sebelah mata. Inovasi-inovasi baru sangat didukung oleh Khalifah. Sehingga Islam sebelum keruntuhannya berkembang menjadi peradaban maju yang modern.
Namun ada yang harus diperhatikan dalam perkembangan teknologi ini. Peran Islam dalam perkembangan Iptek yang tidak boleh dilupakan setidaknya ada dua yaitu:
Pertama, menjadikan aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan.
Kedua, menjadikan syariah Islam (yang lahir dari aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari.
Termasuk perkembangan teknologi kecerdasan buatan atau AI yang lagi viral saat ini, maka Islam akan meninjau kembali. Apakah teknologi AI ini aman digunakan ataukah tidak. Namun jika memang AI mau tidak mau masuk ke dunia Islam karena perkembangan teknologi. Maka tugas negara yang akan menyiapkan masyarakat agar bijak menggunakan teknologi AI ini. Baik di dunia pendidikan ataupun dunia kerja yang paling banyak terdampak dari teknologi AI ini. Wallahu'alam.