Oleh: Siti Fatimah (Pemerhati Sosial dan Generasi)
Berhutang dalam pandangan Islam tidak dilarang, tidak diharamkan. Siapapun boleh berhutang asalkan hutang tersebut dibayar dan tidak menzalimi. Hal yang paling penting adalah berhutang tanpa RIBA, karena Allah dengan tegas melarang aktifitas yang menjurus pada kegiatan Ribawi. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّ ۗ ذٰلِكَ بِاَ نَّهُمْ قَا لُوْۤا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰوا ۘ وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا ۗ فَمَنْ جَآءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَا نْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَ ۗ وَاَ مْرُهٗۤ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَا دَ فَاُ ولٰٓئِكَ اَصْحٰبُ النَّا رِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni npendaeraka, mereka kekal di dalamnya."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 275).
Namun, apa jadinya bila negara yang berhutang dan hutang itu mengandung RIBA didalamnya? Tentu hal ini sangat berbahaya bukan?
Negara dengan track record hutang terbanyak seperti Srilangka faktanya membawa negara itu dalam keterpurukan. Ketergantungan terhadap impor dan juga pembangunan infrastruktur ( melalui proyek BRI dari China) yang tidak memberikan keuntungan bagi perekonomian ditambah dengan kondisi ekonomi dalam negeri yang tidak stabil sehingga negeri Air Mata India ini tak mampu membayar hutang-hutangnya yang semakin membengkak.
Seharusnya ini dapat memberikan pelajaran bagi penguasa negeri ini sebelum mengalami hal yang serupa. Tidak seharusnya ada pernyataan bahwa hutang yang dimiliki negeri ini masih dalam batas aman. Dimanakah harga diri negara dengan julukan Zamrud Katulistiwa yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang berlimpah? Mengapa dengan kekayaan itu tidak bisa membawa rakyat pada kemakmuran dan justru terjerumus dalam hutang Luar Negeri?
Seorang ekonom dari Universitas Brawijaya Malang Hendi Subandi mengatakan bahwasanya ratio utang luar negeri Indonesia masih bisa dikatakan aman, mengingat utang tersebut adalah utang produktif. Utang dimana dana yang didapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur yang mampu memberikan dampak positif dalam jangka panjang.
Sebagai informasi, utang pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga November 2023 tercatat menembus Rp8.041 triliun. Angka ini naik Rp487 triliun dibandingkan November 2022. Dengan jumlah tersebut, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) per 30 November 2023 adalah 38,11 persen atau naik dari bulan sebelumnya pada level 37,95 persen (viva.co.id, 30/12/2023)
Lantas siapa yang akan membayarkan utang-utang senilai Rp8.041 T tersebut?
Dalam jangka panjang akumulasi hutang luar negeri menjadi tanggung jawab negara dan menjadi beban rakyat, ini sama artinya dengan mengurangi tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebab pembangunan dari hutang itu bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (catatanhukum.com)
Sumber pemasukan negara saat ini berasal dari pendapatan negara dan penerimaan pembayaran. Pendapatan negara berasal dari perpajakan, PNPB dan hibah. Sementara itu penerimaan pembayaran diperoleh dari dana pinjaman. Itulah sebabnya disaat negara memiliki jumlah utang yang tinggi rakyat patut untuk merasa khawatir karena rakyatlah yang harus menanggung beban utang yang diambilkan dari sektor pembayaran pajak.
Negara-negara pemberi utang tentu merasa senang dan akan tetap terus-menerus memberi pinjaman karena itu sangat menguntungkan bagi mereka. Namun bagi negara yang berhutang ini suatu malapetaka karena kedaulatan negara sedang dipertaruhkan.
Sistem pemerintahan dalam Islam tidak akan mau mengambil resiko yang membahayakan negara. Utang boleh dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Untuk pembangunan infrastruktur hanya boleh dilakukan apabila kebutuhan akan pembangunan tersebut bersifat mendesak. Tidak dibenarkan membangun secara membabi-buta apa lagi dibiayai oleh investor. Investasi benar-benar dilarang dalam Islam terlebih investasi asing. Pemerintahan islam tidak menjadikan utang sebagai salah satu sumber penerimaan keuangan negara.
Sumber-sumber pendapatan negara Islam diperoleh dari 3 sektor, yaitu sektor individu berupa zakat, sedekah, hibah dan lain sebagainya. Sektor umum diperoleh diantaranya dari pengelolaan Sumber Daya Alam yang berupa tambang, gas, minyak, batu bara, hutan dan lain sebagainya. Sektor negara yaitu dari jizyah, kharaj, usyur, ghanimah, fa'i dan lain sebagainya.
Sumber penerimaan kas negara dalam Islam begitu banyaknya, terutama dalam pengelolaan SDA yang melimpah akan benar-benar dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan umat. Rakyat terjamin hidupnya dan juga keamanannya. Utang berbasis Riba jelas tidak akan ditempuh meskipun benar-benar sangat dibutuhkan karena sebagai umat Islam harus patuh dan taat terhadap hukum-hukum Allah SWT.
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
"Rasulullah ﷺ mengutuk orang yang makan harta riba, yang memberikan riba, penulis transaksi riba dan kedua saksi transaksi riba. Mereka semuanya sama (berdosa)." (HR Muslim).
Wallahu'alam bishshawab.[]