Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar memaparkan upaya Indonesia menekan kebakaran hutan dan lahan dalam COP28 di Expo City, Dubai, Uni Emirat Arab. Pemerintah Indonesia, paparnya, juga memastikan bahwa Indonesia hanya menjadi kontributor kecil terhadap emisi kebakaran global, yang tidak lain adalah salah satu dampak perubahan iklim yang paling signifikan.
Prioritas Indonesia, katanya, adalah untuk memastikan target-target iklim Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 berjalan sesuai rencana. Dengan begitu, Indonesia dapat mencapai tujuan yang lebih jauh lagi, yakni peningkatan Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. (CNBC Indonesia, 30-11-2023).
Mengenal Indonesia’s FOLU Net Sink 2030
Sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement), Indonesia berkewajiban turut andil dalam upaya penekanan emisi karbon. Ambisi tersebut diperkuat dengan terbitnya Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) secara nasional serta pengendalian emisi gas rumah kaca (GRK) dalam pembangunan nasional. Perpres tersebut juga memuat tentang Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Target Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 sejatinya diluncurkan di COP26 Glasgow, dan telah diteken Presiden Jokowi pada Oktober 2021. Sebagai informasi, FOLU (forest and other land use, sektor kehutanan dan penggunaan lahan) net sink adalah keadaan ketika jumlah karbon yang diserap oleh sektor hutan dan lahan sama atau lebih besar dari emisi yang dihasilkannya.
Namun target ini tentu saja sangat ambisius bagi Indonesia, mengingat sektor hutan dan lahan masih menyumbang 40% dari total emisi GRK. Meski demikian, di COP28, Siti Nurbaya mengeklaim bahwa FOLU Net Sink 2030 adalah target yang mengukuhkan komitmen dan langkah Indonesia dalam mengantisipasi perubahan iklim.
Pelaksanaannya, katanya, tidak hanya sekedar janji di atas kertas, melainkan sudah dibuktikan lewat aksi iklim nyata di lapangan secara konsisten. Ia juga menegaskan bahwa sekitar 60% pengurangan emisi di Indonesia, berasal dari sektor FOLU. Hal ini, klaimnya, menggarisbawahi peran penting FOLU Net Sink 2030 dalam berkontribusi terhadap perjuangan global melawan krisis iklim.
Program yang Dipaksakan?
Mengutip laman resmi Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK) KLHK (9-5-2023), proyeksi target FOLU Net Sink 2030 adalah angka net sink 140 juta ton CO2eq, artinya emisi negatif sebesar 140 juta ton CO2eq.
Wajar jika pemerintah merasa sangat berkepentingan untuk menjalankannya. Apalagi, FOLU Net Sink 2030 ini memerlukan sumber daya yang sangat besar, sehingga pemerintah memerlukan dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak, baik lintas Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat.
Hanya saja, apakah FOLU Net Sink 2030 ini akan efektif? Tidakkah FOLU Net Sink 2030 ini terkesan sebagai program yang dipaksakan, bahkan bisa menjadi simalakama bagi Indonesia?
Pasalnya, di satu sisi FOLU Net Sink 2030 dijajakan kepada dunia internasional sebagai solusi perubahan iklim global. Sebaliknya di sisi lain, di dalam negeri Indonesia nyatanya masih menyimpan potensi karhutla yang sebenarnya juga sarat kepentingan kapitalistik dari pihak yang lain lagi. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa karhutla adalah jalan pintas bagi para pengusaha untuk membuka lahan usaha, seperti lahan sawit.
Jika demikian, lantas mampukah FOLU Net Sink 2030 ini Indonesia jalankan dalam rangka menyolusi perubahan iklim?
Kredit Karbon
Tidak hanya menawarkan FOLU Net Sink 2030 dalam rangka mengatasi perubahan iklim, Indonesia juga menawarkan diri sebagai penyedia kredit karbon. Ini sebagaimana pernyataan Menkeu Sri Mulyani di Voluntary Carbon Market (VCM) atau pasar karbon sukarela. (iNews[dot]id, 5-12-2023).
Menurutnya, sejak 2016-2020, kontribusi Indonesia pada VCM Asia telah mencapai 15% (31,7MTon CO2e), dengan estimasi nilai transaksi offset (penyeimbangan) karbon sebesar 163 juta dolar AS yang didominasi sektor FOLU. Indonesia juga memiliki potensi besar untuk menjadi penyedia kredit karbon berbasis alam dengan mekanisme offset yang mencapai 1,3 gigaton CO2e dan senilai 190 miliar dolar AS.
Sementara itu, dari sisi kredit karbon berbasis teknologi yang mulai diperdagangkan pada Indonesia Carbon Exchange (IDXCarbon) per 25-10-2023, tercatat sebanyak 464,843 ton CO2e diperdagangkan dengan nilai Rp69.900/unit karbon (4,43 dolar AS/ton CO2e) dengan total nilai mencapai 1,85 juta dolar AS. Hal ini, jelasnya, menunjukkan potensi ke depan yang masih luar biasa besar.
Ia juga menegaskan bahwa Kemenkeu akan berperan sebagai katalisator dalam pengembangan pasar karbon yang efektif dan efisien, serta mendorong investasi rendah karbon dan percepatan transisi menuju masa depan yang lebih sustainable. Kemenkeu, lanjutnya, juga terus berupaya meningkatkan mobilisasi dari pasar internasional melalui kebijakan perdagangan karbon lintas batas bersama kementerian lain khususnya Kementerian KLHK.
Atas dasar ini, konsep pasar karbon sangat berkelindan dengan target FOLU Net Sink 2030, juga kebijakan-kebijakan lain seputar isu perubahan iklim yang diluncurkan pemerintah, seperti EBT dan kendaraan listrik. Namun pada intinya, di setiap jengkal kebijakan tersebut menyimpan potensi investasi dan kapitalisasi.
Demi Apa dan Siapa?
Kita harus tahu, mekanisme offset karbon sebagaimana yang dinyatakan oleh Sri Mulyani, dilakukan oleh perusahaan untuk menyeimbangkan dampak iklim dan mengompensasi emisi yang mereka hasilkan.
Mekanisme offset karbon ini bertujuan untuk menghilangkan emisi CO2 yang dihasilkan di satu tempat dengan tindakan mengurangi emisi di tempat lain. Beberapa bentuk mekanisme offset karbon di antaranya seperti reboisasi, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, akses air bersih, turbin angin, serta investasi di bidang energi terbarukan.
Hanya saja meski tampak baik, tetap saja FOLU Net Sink 2030 dan kredit karbon adalah bagian dari keragaman pintu masuk investasi dan kapitalisasi. Jika memang benar pemerintah serius memikirkan kepentingan rakyat, semestinya yang dilakukan adalah penanggulangan tuntas terhadap karhutla di dalam negeri. Pasalnya, karhutla jelas berkontribusi pada terjadinya emisi karbon. Lebih dari itu, karhutla juga berdampak langsung kepada rakyat setempat, baik itu dari sisi ekonomi maupun kesehatan fisik akibat kabut asap.
Namun coba kita cerna, untuk apa dan demi kepentingan siapa pemerintah berbusa-busa mempromosikan FOLU Net Sink 2030 dan menawarkan kredit karbon di hadapan dunia internasional, apalagi ternyata keduanya tidak berefek positif bagi rakyat?
Tentu saja karena dengan kedua program itu, begitu pula dengan data yang dipamerkan dalam COP28, pemerintah hendak menarik investor asing untuk masuk ke negara kita.
Tidak Efektif
Sungguh, FOLU Net Sink 2030 bukanlah solusi yang efektif untuk mengatasi perubahan iklim global. Apalagi Indonesia sendiri bukanlah negara industri yang berkontribusi langsung pada timbulnya emisi karbon berskala besar.
Adanya FOLU Net Sink 2030 justru menjerumuskan Indonesia dalam lingkaran hitam di antara negara-negara kapitalis besar sehingga membuat Indonesia terjerat dan terjebak. Kondisi ini mustahil membuat Indonesia mampu menyolusi perubahan iklim tanpa intervensi negara-negara besar itu.
Lebih buruknya lagi, negara kita selanjutnya akan menjadi bulan-bulanan negara-negara kapitalis besar. Padahal, sejatinya merekalah yang memiliki modal, mereka yang merusak lingkungan melalui emisi karbon besar-besaran, tetapi negara kita yang ditumbalkan. Inilah alasan penting bagi Indonesia agar menjadi negara mandiri, bukan negara pembebek bagi negara-negara besar itu.
Format Negara Mandiri
Sebuah negara mandiri tidak akan mudah tergiur dengan iming-iming cuan kapital yang ditawarkan oleh negara adidaya kapitalis. Negara mandiri adalah negara yang mampu mengatur sendiri arah pandang negara beserta seluruh kebijakannya.
Namun tentu saja untuk bisa menjadi negara mandiri dan lepas dari hegemoni adidaya kapitalis, suatu negara harus berjalan berdasarkan ideologi yang berbeda dari kapitalisme.
Kapitalisme sudah kita kenal sebagai ideologi yang selalu menghasilkan kezaliman karena ia ideologi batil. Negara berideologi sosialisme-komunisme pun bukan pilihan, karena ideologinya sama-sama batil.
Oleh karena itu, lawan yang sepadan adalah negara pengemban ideologi sahih, yakni ideologi Islam. Negara pengembannya pun bukan negara demokrasi, melainkan Khilafah Islamiah. Negara inilah yang mampu menjalankan kebijakan secara mandiri bahkan mampu mendunia, tanpa intervensi negara lain.
Allah Taala berfirman, “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai (32). Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai (33).” (QS At-Taubah [9]: 32-33).
Wallahualam bissawab.[]