Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.
Polisi berhasil membongkar praktik aborsi ilegal yang berada di salah satu apartemen di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Lima orang perempuan ditangkap, termasuk pelaku yang berperan sebagai dokter. Mirisnya, orang yang berperan sebagai dokter dan asistennya, tidak memiliki latar belakang medis. Mereka hanya lulusan SMA dan SMP.
Para pelaku mengaku sudah menjalankan dua bulan menjalankan praktik aborsi ilegal selama dua bulan. Dalam kurun waktu tersebut, mereka sudah 20 kali melakukan praktik aborsi. Sementara itu, tarif yang ditetapkan untuk masing-masing pasien berbeda-beda, yakni berkisar Rp10 juta sampai Rp12 juta. (Medcom, 21-12-2023).
Memprihatinkan
Menyikapi fenomena sosial ini, sosiolog Musni Umar, menyatakan bahwa kasus ini adalah satu fenomena sosial yang memprihatinkan. Melihat perkembangan media sosial, terangnya, begitu banyak orang yang terlibat dalam praktik menjual diri melalui platform tersebut. Ini menjadi pemicu bagi pelaku laki-laki untuk memanfaatkannya tanpa memahami konsekuensinya. (RRI, 21-12-2023).
Menurutnya pula, fenomena ini tidak lepas dari kondisi ekonomi sulit yang dialami oleh sebagian masyarakat. Ia juga menyatakan beberapa hal yang bisa menjadi penyebab, seperti tidak memiliki penghasilan yang cukup, baik bagi mereka yang bekerja di sektor swasta maupun pemerintah. Selain itu, terbatasnya latar belakang pendidikan sehingga mereka sulit mendapatkan pekerjaan dengan gaji memadai.
Ia juga mengaitkan kasus aborsi ilegal ini dengan pergaulan bebas yang berkembang di masyarakat hingga mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan. Selain upaya menangkap pelaku, ia pun memaparkan sejumlah solusi, seperti pentingnya pendidikan keluarga yang menempatkan peran ibu selaku pendidik utama. Demikian halnya dengan membangun kesadaran moral dan spiritual di masyarakat. Orang tua dan guru, tegasnya, perlu terus menyampaikan pesan-pesan moral agar anak-anak tidak terjerumus dalam pergaulan bebas tersebut.
Lemahnya Sistem Sanksi
Di antara celah yang sering dimanfaatkan untuk melakukan praktik aborsi adalah lemahnya sistem sanksi dalam kasus tersebut. Terlebih jika ditarik ke belakang lagi, yakni latar belakang perbuatan bejat pelaku yang tidak lain adalah pacaran dan perzinaan, sistem sanksinya juga tidak kalah lemahnya.
Dalam UU TPKS sekalipun, sanksi seputar tindak pidana pergaulan bebas nyatanya tidak diatur. Dalam UU tersebut, aktivitas pacaran, perzinaan, maupun seks bebas tidak bisa dikategorikan sebagai tindak kekerasan seksual. Akibatnya, pelaku pacaran, perzinaan, maupun seks bebas, menurut UU tersebut juga tidak dapat dihukum, terlebih jika perbuatan haram tersebut dilakukan secara suka sama suka.
Jikalau pada akhirnya si pelaku dijatuhi sanksi, maka hal itu hanya dikenakan pada tindakan aborsinya. Itu pun jika dianggap terkategori aborsi ilegal. Sedangkan aborsi yang legal/aman meski tanpa rekomendasi medis, tidak dijatuhi sanksi.
Pasalnya, latar belakang medis pelaku tindak aborsi, seringkali menjadi alasan kebolehan perbuatan tersebut dengan dalih “aborsi aman”. Asal tahu saja, baik yang aman terlebih yang tidak aman (ilegal), aborsi tetaplah perbuatan kriminal yang sama dengan pembunuhan. Aborsi ilegal bahkan bisa lebih membahayakan ibu si janin, selain memang bertujuan membunuh si janin. Ini justru sama saja dengan menghilangkan dua nyawa sekaligus.
Jelas, ini semua adalah cara pandang sekuler dan liberal. Wajar jika akhirnya aborsi marak, bahkan dianggap solusi praktis bagi kehamilan tidak diinginkan, khususnya kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas.
Tipuan Arus Global
Mirisnya, arus global hak reproduksi selalu menyerukan pentingnya mengenal hak seksual dan reproduksi. Alasannya, dengan mengenal dan memahami keduanya, masyarakat bisa melindungi, memperjuangkan dan membela hak seksual dan reproduksi mereka dari berbagai tindak kekerasan dan serangan terhadap hak seksual dan reproduksi tersebut.
Hal ini jelas tipuan semata. Sungguh tidak pada tempatnya menyerukan hak seksual dan reproduksi di forum-forum umum dan terbuka tanpa ada keluarga/mahram yang berwenang sebagai pendamping bagi anak-anak kita maupun kalangan generasi lainnya. Apalagi jika sasarannya adalah anak usia dini atau prabaligh, ini tentu berbahaya.
Jika hal ini terjadi, apalagi tanpa landasan sahih, maka akan memberikan celah bagi pemikiran sekuler dan liberal untuk menyesatkan masyarakat karena hak seksual dan reproduksi akan dilandaskan pada hak asasi manusia (HAM) belaka. Sedangkan HAM adalah produk batil sistem sekuler dan liberal itu sendiri.
Namun demikian, jika memang generasi muda harus mengenal informasi seputar seksualitas dan reproduksi, maka metode yang paling tepat adalah melalui pendidikan di tengah keluarga, bukan yang lain. Pasalnya, hak seksual dan reproduksi adalah ranah privat yang semestinya menjadi bagian dari proyek pendidikan generasi berbasis akidah Islam.
Inilah urgensi kukuhnya pondasi sebuah keluarga, yakni wajib berpijak pada akidah Islam. Keluarga menurut Islam tidak hanya menjadi wujud interaksi laki-laki dan perempuan untuk melahirkan anak-anak. Namun ada visi yang jauh lebih penting dari sekadar memperoleh keturunan, yakni sebagai inkubator pertama dan utama bagi pendidikan generasi.
Butuh Solusi Sistemis
Aborsi telah nyata menjadi potret buruk generasi. Aborsi bahkan ibarat fenomena gunung es. Belum lagi kasus lain pemicu aborsi yang sarat dengan berbagai tindakan amoral. Jelas, solusi tuntas bagi kasus aborsi tidak bisa hanya dengan sebatas keprihatinan, apalagi memilih proses aborsi aman/legal. Solusi yang demikian adalah solusi palsu, lagi semu bahkan kental tipu-tipu.
Sebaliknya, solusi hakiki yang mampu memutus rantai aborsi harus sistemis berdasarkan Islam. Islam adalah sistem yang berperan menjaga nyawa hamba-Nya. Hak hidup makhluk sangat dihormati oleh Islam.
Allah Taala berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar (31). Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk (32).” (QS Al-Isra’ [17]: 31-32).
Penyelesaian fenomena aborsi berawal dari pendidikan generasi berbasis akidah Islam agar melahirkan generasi yang bertakwa. Dengan begitu, mereka akan merasa memiliki hubungan dengan Rabb-nya, Allah Taala, sehingga senantiasa terikat dengan syariat-Nya dan tidak mudah mentoleransi perbuatan maksiat untuk dirinya lakukan.
Pendidikan berbasis akidah Islam ini sangat urgen untuk terwujud di tengah keluarga. Bersamaan dengan itu, anak-anak tidak boleh kehilangan sosok ibu maupun ayahnya, baik dari sisi figur, kepribadian, maupun keteladanannya. Hal ini agar mereka tidak mencari sosok tersebut pada diri orang lain, misalnya dari pacarnya, padahal aktivitas pacaran sendiri dilarang oleh Islam.
Selanjutnya, penting adanya masyarakat yang memiliki kesadaran untuk senantiasa beramar makruf nahi mungkar. Mereka tidak tahan membiarkan terjadinya kemaksiatan sekaligus tidak memandang aktivitas pacaran, pergaulan bebas, terlebih aborsi, sebagai hak asasi manusia.
Atas dasar ini semua, sungguh kita memerlukan peran negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah sebagaimana Khilafah Islamiyah.
Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 208).
Khilafah menuntaskan persoalan aborsi tidak hanya pada posisinya sebagai tindak kriminal semata. Khilafah harus memastikan bahwa aborsi -jika terpaksa dilakukan-, hanya bisa terjadi berdasarkan rekomendasi medis oleh dokter/ahli kesehatan yang adil dan tepercaya.
Di sisi lain, Khilafah juga perlu memastikan dan memfasilitasi tercapainya ketakwaan generasi, pendidikan akidah di dalam keluarga maupun lembaga pendidikan, serta fungsi amar makruf nahi mungkar oleh masyarakat tadi.
Khilafah juga akan memfilter konten di media massa, tidak terkecuali media sosial. Media harus menjadi instrumen positif, tidak boleh disalahgunakan untuk menderaskan ide sekuler-liberal. Satuan-satuan lembaga pendidikan juga tidak boleh tersusupi ide-ide tersebut.
Khilafah pun menerapkan sanksi tegas bagi pelaku pacaran, pergaulan/seks bebas, perzinaan, serta aborsi. Sistem sanksi dalam Islam mampu berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Hal ini bertujuan agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, maka sanksi tersebut dapat menebus dosanya.
Dengan ini semua, Khilafah dapat memutus rantai kemaksiatan seputar dekadensi moral generasi secara sistemis menurut syariat Islam. Wallahu'alam bishshawab.[]